"TAK, tak, tuk,
TAK" alarm Gelis untuk panggilan subuh kali ini adalah dari jendela kamar yang lupa ditutup tadi malam.
Suara di luar amat ribut, langit sedang menangis sejadi-jadinya tetapi bukan karena terluka. Langit menangis untuk bumi, dan bumi tidak keberatan karena hujan selalu ditunggu para penikmatnya. Gelis menarik nafas di pinggir ranjang, duduk menghadap jendela.
"subuh" gumamnya, lebih kedinginan dari tengah malam.
"setiap hari, akan kubiarkan saja jendela terbuka" bisiknya tanpa ragu
Dengan kelopak mata yang masih separuh terpejam, perlahan ia berdiri untuk menikmati segelas air putih. Pandangannya mulai serius, bergegaslah ia berwudhu bersama pagi yang lembab dan dinginnya hujan yang menghidupkan.
sajadah dan mukena sudah dilipat, urusannya dengan sang pencipta pagi itu, selesai. Kembalilah ia terduduk di dekat jendela untuk bicara pada hujan.
“Hari ini, kau datang lebih dulu daripada tawaku,” ucapnya pelan.
Hujan tak menjawab, tapi iramanya yang deras memberi sentuhan.
“Aku tidak bertanya apa-apa padamu… tapi kau selalu datang membawa jawaban yaitu, sepi”
Gelis menyentuh jendela kaca yang terbuka lebar untuk meresapi harum pagi. Di luar, daun-daun menari digoyang angin dan bersuara diguyur hujan. Langit masih tanpa mentari tapi tidak murung, justru bersinar ramah.
Kini suara ponselnya nyaring di telinga. Satu notifikasi muncul di layar.
Ia melirik, lalu membeku.
"Natapurna Pradiksa mulai mengikutimu"
Gelis tak mendengar suara hujan, satu nama itu mengambil perhatiannya dengan mudah. Dalam dirinya, terdengar suara pelan " waktunya melihat kebiasaanmu dari jauh" . Jari-jarinya mulai menerima informasi, unggahan dosen muda itu menjadi buku bacaaanya di pagi hari.
Unggahannya tak banyak, beberapa saja. Namun, dirinya selalu berkharisma entah dengan kata ataupun menatap kamera saja.
Ia terus membaca, melihat wajahnya yang sama sekali tak ada perubahan. "Setelah kulihat lagi, kemejanya selalu berwarna biru dengan berbagai motif, ntah lembut ataupun pekat"
"tak pernah aku keliru, kau suka biru, sudah jelas" dengan senyuman kecil yang tak bisa diganggu gugat. ia sangat yakin.
“Unggahanmu rupawan seperti hujan tanpa ekspresi,” gumamnya lirih,
“dan entah kenapa, masih menjadi hujan favoritku sampai hari ini.”
Di ujung pikirannya, ada pertanyaan kecil yang tak tertulis:
“Apakah kau tahu aku mengagumimu di sini, masih seperti dulu?”
"Apakah kau ingat tatapan dan senyuman samar saat dahulu?"
Namun ia menarik nafas kembali, memilih menjauhkan handponenya.
Tentu saja tidak.
Tentu saja pria itu tak tahu. Ia memang tersenyum dan ramah kepada siapa pun.
Begitulah seorang dosen, bukan sebagai seseorang yang membalas perasaan jatuh suka.
Dan Gelis tahu itu. Ia tetap di sana, di jendela yang masih diguyur ai hujan.
Menatap langit yang jauh. Jauh, seperti Pak Dosen yang memberatkan fikirannya.