Dengan tangan dan kedua kaki terborgol, Aksa mencoba mempertahankan kesadarannya. Pandangannya samar-samar mencoba mencari tahu di mana tempatnya berada, seingatnya dia terakhir kali bermain bola bersama kembarannya setelah pulang dari sekolahnya, mereka ingat ucapan Mama yang menyuruhnya pulang cepat untuk merayakan ulang tahun mereka.
”Arka,” ujar Aksa serupa gumaman, dia tidak menemukan keberadaan saudaranya di mana pun, atau mungkin karena Aksa yang begitu lemah sehingga dia tidak menemukan keberadaan kakak kembarnya.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara rantai ditarik dengan seorang pemuda yang menjadi sanderanya. Dua orang pria berbadan besar dengan bekas luka di salah satu lengan kiri mereka menarik pemuda yang tidak lain adalah Arka.
”Arka!” teriak Aksa, dia menangis melihat kondisi saudaranya, walau dia sendiri pun tidak jauh berbeda.
Aksa tidak tahu apa yang terjadi, tetapi yang pasti, dia dan Arka harus bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.
”Nah, sekarang kita lihat di antara putra Jauhar, percobaan mana yang paling berguna.” Salah satu pria melempar Arka di samping Aksa.
Aksa buru-buru mendekati Arka dengan tertatih, dia memeluk saudaranya dan menangis. ”Maafkan aku.”
”Aku yang salah karena tidak bisa melindungimu.” Arka menggeleng, dia kemudian memelankan suaranya agar tidak terdengar orang lain, tetapi hanya Aksa yang bisa mendengarnya. ”Kau harus berpura-pura lemah, Aksa, jangan menunjukkan kekuatanmu, karena yang kuat ... akan dibunuh.”
Ingatan Aksa semakin memburam, ia tidak tahu betul apa yang terjadi setelahnya, tetapi telinganya tidak salah menangkap suara tembakan di sebelahnya, disusul dengan suara Arka yang tumbang di sebelahnya.
”Tidak! Arka!” teriaknya sembari tangisnya pecah begitu saja.
”Woi! Aksa, bangun!”
Aksa membuka paksa matanya, keringat dingin bercucuran, napasnya memburu, ia menoleh ke sekeliling dan ternyata dia berada di kamarnya. Matanya jelalatan mencari keberadaan Arka dan napasnya kembali normal saat menemukan Arka duduk di sebelahnya.
Aksa mencoba duduk, kemudian matanya menatap Arka yang tersenyum tulus ke arahnya yang mana membuat air matanya keluar. Arka merentangkan tangan dan memeluk saudaranya dengan hangat.
”Tidak apa-apa, Aksa. Ini semua bukan salahmu, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu,” ujar Arka dengan suara lembut yang menenangkan.
”Maafkan aku. Aku ... berjanji tidak akan menunjukkan kekuatanku dan selamanya menjadi orang lemah.” Aksa semakin mendekap erat Arka, dari milyaran orang di dunia, hanya Arka yang benar-benar mengerti tentang dirinya.
”Bagus, Aksa, jadilah lemah dan biarkan aku melindungimu sampai waktunya tiba.” Arka melepas pelukannya, dia menatap Aksa. ”Lupakan mimpi buruk tadi.”
Aksa mengangguk dan menyeka air matanya.
Tok tok!
“Aksa, sudah bangun?” Mama membuka pintu kamar Aksa, ia diam mematung untuk sesaat sebelum berlari menghampiri anaknya yang bermata sembab. “Aksa kenapa menangis? Mimpi buruk lagi?”
Aksa tersenyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa kok Ma, soalnya Arka sudah menenangkanku, jadi aku tidak takut lagi.”
Mama seketika memundurkan langkahnya. ”Aksa? Tadi Aksa berbicara sama siapa?”
”Sama Arka lah Ma, siapa lagi memangnya.” Aksa turun dari ranjangnya. ”Aku mau siap-siap sekolah dulu, Ma.”
Mama menggapai tangan Aksa, ia tersenyum tipis sembari mengelus pelan kepala anaknya dengan sayang. ”Nak, kamu itu sendirian di sini ... dan Arka itu tidak ada.”
”Tapi Arka ada di situ, Ma.” Aksa menunjuk Arka yang duduk di atas ranjang, dia tersenyum manis sembari melambaikan tangannya.