Orang bilang, masa-masa terindah berada di SMA. Namun, bagi Nara, sepertinya ... tidak demikian. Masa terindahnya, dan sayangnya juga menjadi masa terberatnya, adalah masa-masa SMP—setidaknya sampai saat ini. Karena itu adalah masa-masa dimana ia mungkin mengenal apa yang disebut dengan 'cinta pertama' dan 'jatuh cinta pada pandangan pertama'.
Mungkin jika membaca kedua frasa itu di dalam sebuah buku atau mendengarnya di dalam sebuah film, Nara akan merasa geli dan mual. Namun, akan berbeda cerita jika mengalaminya sendiri.
Kanvas kehidupannya yang semula kosong, mulai terpercik warna sedikit demi sedikit saat bertemu Zevan. Sayangnya, terlalu banyak warna juga tidak baik ternyata. Warna-warna yang terlalu banyak dan tercampur, pada akhirnya hanya akan menjadi warna hitam pekat yang akan menyakitinya.
Saat itu, Nara tidak menyangka bahwa harapan yang secara spontan ia pikirkan benar-benar terkabul. Ia benar-benar satu kelas dengan anak laki-laki yang dilihatnya saat hari pendaftaran ulang. Hal itu membuatnya bertanya-tanya. Apakah ini hanya kebetulan? Atau ... takdir? Atau semacam cara semesta mengajaknya bercanda dengan memperkenalkannya kepada sebuah perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya?
Dan entah sebuah kebetulan lagi atau bukan, masih jelas dalam ingatan Nara ketika sosok itu berdiri di ambang pintu, lalu benar-benar masuk dan memilih duduk tepat di meja sebelahnya. Matanya tidak bisa beralih ketika melihat sosok itu berjalan ke arahnya. Ia seperti sedang berada di sebuah adegan slow motion di film-film.
Seiring berjalannya waktu, bukannya saling akrab, Nara justru sering ribut dengan Zevan karena kerap membuat keributan di kelas dan mengganggu teman-temannnya.
"Van, bisa diem nggak sih?" ujar Nara kala itu sambil memelototi Zevan.
"Nggak bisa, Ra ... Lo mau apa?" jawab Zevan sambil tersenyum mengejek Nara.
Dengan atau tanpa Nara sadari, ia menjadikan itu sebuah alasan untuk bisa berbicara dengan Zevan. Tatapan mereka sering beradu, seperti ada tantangan terselubung untuk melihat siapa yang bisa bertahan lebih lama. Hal itu membuat perasaan Nara semakin dalam dan entah mengapa ia merasa bahwa Zevan pun merasakan hal yang sama.
Namun, seiring berjalannya waktu, Zevan semakin populer di sekolah, terutama karena kehebatannya dalam olahraga. Apalagi, wajahnya yang bisa dibilang cukup tampan, semakin menambah daya tariknya.
Sementara itu, Nara hanyalah menjadi salah satu murid pintar biasa di sekolah. Kelebihan yang cukup menonjol hanya ada di mata pelajaran matematika dan bahasa inggris.
Nara selalu maju mengerjakan soal matematika tersulit ketika tidak ada yang bisa mengerjakannya di kelas. Kemudian, saat kelas bahasa inggris, Nara selalu menjawab arti kata bahasa inggris yang ditanyakan guru dengan cepat. Semua teman-temannya sangat terkejut karena mereka bahkan belum pernah mendengar kata itu sebelumnya.
Di sisi lain, ternyata Nara kesulitan dalam berteman. Ia hanya memiliki satu teman dekat, dan itu pun teman sebangkunya sendiri. Ia juga tidak mengikuti ekstrakurikuler apapun—membuatnya tidak banyak dikenal.
Berbanding terbalik dengan Zevan yang sepertinya semua murid orang setidaknya mengetahui nama Zevan Ganeswara. Hal itu membuat kepercayaan diri Nara terkikis sedikit demi sedikit untuk dekat dengan Zevan. Apalagi, saat mereka naik ke kelas delapan, ada desas-desus bahwa Melva, dari kelas sebelah, dikabarkan menyukai Zevan.
Mengetahui hal itu, Nara semakin menarik diri dan menjauhi Zevan. Bukan karena marah bahwa ada orang lain yang juga menyukai Zevan, bukan juga karena Zevan mungkin juga menyukai Melva balik, atau murid-murid perempuan cantik lainnya, tetapi lebih karena merasa tidak percaya diri jika harus bersaing dengan mereka semua.
Terutama Melva, si peringkat pertama paralel yang juga merupakan ketua OSIS—sangat cantik, supel, aktif berorganisasi, dan selalu menjadi perwakilan kompetisi nasional.
Zevan pada awalnya terlihat bingung dengan perubahan sikap Nara. Di kelas pun, Nara tidak seperti biasanya. Ia tidak pernah memarahinya lagi karena membuat keramaian. Ia hanya diam seolah keberadaan Zevan tidak pernah mengusiknya. Beberapa kali Zevan mencoba mengusili Nara, tetapi tanggapan Nara justru membuatnya terlihat bodoh dan seperti ingin mencari perhatian Nara saja. Nara yang terus-menerus bersikap demikian, membuat Zevan kesal, dan berakhir dengan dia yang tak lagi menghiraukan Nara.
Sampai akhirnya, saat akhir-akhir semester genap, hubungan Zevan dan Melva terkonfirmasi. Mereka berpacaran. Hal itu bagaikan petir yang menyambar pohon lebat dengan daun yang sudah layu. Perasaan Nara hancur mengetahui hal itu.
Sejak saat itu, Nara bertekad untuk melupakan Zevan. Dan entah dia harus senang atau tidak, saat naik kelas sembilan, Zevan ternyata pindah sekolah ke kota lain. Meskipun tanpa bisa ia sangkal, ada rasa kehilangan yang menghunus dadanya, tetapi ia pikir jarak akan mempermudah proses melupakan. Namun, sepertinya ... bagi sebagian orang, jarak hanya menumpuk perasaan itu sendiri sebelum akhirnya meledak bagaikan bom waktu.
Namun, sekarang apa? Tiba-tiba Zevan kembali lagi ke kota ini, bahkan bersekolah di sekolah, dan di kelas yang sama seperti Nara.
Begitu bel pulang berbunyi, kelas seketika menjadi ramai. Suara kursi bergeser, tas dikemasi dengan cepat, dan percakapan penuh semangat memenuhi ruangan. Beberapa siswa bahkan sudah berlari keluar sebelum guru sempat meninggalkan kelas.
"Zevan lo naik apa ke sekolah?" tanya Sheyna tiba-tiba saat ia sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas yang memberinya kesempatan untuk mengajak Zevan berbicara. Nara yang sedang merapikan alat tulisnya di atas meja membulatkan matanya mendengar itu.
"Motor," jawab Zevan singkat. Matanya masih tertuju ke ponselnya.
"Ohh ... Rumah lo di mana sih? Siapa tahu kita bisa berangkat bareng," ujar Sheyna yang kali ini sampai membuat Nara mencubit pahanya. "Aww, sakit, Ra ..." bisik Sheyna sambil mengelus pahanya sendiri karena kesakitan.
Nara kemudian mengambil tasnya tanpa menoleh ke belakang, memindahkan tas itu di pangkuannya, dan mulai memasukkan semua buku dan alat tulisnya.
Sheyna tersenyum sambil berbalik ke arah Zevan lagi, tetapi Zevan justru berdiri dari bangkunya dan mulai berjalan keluar tanpa membawa tasnya. Ekspresi Sheyna berubah kecewa.
"Gara-gara lo sih! Pergi kan Zevannya," gerutu Sheyna sambil kembali mamasukkan barang-barangnya. Sementara, Nara tanpa sepengetahuan Sheyna memperhatikan Zevan yang menghilang di balik pintu.
Tak lama kemudian Nara dan Sheyna beranjak untuk pulang.
"Eh, Ra!" Sheyna menepuk bahu Nara ketika mereka sampai di ambang pintu. Nara berhenti dan menoleh. "Nanti malem gue main ya," lanjut Sheyna santai seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Ngapain?"
"Ya ... main aja," jawab Sheyna dengan senyum penuh arti, seolah ada maksud tersembunyi di balik ajakan itu.
Nara menyipitkan matanya. Menatap dengan tatapan yang menyiratkan agar Sheyna mengatakan apa tujuannya yang sebenarnya.
Ardya yang sejak tadi berdiri di dekat pintu langsung menimpali, "Gue ikutan ya!" Suaranya penuh semangat, membuat Sheyna menoleh dengan alis terangkat.
"Tumben lo mau ikut?" cibir Sheyna.
Ardya terkekeh. "Ya, nggak papa kan? Mumpung malem ini gue lagi free."
"Gaya lo kayak orang sibuk aja. Padahal cuma main game di rumah."
"Eitsss jangan asal ngomong ya. Gini-gini gue lebih pinter daripada lo."
"Dihhh, gitu aja bangga. Udah deh ... lo nggak usah ikutt!!" ujar Sheyna sambil menggandeng Nara pergi dari sana. Sementara Ardya hanya tertawa senang melihat saudara kembarnya kesal.
Nara menghela napas pelan. Ia sebenarnya sedikit lelah setelah seharian di sekolah, tapi menolak juga rasanya percuma. Jika Sheyna sudah memutuskan sesuatu, kecil kemungkinan ia bisa menghindar.
Beberapa saat kemudian, Zevan entah darimana kembali ke kelas, mengambil tasnya, lalu beranjak keluar dari kelas untuk pulang.
Tiba-tiba, sebuah tepukan mendarat di bahu Zevan sesaat setelah ia keluar dari pintu. Ia menoleh dan mendapati Ardya dengan senyum lebar sudah berdiri di sampingnya.
"Hei, anak baru. Kenalin, gue Ardya. Kita belum sempet kenalan kayaknya tadi," ujar Ardya terdengar ramah.
Zevan menatapnya sebentar sebelum menjawab singkat, "Zevan."
Ardya mengangguk, lalu merangkul Zevan. "Gue denger lo sama Nara satu SMP?" tanyanya dengan nada ingin tahu.
"Iya," jawab Zevan, sedikit terkejut. "Cuma pas kelas tiga gue pindah sih."
"Oh gitu ... Kenapa?"
"Biasa lah, kerjaan orang tua."
Ardya mengangguk paham. "Btw, ntar malem gue sama Sheyna, tahu kan yang duduk sama Nara, mau main ke rumah Nara. Ya ... kali aja lo mau ikut."
Zevan mengerutkan alisnya.
"Lo tahu rumah dia kan?" sambung Ardya lagi.
"Tahu sih."
"Oke, kalo mau, dateng aja." Ardya menyeringai. "Tapi jangan lupa bawa jajan," lanjutnya lalu terkekeh.
Zevan menatapnya bingung, sebelum akhirnya melihat Ardya tertawa keras. "Bercanda," jelasnya saat melihat wajah bingung Zevan. Ia lalu menepuk bahu Zevan sekali lagi sebelum berlalu pergi, meninggalkan Zevan yang masih berdiri di tempatnya.
"Duhh, kok kayak sok asik banget ya gue?" batin Ardya yang merasa sedikit malu setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
Di satu sisi, Zevan ingin akrab dengan Nara lagi seperti dulu, sebelum Nara berubah. Ia juga ingin menanyakan alasan mengapa Nara berubah. Baginya, semua itu terlalu tiba-tiba. Sampai saat ini, ia masih sering mencoba mengingat kesalahan apa yang ia perbuat hingga Nara menjaga jarak dengannya.
Namun, tak peduli seberapa keras ia mencoba, ia tidak pernah menemukan jawabannya. Mungkin ... memang hanya Nara yang mengetahuinya.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past