"Ku bahagia kau telah terlahir di dunia... dan kau ada di antara milyaran manusia, dan kubisa dengan radarku menemukanmu..."
Lagu itu mengalun pelan dari ponsel yang tergolek di lantai. Bersuka cita, Gelis berguling di atas dipan, menatap plafon dengan senyum yang sulit disembunyikan. Wajah Pak Natapurma muncul begitu saja di isi kepalanya, seperti slide presentasi tanpa jeda.
"Jangan takut berbagi ilmu, saling membantu, selamat berproses."
Begitulah kutipan Pak Nata, dosen muda yang tutur katanya halus seperti embun. Sederhana, tapi entah kenapa meresap.
“SELAMAT BERPROSES... SELAMAT BERPROSES...
SE—LA—MAT, BER—PRO—SES.
SELAMAT... SELAMAT…” celetuk Gelis sambil mengguling, menirukan nada suaranya sendiri. “Ucapanmu memang bukan buatku, tapi... aku menyaksikannya. Dari kejauhan saja sudah cukup membuatku riang. Entah sampai kapan gengsiku mengalah.”
Ia tertawa kecil, tapi tangannya justru menggantung pasrah di ujung kasur merah muda.
"Sudah tiga bulan aku menjadi penonton," bisiknya. "Kuharap ini cuma kekaguman biasa. Tapi kalau pun ternyata lebih... sepertinya memalukan."
Terlalu banyak mahasiswi yang bersolek dan bersuara tinggi tiap kali Pak Nata datang. Tapi tidak dengan Gelis. Ia justru buang muka dan pura-pura tidak melihat.
“Lagipula, bapak itu tidak mengajar mata kuliahku. Bagaimana bisa aku mencari perhatian… dengan cara yang elegan?”
Ia menghela napas, menepi ke sudut kasur.
“Tiba-tiba tersenyum di depan orang yang kusuka? Aku tidak bisaaaa. Tidak. GAMAU.”
“Jangan terlihat cari perhatian ke dosen muda deh. Malu. Apalagi aku… perempuan sedingin ini bisa langsung awkward.”
Ia menyelipkan wajah di balik bantal.
“Kepribadianku tidak ceplas-ceplos, Pak. Andai Bapak tahu…”
Yang jelas, kalau Gelis tertarik, ia akan buang muka.
Dan malam itu, seperti biasa, setelah semua gumam rahasia selesai dibisikkan dalam hening... Gelis pun akhirnya tertidur dengan gumaman terakhirnya “...apa benar, Pak Nata menatapku juga, walau sebentar?”