Nara mengendarai motornya dengan pikiran yang berkecamuk. Ia masih mengingat-ingat ketika Zevan berbicara dengan Melva di taman tadi. Sebenarnya hal itu bukan hal besar. Bisa jadi, mereka memang masih memiliki hubungan dan karena itu, tidak seharusnya Nara merasa sesak di dadanya seperti saat ini.
Jadi mereka masih berhubungan ...
Sepanjang perjalanan hanya kalimat itu yang berulang kali terlintas begitu saja di pikirannya.
Ketika Nara melewati jembatan, yang dimana setelah itu ada taman yang sering dikunjunginya akhir-akhir ini, ia memutuskan untuk singgah ke sana sejenak. Ia perlu udara segar dan pemandangan indah. Harap-harap, bahwa hal itu bisa membuatnya melupakan apa yang baru saja terjadi.
Diparkirkannya motornya itu di tempat parkir yang disediakan. Belanjaannya, Nara tinggalkan begitu saja di motor. Bukan sengaja, tetapi memang karena ia pikir itu akan aman-aman saja.
Seperti biasa, Nara duduk di sebuah bangku besi panjang yang sudah ditanam di tanah. Matanya memandang jauh ke depan sambil menghela napas dalam-dalam.
Lagi-lagi, Nara merasa sangat membenci dirinya sendiri. Kenapa ia masih merasakan hal yang seharusnya tidak ia rasakan seperti ini. Perasaan sakit ketika melihat Zevan bersama gadis lain. Perasaan tersakiti yang bahkan seharusnya tak ia rasakan karena memang ia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Zevan.
Tapi kenapa?
Kilatan kenangan sewaktu Nara di Samantha pun tiba-tba terlintas di pikirannya.
Waktu itu, Nara ingat semua guru tiba-tiba mengikuti rapat dadakan sehingga hari itu jamkos, atau jam kosong, untuk setengah hari. Terdengar sorakan serentak dari semua kelas ketika pengumuman selesai dikumandangkan melalui pengeras suara yang ada di tiap-tiap kelas.
Semua murid di kelasnya pun bersorak gembira, tak terkecuali Nara.
Bersamaan dengan itu, entah kebetulan atau apa, Nara secara spontan melihat ke arah Zevan, begitu juga dengan Zevan yang juga sedang melihat ke arahnyya. Beberapa detik tatapan itu berlangsung sampai Nara mengakhirinya terlebih dahulu.
Setelah insiden itu, mereka berdua sama-sama tak mengatakan apa-apa dan beralih berbicara dengan teman yang lainnya seakan-akan tidak ada yang terjadi. Baik Nara maupun Zevan sama-sama duduk dengan menghadap ke meja belakang, tetapi masih dengan arah yang saling berhadapan sehingga dalam beberapa kesempatan mereka, masing-masing, masih diam-diam melirik sekilas beberapa kali.
Kemudian di satu waktu berbeda, kelas mereka diberi tugas dimana mereka harus mengerjakan tugas itu di perpustakaan.
Perpustakaan di Samantha hanya memiliki satu lantai, tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap untuk ukuran sebuah perpustakaan di tingkat SMP. Tentu saja, terdapat beberapa rak dimana tiga diantaranya berada di tengah-tengah ruangan, membentuk lorong-lorong seperti perpustakaan pada umumnya.
Seperti biasa, Nara bersama beberapa temannya mengerjakan tugas tersebut di salah satu spot yang ada di perpustakan. Tepatnya mereka duduk dan meletakkan buku mereka di lantai lorong pertama menghadap ke arah rak buku yang bukan berada di dinding ruangan.
Mereka kemudian kembali berdiri untuk mencari buku referensi yang dibutuhkan. Mula-mula mereka masih mencari di lorong yang sama. Namun, entah sejak kapan teman-temannya itu sudah berpencar pergi ke lorong lain.
Tiba-tiba, ketika sedang mencari-cari buku yang sesuai, Zevan muncul tepat di depan Nara. Ia berada di lorong tepat di sebelahnya. Lagi-lagi, mata mereka kembali bertemu. Namun, kali ini berbeda. Kali ini mereka tiba-tiba tersenyum sambil sesekali menatap ke arah lain. Nara tidak tahu mengapa Zevan tersenyum seperti itu, tapi ia tahu bahwa ia sedang tersenyum karena malu.
"Apa sih, Ra?" tanyanya kala itu. Namun, sebenarnya itu bukan seperti bertanya, tapi lebih seperti memastikan sesuatu yang memang sudah ia tahu.
"Ya apa?" tanya Nara balik karena tidak bisa memikirkan apa yang harus ia katakan.
Selanjutnya, mereka masih terus saling melempar pertanyaan yang sama sampai beberapa kali sebelum akhirnya teman Nara datang dan membuatnya seketika terdiam dan duduk.
Zevan pun ikut terdiam, tetapi bukannya pergi dari sana, ia malah ikut-ikutan duduk sehingga posisi mereka saat ini saling berhadapan, tetapi terpisah oleh rak buku di depan mereka.
Meskipun hanya sebatas itu, tanpa Nara sadari perasaannya uintuk Zevan jatuh semakin dalam.
Jujur, pada awalnya Nara berpikir bahwa itu hanyalah cinta monyet anak SMP dan akan hilang seiring berjalannya waktu. Nara memang sangat mahir dalam memahami soal matematika dan bahasa inggris. Namun, dalam memahami perasaannya sendiri, NOL besar.
Ketika Nara tersadar dari penjelajahan waktunya ke masa lalu, ia menengok ke samping, dan tahu apa yang ia lihat?
Zevan tengah duduk tepat di sebelahnya. Mungkin hanya menyisakan jarak satu meter di antara mereka. Namun, matanya terpejam dengan kepala yang sedikit medongak ke atas.
Nara buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia lalu berniat untuk pergi dari sana dengan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Bahkan, ia tidak berani menghela napasnya sendiri.
Namun, ternyata Zevan membuka matanya dan menengok ke arahnya. "Ra," panggilnya.
Nara yang baru berdiri langsung membelakangi Zevan dan menggigit bibir bawahnya kesal.
"Ra, lo jangan salah paham soal tadi. Gue sama Melva udah lama nggak ada hubungan apa-apa," ujar Zevan.
Nara tak bergeming. Ia masih memikirkan apa yang harus ia lakukan atau katakan sekarang.
Nara menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk berbalik. Ia tidak menatap Zevan, melainkan menatap ke tanah yang kering karena matahari yang semakin terik.
"Gue nggak salah paham soal apapun karena emang itu bukan urusan gue," jawab Nara akhirnya lalu berniat pergi dari sana sesegera mungkin.
Namun, baru saja Nara berbalik dan hendak melangkah, Zevan dengan cepat menahan tangannya.
Nara pun berbalik dan pandangan mereka kembali bertemu dengan cara yang dibenci Nara. Ia benci karena berada di situasi dimana ia bisa terpeleset jauh ke jurang yang lebih dalam ketika ia bahwa sudah berada di jurang yang lain.
"Maaf," ujar Zevan melepaskan tangannya dari tangan Nara.
Zevan lalu melangkah pelan dan meletakkan kedua tanggannya di atas pagar. Matanya meneliti aliran sungai yang cukup deras saat itu sambil berkata, "Waktu gue pindah, gue udah putusin dia," kata Zevan tak memedulikan perkataan Nara sebelumnya. "Bukan karena gue nggak bisa LDR, tapi memang ternyata gue nggak bisa suka sama dia."
Nara menyipitkan matanya mendengar hal itu. Entah mengapa ia masih berdiri di belakang Zevan dan bukannya melanjutkan niatnya untuk pergi dari sana.
"Dia cantik, pinter, famous, humble, jadi gue kira bakalan mudah buat suka sama dia. Tapi ternyata gue salah. Perasaan sejenis itu nggak bisa diukur pakai sesuatu yang terlihat aja. Ada beberapa 'unknown things' yang justru jadi faktor utamanya." Zevan berbalik dan menatap Nara dalam.
Tanpa bisa Nara hindari ia pun membalas tatapan itu. Padahal, ia sudah bertekad untuk tidak lagi melakukan hal itu. Ia tahu kapasitasnya. Ia tahu bahwa ia akan semakin goyah nantinya. Namun, ia sudah tidak bisa kembali. Ia sudah terperangkap sekarang.
"Gue jadi sadar kalau semua standar itu baru muncul setelah perasaan itu ada lebih dulu. Dan nggak bisa sebaliknya. Setidaknya, dalam kasus gue," lanjutnya.
Nara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak bisa ia hindari bahwa saat ini ... ia berpikir bahwa ... lagi-lagi Zevan sedang menyatakan perasaannya kepadanya.
Namun, perasaan yang muncul, lebih banyak perasaan takut daripada perasaan senang. Ia merasa takut jika Zevan akan benar-benar menyatakan perasaannya dengan kalimat yang lebih jelas.
Nara masih merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk Zevan. Dulu ada Melva, dan sekarang ada Sheyna yang juga jelas-jelas lebih baik daripada dirinya.
Nara selalu merasa bahwa dirinya tidak cukup cantik, tidak cukup terkenal, tidak cukup pandai berteman, dan masih banyak ketidakcukupan tak bernama lainnya untuk bersama Zevan. Dan hal itu selalu menjadi permasalahan utama, terlepas dari Sheyna—sahabatnya.
"Lo tahu, Ra? Entah kenapa gue masih yakin kalau perasaan gue nggak bertepuk sebelah tangan." Nara kembali menatap Zevan tanpa sadar. "Tapi gue nggak akan maksa dia, Ra. Gue bakalan nunggu dia."
Nara untuk sepersekian detik terkesan dan merasa sangat berharga mendengar kalimat itu. Ada perasaan aneh ketika Zevan mengucapkan kata 'dia' yang mana tertuju pada Nara.
"At least, gue bakalan nunggu dia ngasih alasan yang logis kenapa dia terus menghindar dan menyangkal perasaanya sendiri."
"Udah mau dzuhur, gue pulang dulu."
Pada akhirnya, Nara benar-benar tidak bisa mengatakan apapun. Ia memilih pergi tanpa sepatah kata berarti yang ingin Zevan dengar dari mulutnya.
Saat itu, Zevan benar-benar melupakan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Tanpa ia sadari, sedari tadi seseorang memperhatikan mereka berdua dari dalam mobil.
Orang itu tersenyum getir karena merasa diremehkan. "Oke, kalo itu mau lo, Van," gumamnya sambil membenarkan posisi kacamata hitamnya.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past