Rusmini langsung menoleh ke arah sang ibu dengan wajahnya yang merengut. Gemi hanya memutar-mutar bola matanya ke langit-langit.
Sementara di bawah awan mendung yang bergulung, Gustin sudah duduk manis di bangku kursi tinggi dengan kuas di genggaman tangannya yang mulai dia sentuh kan perlahan-lahan guratan ke tembok-tembok yang masih saja berhias bunga-bunga itu. Mulai tampak membentuk kedua bola mata yang bersinar-sinar, bahkan banyaknya enam mata dengan posisi masing-masing yang seperti anak tangga yang dari bawah lalu ke atas.
Lalu kedua alis yang tipis, bentuk wajah, kedua telinga, mulut dengan bibir yang tersenyum lebar hingga tampak gigi gerahamnya dan daun hidung yang mungil lalu memberi dua kepala rambut panjang terurai, satu kepala lagi ditumbuhi rambut ikal.
Kemudian, memberi warna masing-masing. Pada kaki yang masih di awang-awang, di bawahnya dia melukis Sebah perahu kayu berwarna cokelat tua, digenangi air yang bening. Banyaknya beberapa ekor katak-katak yang naik di atas panggung daun teratai, dan ikan-ikan berwarna emas yang menyembul ke permukaan, mereka tampak kompak sedang bernyanyi mengiringi perjalanan bahtera keluarga yang tengah berbahagia itu.
Ketika senja menyentuh kaki langit, dia pun rampung. Lalu mengemas alat-alat tempurnya itu ke dalam kotak yang selalu dia tenteng. Sebelum mengangkat kakinya, matanya basah. Sesaat dia menutup kedua matanya itu sambil mengembuskan napas pelan.
Gustin mantap untuk kembali ke rumah, meski hatinya merasa gelisah akan hasil karyanya yang tak sesuai harapan orang-orang Kampung Kedung Layur.
Sampainya di rumah, Gustin melihat orang-orang yang disayanginya itu berkumpul di ruang tamu dengan pandangan ke arahnya dan senyum yang tulus. Akan tetapi tatapan Gustin kosong. Dia berjalan berlalu saja menuju kamarnya.
"Keliatannya di saat-saat ini Bapak lagi butuh Ibu deh!" cetus Gemi membuat Samirah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju dengan pendapat cucunya itu. Akan tetapi Rusmini gemetaran, resah bila sikapnya justru kembali membuat suaminya itu merasa tertekan. Rusmini menggigit bibir sambil mencengkeram erat tangan Gemi, hingga putrinya itu memasang wajah masam. Samirah melongo. Perlahan-lahan dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Dia pun mulai beranjak, langkah kakinya mantap untuk mendekati daun pintu kamarnya, namun napasnya masih saja memburu, meski dia sedang tidak berlari maraton.
Saat Rusmini berdiri tepat di depan pintu kamarnya, tak menunggu begitu lama daun pintu pun terbuka. Samirah dan Gemi yang menghuyungkan tubuhnya ke meja ruang tamu sambil melirik ke arah Rusmini yang masih terlihat gemetaran di hadapannya Gustin.
"Mas, maafin aku yah. Aku udah ngomong keras-keras ke kamu, pokoknya aku tuh udah jahat banget sama kamu!"
Gustin manggut-manggut sambil tersenyum miring, "Udah, itu aja?" Rusmini terdiam lalu mengangguk cepat.
"Eh tapi sebenarnya aku enggak salah-salah banget loh yah. Aku kan cuma nasehatin kamu aja, biar apa yang orang-orang pada bilang itu enggak sesuai dengan faktanya gitu loh!" sahut Rusmini membuat Gustin geram.
"Kamu ini memang terlalu banyak bicara yah!" ejek Gustin membuat Rusmini merengut. Samirah dan Gemi terkekeh-kekeh.
Saat mentari harus akui kalah dari insan-insan pilihan yang bangkit untuk bersinar pada dunia. Gemi yang tengah bersemangat kali ini menjalani jogging pagi bersama sang nenek, hingga harus membuat neneknya itu keletihan sebab keliling kampung Kedung Layur yang seperti labirin itu sampai sang mentari mau keluar.
Perlahan sinarnya yang merah jingga itu merekah, dan ketika mentari nyaris setinggi tombak yang sinarnya semburat semakin kilau menerangi sisi tembok-tembok kampung Kedung Layur yang memisahkan antara kampung tersebut dengan jalanan raya yang menuju ke Perum Chandra Na Wilis, yang tiba-tiba dikerubuti oleh orang-orang yang juga tengah jogging pagi itu, lama-kelamaan berubah menjadi lautan manusia.
Sesampainya Gemi dan Nenek Samirah di penghujung, mata Gemi melotot menyaksikan kehebohan yang terdengar cukup keras dari sana.
"Nek, kira-kira ada apa yah? Apa mungkin ada orang kecelakaan di sana?" ucap Gemi melirik ke arah Neneknya seraya menggigit bibir.
"Ayo Em, kita ke sana!" ajak Nenek Samirah menggandeng tangan Gemi dengan sangat kencang, keduanya berjalan setengah berlari.
Sampai di kerumunan itu, keduanya berusaha kakinya terus menjinjit-jinjit agar bisa nampak apa yang tengah orang-orang itu kerubuti. Saat genggaman tangan Neneknya terlepan darinya, Gemi terus melangkah maju, membelah lautan manusia itu dengan mudahnya. Seketika alisnya menyentak, matanya membulat, mutnya mendecak kagum. Di tembok-tembok itu, di hadapan pasang mata orang, wajah yang begitu mirip dengan dirinya, sang ibu dan ayahnya menghiasi tembok jalanan perbatasan itu. Di pojok bawah, tertanda sebuah tulisan 'Untuk Gema Kita' yang selintas membuat Gemi teringat suatu hal, ketika dia harus membuat sebuah prakarya untuk pekerjaan rumah saat baru menginjak di bangku sekolah menengah pertama, dengan melukis sebuah pot bunga untuk nanti akan dipajang rak pot bunga di depan kelas, sebagai wujud siswa yang cinta adiwiyata. Ketika itu sang ayah turut membantunya, karena begitu gemas melihat sang putri yang tidak rampung-rampung, meski dirinya baru saja meletakkan alat-alat tempurnya itu. Dan rampung lah di saat rembulan telah ditelan gulita. Hingga Gustin tak tersadar, saat menggores nama putrinya dengan milik Gema, bukan Gemi sampai nyaris tak mendapatkan nilai dari pekerjaan prakarya karena namanya tak terpampang. Sampai detik ini, hal itu merupakan hal yang konyol bagi Gustin.
Gemi tersadar, mengapa sang ayah menggores nama keliru itu di sana. Karena apa yang dia lakukan bersama lukisannya itu, adalah gema suara dari semua warga di Kampung Kedung Layur. Setiap keluarga berhak mendapatkan hak hidup sejahtera, yang di dalamnya penuh cinta. Gemi tersenyum lebar, matanya pun basah. Dia pun berbalik badan mencari-cari batang hidung sang nenek yang tiba-tiba terpisah darinya.
Saat Gemi mampu keluar dari kerumunan orang itu, dia melihat sang nenek bersama dengan sahabatnya, yang begitu lama tak terlihat lagi di pelupuk matanya, yang tiba-tiba menghilang.
"Rahma!" ucap Gemi sambil geleng-geleng kepala, masih gemetaran.
Rahma manggut-manggut sambil tersenyum lebar. "Kamu keren pisan euy!"
Gemi mengerutkan keningnya. "Keren apanya?"
"Nama kamu bisa terpajang di sana, udah kayak di museum-museum. Jadi yang paling antik!" goda Rahma membuat Gemi terpingkal.
"Kok bisa tahu sih? Apa sebelumnya aku pernah cerita ke kamu yah soal si Gema itu?"
Rahma menganggukkan kepalanya. "Iya lah, meskipun kita berdua nih bukan temenan yang dari orok. Tapi dari kamu terlahir, sampai sekarang ini pun aku yang pegang semua rahasiamu!"
"Wah, parah nih orang! Jadi sekarang saling punya pegang bom yah yang sewaktu-waktu bisa meledak!" sahut Gemi geleng-geleng kepala tak percaya.
Nenek Mirah hanya meringis melihat Gemi dan Rahma yang akhirnya bisa bertemu kembali.