Pagi sekali, beberapa siswa-siswi SMP Maristela sudah berkumpul di lapang sekolah. Setelah seminggu penuh menempuh Ujian Tengah Semester (UTS), hari ini—hari terakhir bulan Februari akan diisi dengan study tour ke ibukota mengunjungi Museum Nasional dan tempat-tempat bersejarah lainnya.
Ada tiga kelas yang berpartisipasi 9A, 9B, dan 9C. Saat anak-anak lain sudah duduk manis di dalam bus, Julie malah sibuk di luar, mondar-mandir memeriksa setiap sudut-sudut bus, termasuk roda-roda bannya. Dia tidak sadar perilaku ganjilnya itu tertangkap oleh salah satu teman sekelasnya yang masih berjalan dengan santainya menuju bus.
Julie menghampiri Pak Supir yang sedang asyik menikmati secangkir kopi di kursi depan. "Permisi Pak, ehm.. kata wali kelas saya, tolong cek kembali kondisi bisnya pastikan nggak ada masalah."
"Oh siap!" Pak supir terpaksa meletakkan secangkir kopinya dan keluar mengecek beberapa komponen bus.
Julie pun masuk ke dalam bus berukuran medium itu, hanya dua kursi yang masih kosong. Kursi paling depan yang akan diisi wali kelas, dan kursi paling belakang dekat jendela. Sebelah kursi kosong itu diisi Ezra.
Julie memperlakukan semua teman sekelasnya sama rata—cuek.
Namun, sosok Ezra pernah menarik perhatiannya. Dia masih ingat bagaimana anak itu membuat geger seisi kelas termasuk dirinya.
Waktu itu sedang ujian bahasa Inggris. Suasana kelas sedang hening-heningnya karena semua murid begitu fokusnya mengerjakan soal. Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk yang disusul suara ambruk. Semua mata langsung mengarah ke sumber suara dan membelalak seketika saat melihat dia tergeletak dengan darah mengucur dari hidungnya. Kulitnya pun sungguh pucat seolah-olah sudah tak bernyawa. Suasana jadi panik seketika. Dengan cepat ketua kelas memeriksa keadaannya dan menelepon ambulans. Hampir satu bulan, anak itu tidak masuk sekolah.
"Permisi," kata Julie, singkat.
Tanpa menoleh sedikit pun ke sumber suara, Ezra menarik kakinya, memberi jalan.
Wali kelas pun sudah masuk dan duduk manis di kursinya.
"Bu, bis-nya udah diperiksa dan gak ada masalah," lapor supir.
"Oh...ya bagus dong," balas Bu Malika.
Bus pun melaju dan sebagian besar penghuninya mulai memainkan ponselnya masing-masing, upload foto dan video di media sosial. Sebagian lagi ribut mengobrol dan bercanda. Hanya dua kursi paling belakang lajur kanan yang tidak berinteraksi.
Julie fokus menatap keluar jendela dan sesekali melirik jam tangannya.
Sementara Ezra diam menatap ke depan. Wajah mereka lebih dingin dari AC yang bertiup dari langit-langit bus.
Seperti biasa anak-anak perempuan mulai bergunjing melihat keganjilan mereka.
"Liat deh kursi pojok angker benerr!"
"Hehe aslinya!"
"Dua alien di kelas kita bersatu."
"Ngeriii! Umat manusia terancam!"
Semakin jauh bus melaju, semakin meningkat kewaspadaan Julie. Dia fokus melihat patok kilometer jalan kemudian melihat jarum-jarum jam di tangan kirinya.
Lewat sudut matanya, Ezra memperhatikan sosok di sebelahnya, tampak tenang, namun samar dia bisa merasakan kegelisahan tak kasat mata. Dia pun masih sedikit penasaran dengan gerak-gerik mencurigakan Julie sebelumnya saat mondar-mandir memeriksa sudut-sudut bus.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya, perilaku ganjil Julie membuatnya penasaran. Dia masih ingat bagaimana seisi kelas dibuat geger oleh gadis itu. Waktu itu mata pelajaran kosong, suasana kelas sedang ramai-ramainya. Dari belakang tiba-tiba terdengar suara teriakan, tidak melengking namun cukup keras dan tegas.
"Kebakaran!"
Suasana kelas mendadak hening, semua mata mengarah pada sumber suara. Mereka mulai mengendus-enduskan hidungnya. Ezra melihat Julie sedikit kaget dengan reaksi seisi kelas seolah-olah dia tidak sadar barusan sudah berteriak.
"Arah sana," katanya sambil menunjuk ke arah jendela samping barisan bangku Ezra.
Sontak anak-anak langsung berkerumun di pinggir jendela. Yang terlihat gedung laboratorium dan perpustakaan. Mereka tidak melihat ada asap atau api. Mereka pun kembali menatap Julie, merasa sudah dikerjai.
Julie tidak menghiraukan mereka dan bergegas ke luar. Baru juga beberapa langkah, terdengar suara kaca jendela pecah. Dia langsung mempercepat langkahnya.
Anak-anak kembali berkerumun di pinggir jendela. Kali ini mata mereka membelalak, melihat asap mengepul di gedung laboratorium.
Irgie langsung memanggil nomor darurat pemadam kebakaran. Bunyi alarm pun mulai terdengar dan murid-murid beserta guru berhamburan ke luar.
Seorang guru yang waktu itu sedang berada di dalam laboratorium langsung dilarikan ke ambulans. Melihat kondisinya kemungkinan tidak akan selamat. Penyebab kebakaran masih diinvestigasi tapi kemungkinan bocornya larutan kimia yang mudah terbakar.
Seperti yang lainnya, Ezra pun berkerumun di sekitar gedung laboratorium yang berasap itu. Namun pandangannya tidak terfokus pada kebakaran, melainkan pada Julie yang sedang diam memandangi api yang berkobar-kobar. Dia merasa ada yang aneh dengan gadis itu. Bagaimana caranya dia bisa mendeteksi kebakaran sebelum kelihatan?
Bus Kelas 9A mulai melipir, saat memasuki Rest Area KM 97 dan langsung mengantri di SPBU. Sementara Bus Kelas B dan C lebih dulu melaju.
Bu Malika mempersilakan siswa-siswinya yang mau ke toilet atau beli makanan. Bersama beberapa anak lainnya, Julie pun turun.
Tepat di muka pintu bus, saat hendak menuruni anak tangga, Julie diam terpaku menatap bus pariwisata berwarna merah muda bertuliskan Pink Paradise yang mulai memasuki area parkir.
"Misi...misi..mau lewat," kata anak perempuan di belakang Julie, sedikit meringis tanda darurat ke toilet.
Namun Julie tetap diam di tempat seolah tak mendengar suaranya. Karena sudah kebelet, anak perempuan itu langsung memutar keluar lewat pintu satunya lagi.
Julie terkesiap saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Replek dia menoleh.
"Jangan ngelamun," kata Irgie, tersenyum ramah.
"Maaf."
Julie langsung maju, memberi jalan. Pandangnya masih belum lepas dari bus pariwisata berwarna merah muda itu. Tak ada yang istimewa dari bus itu selain terlihat mencolok dengan warna pink-nya itu. Namun yang tampak di benaknya bukan itu, melainkan bus yang terguling, ringsek, dan berasap hitam.
Julie menebar pandangan di sekeliling Rest Area. Lahannya sangat luas dengan fasilitas lengkap. Tersedia rupa-rupa tempat makan, outlet, cafe, dan mini market. Dia kembali melirik jam tangannya. Pukul 08.10. Dia harus mengulur waktu kalau mau terhindar dari pusaran maut yang akan menyeret dirinya dan teman sekelasnya.
Bus yang sempat kosong itu kini sudah penuh kembali. Pak sopir sudah menyalakan mesinnya, siap untuk melaju. Mereka tinggal menunggu satu orang lagi. 30 menit sudah berlalu, namun orang yang ditunggu-tunggu tidak muncul juga. Irgie mencoba meneleponnya namun tidak tersambung.
Bu Malika berulang kali mengecek ke belakang, namun kursi di samping Ezra masih kosong. Pak sopir kembali mematikan mesinnya. Anak-anak pun mulai resah karena bosan menunggu.
"Gi, tolong susul, udah setengah jam lebih," pinta Bu Malika.
"Siap Bu," kata Irgie, bangkit dari kursinya dan keluar.
Ia mencari Julie ke depan toilet. Dia minta tolong pada ibu-ibu yang baru keluar untuk memeriksa apa ada anak perempuan berseragam sekolahnya di dalam. Ibu-ibu itu menjawab kalau tidak ada siapa-siapa di dalam toilet karena semua bilik pintu terbuka.
"Oh makasi Bu."
Cowok itu pun mencari di tempat lain. Beberapa tempat makan dan toko Irgie datangi. Namun Julie tidak ada.
Dia mulai khawatir terjadi sesuatu pada anak itu. Namun akhirnya dia bisa bernapas lega saat menemukannya di area taman belakang. Sedang berdiri bersandar di tembok dengan tatapan lurus ke depan.
"Ternyata kamu di sini," kata Irgie, napasnya sedikit masih tersengal.
"Ayo yang lain udah pada nungguin. Bisnya mau berangkat."
"Lima menit lagi," balas Julie. Badannya masih santai bersandar ke tembok.
"Lima menit lagi? Kamu mau ngapain dulu?"
Julie tidak menjawab. Hening seketika. Suasana terasa canggung.
Baru kali ini Irgie merasa ada yang aneh pada diri Julie. Sebelumnya dia pikir Julie hanyalah anak pendiam yang tak pandai bersosialisasi. Ternyata lebih dari itu.
Irgie melirik jam di tangannya. "Eh ehm udah lima menit."
Julie mengangguk. Bersama-sama mereka berjalan menuju bus.
"Sebenernya tadi kamu lagi ngapain di situ?" tanya Irgie, penasaran.
"Nunggu."
Irgie mengernyitkan dahinya. "Nunggu apa?"
Julie menjawab dengan keheningan. Irgie pun tidak bertanya lagi. Dia merasa mungkin Julie ingin menyimpan alasan itu sendiri.
Begitu mereka berdua masuk bus, mereka langsung dihujani sorak sorai.
"Dari mana aja?" tanya Bu Malika. "Kita jadinya ketinggalan jauh sama kelas lainnya."
"Itu Bu...," Irgie berusaha mencari-cari alasan, "tadi Julie terkunci di toilet. Jadi saya panggil petugas dulu buat bukain."
"Betul Julie?"
Julie melirik ke arah Irgie sebentar kemudian mengangguk.
Bu Malika menghela napas. "Lain kali hp-nya dibawa, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung menghubungi."
"Baik Bu. Maaf."
Julie pun berjalan menuju kursi duduknya tanpa menghiraukan tatapan penghuni bus yang mengarah kepadanya.
Tanpa diminta, Ezra kembali menarik kakinya, memberinya jalan. Lewat sudut matanya kembali dia perhatikan gadis di sebelahnya. Dia sama sekali tidak termakan bualan Irgie kalau dia habis terkunci di toilet.
Bus mulai memasuki area KM 95, jalanan semakin menurun. Begitu masuki area KM 92, tiba-tiba sirine polisi dan ambulans terdengar bersahut-sahutan. Bus pun berjalan pelan kemudian berhenti karena jalan sudah ditutup oleh jajaran mobil polisi.
Di depan terlihat asap hitam mengepul. Anak-anak bangkit dari kursinya dan maju ke bagian depan bus, penasaran. Wajah mereka memucat seketika melihat banyak kendaraan berserakan di jalan dengan kondisi mengenaskan. Bu Malika tak henti-hentinya mengusap wajahnya sambil berdoa.
Meski tidak terlalu jelas. Beberapa korban terlihat masih dievakuasi petugas, pertanda bahwa tabrakan beruntun di depan mata mereka belum lama terjadi.
"Ya ampun! bis pariwisata itu! " seru Vina sambil menunjuk bus berwarna merah muda yang ringsek dan terkapar di jalan. "Bis itu berangkat dari rest area nggak beda jauh lho dari bis kita. Paling nggak nyampe 10 menitan."
"Oh iya aku inget," sahut Monica. Dia mengepal kedua tangannya di bawah dagunya. "Ada anak kecil di dalemnya."
"Seandainya..." Irgie bergumam sendiri. Matanya mengarah pada Julie yang masih tetap duduk di kursinya, menerawang jendela. Seandainya bus mereka berangkat lebih cepat dari rest area, kemungkinan terlibat dalam kecelakaan beruntun sangat besar. Entah nasib mereka akan bagaimana.
"Untung si Julie kekunci di toilet ya," ucap Yarra pada Irgie.
Irgie tersenyum hambar. "Iya."
Julie tidak ikut-ikutan maju ke bagian depan bus karena pemandangan yang tampak di sana sudah dia lihat sebelumnya. Dia tak ingin melihatnya untuk yang kedua kalinya.
Ezra kembali ke tempat duduknya. "Kamu gak beneran kekunci di toilet kan?" katanya datar, dengan nada lebih ke pernyataan dari pada pertanyaan.
Terhenyak, Julie menoleh ke samping. Mata mereka beradu sesaat sebelum Julie kembali mengalihkan pandangnya ke jendela. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya karena dua alasan. Satu, dia tidak selera berbicara. Dua, orang di sampingnya sama sekali tidak mengharapkan sebuah jawaban.
Dengan wajah masih pucat pasi anak-anak kembali ke tempat duduk masing-masing. Beberapa menghubungi keluarganya.
Karena jalan ditutup, Bu Malika memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan. Baginya keselamatan para murid merupakan prioritas utama.
Bus 9A kembali ke sekolah.
*****
Tiba di rumah, Ezra menyalakan televisi dan benar saja peristiwa kecelakaan beruntun di tol Cipularang tadi pagi sudah mendominasi pemberitaan nasional.
Dikabarkan bahwa lebih dari 50 kendaraan yang terlibat dengan 14 korban jiwa dan 60 korban luka berat dan ringan.
Ezra mematikan televisinya dan beranjak ke kamarnya. Tidak ada siapa-siapa di rumahnya karena kedua orang tuanya masih bekerja.
Dia ambil ponsel yang tergeletak di tempat tidurnya kemudian mengaktifkannya. Begitu hidup, ponsel itu langsung diserbu pesan dan panggilan tak terjawab dari nomor ibunya.
Ezra membalas pesan ibunya dengan singkat kemudian mematikan kembali ponselnya. Dia tidak perlu menjelaskan panjang lebar karena dia yakin ibunya sudah mencari tahu lewat sepupunya, Irgie. Seperti biasa!
Ezra menyandarkan kepalanya ke bantal, masih membayangkan kejadian tadi pagi di jalan tol. Yang jadi fokus utama bukan pemandangan mengenaskan yang dia saksikan di sana, namun bagaimana dia beserta teman-temannya bisa lolos dari pusaran maut hanya karena bus mereka nangkring kelamaan di rest area, menunggu seseorang. Semua itu bukan kebetulan! Gadis bernama Julie itu sengaja mengulur waktu karena dia sudah tahu bahkan sebelum kejadian, sama seperti insiden kebakaran di sekolah tempo hari.
Pertanyaannya dari mana dan bagaimana dia tahu? Apa dia bisa melihat masa depan?
Ezra langsung bangkit dari tempat tidur kemudian membuka laptop—mulai menjelajah dunia maya.
Di kolom pencarian dia ketik, "precognition" kemampuan supranatural untuk melihat, mengetahui, atau mengalami peristiwa di masa depan. Banyak artikel yang membahasnya mulai dari blog pribadi, media ternama, hingga jurnal. Sebagian tidak menampik kemungkinan adanya kemampuan itu, sebagian lagi membantah habis-habisan karena tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Mereka menganggap cerita-cerita pengalaman yang beredar di internet tidak lebih dari kebohongan atau kebetulan belaka. Kalau saja Ezra belum mengenal Julie dan melihat langsung fenomenanya, mungkin dia akan lebih condong ke kubu penyangkal. Dilihat dari sisi mana pun precognition memang tidak masuk akal. Seseorang harus melihat atau mengalami langsung baru bisa percaya.
*******
Besoknya, teman-teman sekelas Julie masih membicarakan tragedi tabrakan beruntun di KM 92 dengan raut wajah penuh horror. Beberapa mengaku tidak mau lagi naik bus atau melewati jalan tol. Terkadang Julie mendengar namanya disebut-sebut mungkin sebagai anak yang terkunci di toilet penyebab tertahannya bus di Rest Area.
Julie sendiri merasa heran. Baru kali ini penampakkan yang muncul di mimpinya begitu jelas, berbeda dengan sebelum-sebelumnya yang sekedar simbol dan metafora. Apa karena kali ini dia sendiri yang menjadi target kematian?
Sebenarnya untuk menghindari maut, bisa saja Julie tidak perlu naik bus dari awal. Tapi dia penasaran seberapa akurat cuplikan yang muncul di mimpinya dengan fakta di lapangan. Dia juga ingin tahu apakah dia bisa mencegahnya. Untuk menjawab semua itu dia rela mengambil risiko.
"Pagi anak-anak..."
Julie terbangun dari lamunannya saat mendengar suara serak Pak Sam. Tubuhnya yang tinggi besar sudah berdiri di depan kelas.
"Pagi pak.."
"Buat kelompok," Pak Sam melihat ke daftar absensi, "satu kelompok 3 orang. Duduk berdasarkan kelompoknya. 5 menit!"
Anak-anak langsung sibuk menggeser-geser meja dan kursinya, bergabung dengan kelompoknya.
Irgie ingin menggeser kursinya ke bangku Ezra yang berada di barisan sampingnya namun keburu dihadang oleh Natania dan Gio.
"Kita sekelompok ya," mereka langsung menyatukan bangku dan kursi.
"Oke oke..." Irgie pun kembali duduk di kursinya.
"Sudah?" tanya Pak Sam. Matanya mengintai ke kiri dan ke kanan kemudian memicing begitu melihat Julie dan Ezra masih diam di tempat masing-masing.
"Ezra, pindah ke sana," Pak Sam menunjuk bangku Julie, “yang lain udah pas yah tiga-tiga?
Ezra bangkit dan berjalan menghampiri bangku Julie. Dia geser bangku kosong di sekitar sana ke samping bangkunya kemudian duduk menatap lurus ke depan.
Pemandangan ganjil itu otomatis jadi bahan lelucon teman sekelasnya. Beberapa mengusap-ngusap kedua lengannya, pura-pura menggigil kedinginan.
"Penjaga Kutub Utara dan Kutub Selatan berkolaborasi. Siap-siap balik ke zaman es!”
"Ketua kelas, tolong bagikan lembaran ini untuk masing-masing kelompok."
"Siap Pak," Irgie mengambil lembaran kertas di tangan Pak Sam kemudian mendistribusikannya ke setiap kelompok.
"Hari ini kita akan membaca puisi-puisi legendaris karangan penyair Indonesia. Pahami dan silakan diskusikan dengan kelompok masing-masing makna dibalik puisi tersebut. Yang sudah nanti presentasikan di depan."
Pak Sam kemudian duduk di mejanya dan tenggelam dalam laptopnya, membiarkan murid-muridnya ramai berdiskusi.
Julie menatap lembaran puisi di mejanya yang berjudul "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono tahun 1989. Ia baca dalam hati kemudian ia geser lembaran kertas itu ke pinggir tepat di hadapan Ezra.
Ezra melirik puisi itu sekilas kemudian menggeser kembali kertas ke sampingnya.
"Kecelakaan beruntun kemarin..." tiba-tiba Ezra memecah kesunyian yang hanya terjadi di meja mereka, "kamu udah tahu sebelumnya? Kamu bisa liat masa depan?"
Julie melirik Ezra sebentar kemudian kembali menatap kertas di mejanya. Dia tidak kaget dengan rentetan pertanyaan darinya. Di bus kemarin dia sudah merasa 'dicuragai' oleh orang di sampingnya itu.
"Andai bisa sesederhana 'melihat'," balas Julie santai, sambil melingkari beberapa kata dalam lembaran puisi Hujan Bulan Juni.
Istilah yang lebih tepat mungkin menafsirkan. Menafsirkan berdasarkan tanda-tanda yang masuk ke radarnya. Dan terkadang penafsirannya meleset seperti pada kasus Kenzo. Kalau dianalogikan mungkin kemampuannya seperti BMKG dalam memprediksi cuaca. Tidak 100% akurat! Tapi untuk kasus kemarin Julie harus akui dia benar-benar ‘melihat’. Dan dia pun masih heran dengan itu.
"Harusnya kita semua mati di situ? sebagian? atau salah satu?" Ezra kembali meluncurkan rentetan pertanyaan, sorotnya matanya tiba-tiba sedikit gelap.
Julie menggeser kembali lembaran puisi Hujan Bulan Juni itu ke hadapan Ezra dan meletakkan pulpen di atasnya. "Kamu kebanyakan nonton film horror!"
Bukannya mengelak, tapi Julie tidak melihat sampai sedetail itu. Penampakan yang dia lihat meliputi plat KM 92, jam menunjukkan pukul 09.13, dan kendaraan saling tabrak menabrak, berbenturan tidak karuan yang mengakibatkan ledakan. Kemudian, kendaraan-kendaraan yang terlibat terkapar dengan kondisi mengenaskan, salah satunya bus pariwisata nyentrik bertuliskan Pink Paradise itu.
Tapi betul persentase kemungkinan dirinya dan teman-temannya terseret pusaran maut sangat besar apabila bus mereka berangkat lebih cepat dari Rest Area.
Ezra mengambil pulpennya dan mulai mencoret coret kertas puisi itu dengan tanda panah dan tanda tanya. "Kalau betul, berarti kamu telah mengintervensi kematian seseorang," Ezra diam sesaat kemudian dengan nada sarkastik menambahkan, "luar biasa!"
Cowok itu menggeser kembali kertas puisi yang sudah dia corat-coret ke hadapan Julie.
Julie tertegun sesaat. "Belum tentu! Tanpa aku mengulur waktu pun, bisa saja kita tetap terhindar dari tabrakan beruntun itu. Entah bagaimana skenarionya. Banyak kemungkinan!"
"Tapi kamu tetap mengulur waktu."
"Tentu, aku belum mau mati."
"Kamu takut?"
"Kamu enggak?"
Mata mereka beradu beberapa detik kemudian terhenyak mendengar suara Pak Sam di depan kelas.
"Oke sekarang saatnya presentasikan temuan kalian di depan kelas," ucap Pak Sam. "Mulai dari sana," tangannya menunjuk ke bangku paling pojok.
Julie dan Ezra langsung beranjak dari kursinya dan maju ke depan dengan membawa sehelai kertas. Mereka berdua kompak dengan ekspresi dingin dan tak acuh. Sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan teman-teman sekelasnya.
Dengan datar mereka membaca puisi yang terdiri dari tiga bait secara bergantian.
"Ceritakan makna yang kalian temukan dibalik puisi itu?” pinta Pak Sam. "Ezra?"
"Seperti judulnya, puisi ini berbicara tentang hujan yang turun di bulan Juni," jawabnya enteng kemudian melirik Julie.
"Di tahun puisi ini ditulis, Juni normalnya merupakan musim kemarau," sambung Julie. "Dengan kata lain hujan bulan Juni adalah hujan yang tak biasa dan tak terduga."
"Atau tak diharapkan dan tak semestinya!" timpal Ezra.
"Bisa jadi hujan bulan Juni merupakan metafora untuk sesuatu."
"Atau seseorang!"
"Sesuatu yang tak biasa dan tak terduga."
"Seseorang yang tak diharapkan dan tak semestinya."
"Jadi?" Julie melirik Ezra.
"Jadi makna Hujan Bulan Juni adalah.." Ezra berpikir sejenak, "sesuatu yang tak biasa yang terjadi pada seseorang yang tak semestinya."
Julie melirik kembali lembar puisi yang ada di tangannya, menyoroti kata-kata yang dilingkari. "Sehingga harus dirahasiakan, dihapus, dan disimpan sendiri."
"Ooooh," response satu kelas dengan nada melankolis yang dibuat-buat kemudian mereka bertepuk tangan.
Pak Sam yang tadi berdiri menyender di tembok belakang maju ke depan. "Itulah makna yang Ezra dan Julia temukan di dalam puisi Hujan Bulan Juni. Makna yang kalian temukan mungkin berbeda dengan mereka. Tidak masalah yah berbeda pemaknaan."
Pak Sam melirik Ezra dan Julie. "Kalian boleh duduk." Kemudian dia menunjuk bangku tengah. "Berikutnya!"
Tiga murid laki-laki dengan wajah pecicilan berjalan ke depan kelas. Dengan dramatisasi yang dilebih-lebihkan, mereka membaca puisi Aku karya Chairil Anwar.
******
Madam Alina memicingkan mata besarnya saat melihat anak perempuan berseragam sekolah melihat-lihat setiap sudut barang di Rak 7.
"Cari apa?" tanyanya "Jangan bilang kamu lagi nyari-"
Julie tersenyum kecil tanpa ekspresi. "Aku nggak nemu."
"Yah bagus dong," balasnya lega. Raut wajahnya tiba-tiba agak serius. "Ada apa? Apa yang bikin kamu harus ngecek rak itu?"
Julie menggelengkan kepala.
Madam Alina tersenyum. "Ya sudah saya balik ke meja kasir yah. Liat-liat aja dulu, barangkali ada barang lain yang kamu suka."
Julie mulai melihat-lihat barang di rak lain. Dia baru sadar sudah dua kali datang ke toko ini namun dia tidak pernah beli apa-apa. Kali ini dia harus beli sesuatu setidaknya. Setelah beberapa menit mencari akhirnya dia menemukan barang yang ingin dia beli. Dia pun langsung ke meja kasir. Menyodorkan barang yang dia pilih.
Madam Alina melihat dengan seksama barang antik yang tak lebih besar telapak tangannya.
"Miniatur biola?" tanyanya sambil membungkus. "Kamu bisa main biola?"
Julie mengangguk. Dia sudah sekolah piano dan biola sejak umur lima tahun. Saat ibunya meninggal dia tidak melanjutkan dan lebih suka berlatih sendiri.
Madam Alina menyodorkan kantong kertas cokelat ke arah Julie sambil menyebutkan harga barang tersebut. Namun Julie tidak merespons. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia sedang berada di tempat lain.
"Julie!" Madam Alina melambai-lambaikan tangannya.
Julie terhenyak. "Oh maaf berapa tadi?" ucapnya tetap tenang.
Tanpa menghiraukan pertanyaannya, Madam Alina berdiri dan mengambil minuman dari kulkas kecil dekat meja kasir.
"Minum dulu," Madam meletakan satu botol air mineral ke hadapan Julie. Dia juga menarik kursi kosong dan mempersilakannya duduk.
Julie ingin menolak namun tubuhnya yang lelah sehabis pulang sekolah berkata lain.
"Maaf merepotkan," katanya duduk kemudian mengambil minuman di hadapannya.
"Kamu ada firasat buruk?" tanya Madam tiba-tiba. "Itu ya alasan kamu periksa Rak 7?"
"Semacam itu…mungkin," balas Julie singkat, ia tidak menemukan kata yang tepat untuk menjelaskannya. Dia cuma ingin tahu apa dia sedang ditandai oleh kematian atau tidak. Apa harusnya dia mati kemarin di jalan tol KM 92? Dan apakah dia mengintervensi kematian seperti yang Ezra bilang? Begitu banyak pertanyaan yang membombardir kepalanya.
"Sejak pertama liat kamu, saya tahu ada yang beda sama kamu."
"O ya?" balasnya dengan nada datar, seolah tak peduli.
Madam Alina mengangguk mantap. “Saya udah biasa sama hal-hal yang nggak biasa. Jadi bisa mendeteksi hal itu pada orang lain.”
Julie memperhatikan lama Madam Alina. Sepertinya dia orang yang bisa dipercaya dan mungkin saja dia bisa menjawab beberapa pertanyaan yang sering hinggap di kepalanya.
"Sebenarnya aku cuma," Julie menyipitkan matanya, terlihat berpikir keras, "aku cuma bisa melihat cuplikan masa depan tapi ..."
"Tapi?" Madam Alina memperhatikan dengan seksama.
"Tapi sebatas yang berhubungan dengan kematian."
"Oh lewat mimpi?"
“Seringnya," Julie sedikit menghela napas. "Kadang petunjuk itu datang dari benda-benda di sekeliling, mereka seolah berkomunikasi, seperti memberikan sebuah pesan."
"Pesan kematian? seperti rak keramat itu," Madam Alina tersenyum.
Julie pun tersenyum pahit. "Kurang lebih. Tapi aku nggak seakurat rak itu.
"Hmm…"
"Karena biasanya pesan yang aku terima semisal kode yang harus diterjemahkan terlebih dahulu tapi kemarin..." Julie diam sesaat, "aku melihat cuplikan masa depan dengan jelas sehingga..."
"Sehingga kamu bisa terhindar dari maut? Madam Alina mengangguk. "Kemampuan yang luar biasa!"
"Apa aku udah mengintervensi kematian?"
"Eh?" Madam Alina sedikit tersentak.
"Tanpa intervensi bisa saja..."
Madam Alina berpikir sejenak. "Saya sih mikirnya nggak ada yang bisa lolos dari kematian kalau memang udah saatnya. Tapi tentunya banyak hal yang nggak saya ketahui."
"Kemampuan yang aneh!"
Madam Alina menggeleng. "Nggak ada bakat yang sia-sia."
Julie tersenyum geli. "Bakat?"
"Iya bakat... seperti bakat musik, bakat menggambar. Di luar sana banyak orang dengan bakat luar biasa yang seolah melebihi kapasitas manusia normal."
"Kenapa aku bisa punya bakat aneh seperti itu?" pertanyaan klise yang selalu berdengung di kepalanya. “Di antara jutaan manusia di bumi ini?”
"Seperti bakat lainnya, biasanya diturunkan, kamu mungkin mewarisinya dari ayah atau ibumu."
Julie menggeleng. "Mereka berdua tanda kutip normal," balasnya mantap.
"Kakek dan nenek? Coba kamu cari tahu."
Julie tertegun sesaat, berpikir.
"Permisi..." tiba-tiba terdengar suara dari depan pintu terdengar. Dua orang pengunjung satu laki-laki satu perempuan masuk ke dalam.
"Selamat datang," sahut Madam Alina
Julie beranjak dari kursinyá sambil membawa kantong kertas cokelat di meja. "Terima kasih.”
"Kalau ada apa-apa pintu toko ini selalu terbuka."
Julie mengangguk dan berjalan menuju pintu keluar. Rasanya lega juga bercerita. Ruang di kepalanya terasa lebih luas, seperti ada pintu jendela yang terbuka dan udara mulai masuk ke dalamnya. Tidak lagi pengap! Tapi di sisi lain, dia merasa benteng imajiner yang dia bangun sedikit retak dan dia harus segera menambalnya.
"Wah ada jam bagus nih."
Seketika langkah Julie terhenti. Pandangannya mendarat kepada pasangan yang sedang asyik mengamati jam di depan Rak 7.
"Bagus yah desainnya," kata si perempuam.
"Ada tulisan relik di belakangnya.."
"Mori?"
Julie hanya bisa membuang napas dan melanjutkan langkahnya pergi ke luar.
*****
Pulang ke rumah, Julie langsung menghampiri ayahnya yang seperti biasa sedang sibuk dengan laptopnya. Dia duduk disampingnya dan bertanya, "Di keluarga kita apa ada yang punya kemampuan aneh?"
Rafael mengernyit. "Maksudnya?"
"Ya kemampuan aneh semacam..," Julie mencari istilah yang mudah dipahami, "supranatural?"
Pandangan Rafael beralih dari laptop ke Julie. "Kenapa gitu?"
“Tugas sekolah. Aku disuruh mengumpulkan isu-isu supranatural yang beredar di masyarakat. Mata pelajaran Ilmu Sosial."
Rafael menggaruk-garuk kepalanya. "Kayaknya nggak ada yang gituan," kembali memandang laptopnya dan mendadak tertegun sesaat. "Eh tapi ibumu pernah bilang kalau neneknya bisa ngeramal."
Julie terhenyak. "Neneknya mama?"
"Iya nenek buyutmu. Katanya selain peramal dia juga dukun beranak."
Julie mengernyitkan keningnya. "Dukun beranak?"
Rafael terkekeh. "Itu lho yang bantu ibu-ibu melahirkan. Semacam bidan tapi yang ini nggak bersertifikat."
"Oh."
Rafael menutup laptopnya. "Zaman dulu, dukun beranak itu dianggap orang sakti lho. Katanya mereka bisa memprediksi kapan bayi lahir dengan akurat. Mereka juga bisa tahu jenis kelamin bayi dalam kandungan padahal nggak pake USG. Bayi sungsang? Gak perlu Caesar, dengan tangan sakti mereka, bayi bisa lahir selamat."
"Terus dia bisa meramal apa?"
"Kata ibu kamu, beliau bisa ngeramal bencana alam semisal gunung meletus, gempa bumi, tsunami dan semacamnya, dia bisa tahu semua itu dari jauh hari."
"Hemh…"
"Dan yang paling nyeremin dia bisa meramal kematian seseorang."
"O ya?" tanya Julie dengan nada santai, berusaha tidak terlihat tegang.
"Dia bisa tahu orang yang akan segera meninggal."
"Caranya?"
Rafael mengangkat bahunya. "Itu kan kata ibumu, Papa sendiri nggak percaya."
"Mama cerita banyak tentang neneknya?"
Rafael tiba-tiba tertegun. "Enggak, cuma satu kali dia cerita panjang lebar tentang neneknya. Waktu itu dia panik gara-gara kamu."
"Aku?" kali ini Julie tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Waktu itu kamu masih TK. Kamu cerita sama ibumu kalau salah satu guru di sekolahmu berbau aneh. Bau yang nggak pernah kamu cium sebelumnya. Entah kenapa kamu merasa khawatir dengan guru tersebut. Besoknya guru itu meninggal karena kecelakaan."
Julie berusaha mencari peristiwa tersebut di memorinya. Namun tidak ada! Dia sama sekali tidak ingat. Apa karena masih kecil?
"Ibumu panik dan langsung mengaitkan insiden itu dengan kemampuan mistis neneknya. Dia takut kamu mewarisi bakat neneknya yang bisa meramal kematian.”
"Papa percaya?"
"Gaklah," balasnya sambil tertawa. "Mungkin itu cuma kebetulan. Hari itu bisa saja guru kamu memakai parfum aneh yang aromanya nggak kamu suka. Jadi bukan bau kematian atau apalah seperti ibumu asumsikan. Buktinya sampai sekarang kejadian seperti itu nggak pernah terulang lagi. Ibumu memang paranoid," Raut wajah Rafael tiba-tiba sedikit sendu.
Julie mengangguk kemudian bangkit. “Aku juga nggak percaya!”
*****
Loncat generasikah? Pertanyaan itu langsung muncul begitu kepalanya menyentuh bantal. Kenyataan yang sulit dipercaya atau lebih tepatnya sulit ia terima.
Sungguh diluar dugaan kalau bakat yang Julie miliki diturunkan dari nenek buyutnya. Diantara banyak anak, cucu, dan cicit kenapa harus dia?
Istilah bakat dia pinjam dari Madam Alina, bisa jadi ini kelainan? Toh sama-sama bisa diwariskan. Yang jelas, kemampuannya itu bagaikan fitur bawaan yang tidak bisa ia uninstall. Cuma menuhin kapasitas dan membebani otaknya bekerja. Dan lama-lama mungkin bisa merusaknya?
Adakah cara untuk me-nonaktifkannya? Di manakah tombol on/off itu berada?
Sejenak, Julie penasaran bagaimana nenek buyutnya menjalani hari-harinya. Sepertinya biasa saja karena "bakat" yang ia miliki tampak serasi dengan zamannya. Pada masa itu mayoritas masyarakat masih percaya dengan hal-hal mistis. Orang-orang seperti nenek buyutnya justru dianggap orang sakti bukan orang sakit dalam konteks zaman sekarang.
Kembali Julie membuang napas. Sepertinya dia harus belajar menerima kenyataan bahwa kemampuannya merupakan bagian dari dirinya dan akan selalu bersamanya. Hanya ada satu cara untuk menghilangkannya.
Kematian?
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...