Juli, 2015.
"Senang bertemu denganmu, Linka," sapa wanita dengan rambut sebahu, memakai jas putih khas dokter, dan kaca mata rimless yang membuat wajahnya tampak bijaksana. "Apa yang membawa kamu mau datang menemui saya hari ini?"
Gadis berambut panjang yang dicat merah muda di ujungnya—Linka Senjana—tersenyum miris. "Kalau nggak datang ke sini, katanya aku bisa gila," jawabnya.
Ruangan itu didominasi oleh warna putih, aroma lilin terapi, dan suara musik klasik yang menenangkan. Frederic Chopin adalah komposer favorit Linka, dia meminta sendiri musiknya dimainkan di sepanjang waktu konseling.
"Apa yang biasanya kamu pikirkan sebelum tidur, atau ketika kamu bangun, Linka?" tanya wanita itu, tersenyum teduh. Nametag di jas dokternya memantulkan siluet dari jendela, sehingga tulisan dr. Kamilia Lazuardi Sp.kj. menjadi sasaran pandang lawan bicaranya.
"Fuuh ... aneh," jawab Linka sambil menatap tajam pada nametag Dokter Kamilia. "Aku pikir ... ah bukan, sebelum tidur aku berharap dunia berakhir besok pagi, dan kehidupan payah ini selesai."
Linka masih menatap objek yang sama, tapi binar mata coklatnya kosong. Tangannya sibuk meremas ujung seragam sekolah yang tak dia kancingkan, memperlihatkan kaos hitam bergambar The Beatles, dan dia menggigit bibir bawahnya. Cemas.
"Mungkin, Dokter mengira aku sudah benar-benar gila karena anak muda sepertiku berpikir kekanakan," katanya. "Tapi, aku cuma berpikir kalau dunia berakhir, kita enggak harus hidup untuk hari esok atau lusa atau tentang masa depan, kan?"
"Mengapa kamu merasa hidupmu payah, sementara kamu sendiri tahu kamu tidak sepayah itu, kamu pasti mengalami situasi buruk," kata Dokter Kamilia sebagai respon bernada lembut. "Seburuk apa itu, Linka?"
Gadis tujuh belas tahun itu menghela napas. Matanya menarik diri pada lilin aroma terapi yang nyalanya begitu kecil, tapi wanginya mampu menusuk jauh ke ruangan tersembunyi di dalam kepala Linka. Alunan Nocturne dari Chopin menyayat telinga Linka, tapi dia suka rasanya. Repititif, dan penuh absurditas.
"Aku bilang pada diriku sendiri kalau aku sangat ingin mati," pekik Linka yang matanya masih kosong, tapi cukup basah untuk dikatakan tidak menangis. "Nggak ada yang buruk, aku cepat bosan dengan segala hal, cuma lelah, dan hidup itu terlalu mudah ditebak, nggak ada yang membuatku mengerti tentang hidup, tentang realitas, tentang gairah, atau tentang sesuatu yang membuat manusia ingin melihat hari esok dengan perasaan segar. Hidup rasanya abu-abu, temaram, dan jiwaku rasanya makin gelap."
Dokter Kamilia meletakkan dokumen rekam medis pasien yang sejak tadi dia pegang, lalu menarik kursinya agak berjarak lebih dekat pada Linka. "Semua orang pasti pernah merasa lelah dengan hidupnya," serunya lalu menatap Linka lekat. "Kapan kamu merasa hal itu sangat jelas?"
Linka berpikir sejenak. Matanya masih sama kosongnya dengan ruangan tersembunyi di dalam kepalanya, sementara kakinya bergerak-gerak tak tenang, dan tangannya gemetar. "Hampir setiap saat," jawabnya. "Orang bilang, itu proses menjadi dewasa, tapi sepertinya cuma aku yang begini."
"Kamu boleh mengatakan apa pun," kata Dokter Kamilia lembut dan meyakinkan. "Apa saja yang kamu rasakan."
"Aku pikir hidup itu terlalu mudah ditebak, dan jadi sangat membosankan sampai-sampai aku mau mati hanya dengan membayangkannya saja. Awalnya kita akan berusaha menjadi anak yang baik, masuk ke sekolah yang bagus, dan diterima di universitas terbaik. Kita juga bekerja keras untuk itu atau untuk cita-cita dan ekspektasi yang lainnya seperti menjadi polisi, atau menjadi pegawai negeri."
"Lalu, setelah itu pun kita akan berlomba-lomba mendapat pekerjaan yang hebat dan punya banyak uang, katanya agar bisa hidup sejahtera dan nyaman. Kita juga nggak pernah puas, lalu berusaha mencari pasangan yang sempurna, dan punya anak yang kita tuntut sempurna juga. Kemudian kita harus bekerja keras lagi mengurus anak kita, dan membuat mereka melakukan apa yang kita sudah lakukan. Dunia hanya berjalan begitu-begitu saja, apa Dokter nggak pernah berpikir siklusnya melelahkan?"
"Tidakkah ada hal yang menyenangkan bagimu, Linka?" tanya Dokter Kamilia tersenyum hangat. "Kamu pasti suka melakukan sesuatu, hmm? Di data pribadimu, kamu suka musik dan piano, itu tidak menarik lagi bagimu?"
Melodi Nocturne milik Chopin membuat jari Linka bergerak sesuai jam dinding berdetik. "Aku cenderung bisa melakukan apa pun yang aku mau, dan itu membuat semua hal jadi nggak menarik lagi," gumamnya. "Kenapa aku harus melakukan semua itu? Melakukan hal-hal yang dilakukan semua orang? Untuk apa? Apa itu membuatku terlihat buruk dan menyedihkan hanya karena aku nggak melakukan hal yang sama dengan kebanyakan orang?"
Dokter Kamilia masih menatap manik coklat milik Linka, yang bahkan kekosongan di dalam diri perempuan itu menusuk sampai ke perasaannya, menyentuh, dan mengakar kuat. "Apa yang mendasari kamu berpikir demikian, Linka?"
"Hahahaha ... Aku-" Linka berkata sambil tertawa keras. "-menyedihkan, ya?"
"Tidak," jawab Dokter Kamilia masih tersenyum hangat, dengan kesabaran seorang psikiatri yang berpengalaman selama puluhan tahun. "Hanya saja, saya pikir kamu punya pemikiran yang dalam dan luar biasa. Ini pertemuan pertama kita sebagai psikiatri dan pasien, kita tentu akan lebih sering berjumpa untuk membahas hal itu."
Linka tertawa ringan, meski kekosongan tidak bisa enyah dari matanya. Tawa dan ekspresi Linka susut, matanya yang kosong itu dilurubi memoir dari ruangan tersembunyi di dalam kepalanya. "Dokter percaya tentang happy ending?" tanya Linka datar.
"Pertanyaanmu cukup retorik," jawab Dokter Kamilia ringan. "Kamu tidak percaya?"
"Bagiku, nggak pernah ada akhir yang benar-benar bahagia. Akhir bahagia bisa jadi sebuah awal dari sesuatu yang lebih menyedihkan." Linka mengangguk-angguk sendiri, binar matanya kosong, dan senyum simpul di wajahnya terasa begitu sarkastik. "Dulu aku sempat berpikir akan punya akhir bahagia seperti dongeng-dongeng yang diceritakan Ayah, tapi saat aku percaya itu, nyatanya aku malah ada di hadapanmu sekarang, Dok. Sebenarnya hidup nggak semudah itu ditebak, tapi terlalu mudah dihancurkan."
"Kamu sempat bertemu psikiater sebelum ini," kata Dokter Kamilia. "Dan kamu penyintas gangguan kepribadian sosiopat, kamu sudah tahu soal itu?"
Linka tersenyum, penuh sarkastik pada dirinya sendiri.
"Setelah ini, saya dan kamu akan bekerja lebih keras untuk membuat perasaanmu lebih baik." Dokter Kamilia tersenyum sekali lagi, hangat dan teduh.
"Nggak," jawab Linka tersenyum sarkas. "Biasanya aku nggak pernah datang untuk konseling lagi setelah pertemuan pertama."
Linka menghela napas panjang ketika kepalanya terisi oleh ingatan usang tak berkesudahan. "Ibu meninggal saat aku masih kecil," katanya sambil berdiri. "Sejak saat itu, aku nggak akan pernah melakukan apa yang Ibu lakukan saat itu, mengejar impiannya."
"Kamu sudah ingin pergi?" tanya Dokter Kamilia. "Kita masih punya waktu."
"Aku suka konseling denganmu," katanya ringan. "Aku pamit!"
ποΈποΈποΈ
Akhir Desember, 2021.
Linka berdiri sambil memasang senyum sarkas memandangi pintu ruangan yang bertuliskan Poli Jiwa. Tatapan mata coklat miliknya masih sama, isi pikirannya masih sama, yang berbeda hanya usia dan dunia yang bergerak tanpanya. Linka memasang earphone ke telinganya, dan lagi-lagi memutar lagu Nocturne. Perempuan itu tidak pernah bisa mengganti lagu yang sudah dia dengarkan selama lima tahun tanpa jeda itu. Linka tidak pernah lagi mendengarkan Beethoven yang sejak kecil dia kagumi, atau Mozart yang dia gilai ketika dia masih punya mimpi. Linka juga meninggalkan Sebastian Bach, tidak lagi peduli pada Antonio Vivaldi, dan membiarkan piano di rumahnya berdebu. Linka hanya setia pada Chopin, pada melodi Nocturne.
Perempuan berambut pendek itu segera berjalan meninggalkan ruang konsultasi dan meditasi kejiwaan bagian Poli Jiwa di rumah sakit Hermina, tak jadi masuk meski telah mendaftar dan memiliki jadwal bertemu psikiater. Perdebatan sengit antara logika dan keadaan jiwanya sama-sama keras, dan Linka-setelah berkali-kali kabur dari kenyataan—kembali menolak mengatakan bahwa dia butuh pertolongan.
Dia baru melangkah sampai ke lorong masih di gedung bagian kejiwaan, tapi kakinya sudah gemetar hebat. Bukan karena selama ini dia tak nafsu makan, atau kelelahan akibat serangan penyakit mentalnya, Linka limbung lantaran bertemu dengan seseorang yang berhubungan dengan lima tahun lalu. Seseorang itu sudah berdebu, sudah usang, sudah berpulang dari pikiran Linka, tapi dunia nyata tak sama. Linka tahu bahwa hidup tak sepenuhnya bisa ditebak, tidak semuanya akan membosankan, justru beberapa malah mengikat kenangan.
"Linka?" tanya seseorang itu sama terkejutnya. "Kamu Linka Senjana?"
"Iya," jawab Linka. "Kamu Sakti, teman sekelas di SMA, aku ingat! Padahal aku sudah menghindar supaya nggak perlu saling nyapa!"
"Sifatmu nggak berubah," desis Sakti—seorang laki-laki dua puluh tiga tahun yang sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS.
"Aku masih kasar?" tanya Linka.
"Enggak, bukan begitu. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sakti ragu. "Maaf," tambahnya sambil tersenyum kikuk.
Linka tidak menjawab, dia justru dikagetkan dengan kedatangan seorang perempuan di belakang Sakti. Tubuh kurus dengan rambut panjang sebahu, pipinya cekung, dan senyum canggung bercampur terkejut menghiasi wajahnya.
"Lea?" Linka menghela napas kasar. "Fiuh ... sial!"
Sosok perempuan yang baru bergabung itu membuat kaki Linka tak hanya gemetar, tapi juga kehilangan pijakan. Pintu ruangan tersembunyi di dalam kepalanya mendadak terbuka, mengeluarkan riuh sendu yang sekuat tenaga Linka benamkan kembali.
"Kenapa aku harus ketemu kalian hari ini?" tanya Linka menghela napas. "Setelah lima tahun, kenapa kita harus saling berhadapan lagi?"
Sakti menatap Lea sejenak, lalu berganti pada Linka. "Bagaimana kalau kita duduk dan minum kopi sebentar selagi istirahat siang? Sudah lama kita nggak—"
"Cih," decih Linka menatap dua teman lamanya itu pias. "Kenapa kita harus minum kopi bersama? Apa karena hidup kalian baik-baik saja setelah kejadian itu?"
"Ren sudah lama meninggalkan kita, Linka." Suara lirih itu datang dari perempuan yang sejak tadi berdiri canggung di belakang Sakti-Lea. "Hidup harus terus berjalan, kan? Waktu terus berputar, kan? Kenapa kamu masih diam dan tertahan di waktu yang sama karena kejadian itu?"
Lea tersenyum tipis, lantas berjalan pergi meninggalkan Linka dan Sakti. Ada kenyataan yang menyambar ruang sadar Linka, sampai perempuan itu kesulitan bernapas. Dadanya nyeri, dan paru-parunya seperti dihimpit oleh tulang rusuknya. Napasnya tersendat-sendat, dengan tangan gemetar, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ruang tersembunyi di dalam kepala Linka benar-benar terbuka, dengan ingatan-ingatan kacau yang meluluhlantakan dirinya saat itu juga. Linka limbung, hampir terjatuh.
"Kamu baik-baik saja, Linka?" Tangan Sakti menopangnya, lalu menuntun perempuan itu tanpa menunggu jawaban.
ποΈποΈποΈ