Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warisan Tak Ternilai
MENU
About Us  

Sementara di Kampung Kedung Layur, para anggota pemuda-pemudi Keluyur yang memiliki nama panjang, pemuda-pemudi kedung layur tengah mengadakan musyawarah mufakat di pos kamling yang tempatnya di dekat sungai yang berdampingan dengan kincir air pembangkit listrik tenaga air dari sungai yang dikelola oleh kelompok pemuda-pemudi Keluyur. 

Dalam menciptakan suasana desa yang elok lagi nyaman dipandang. Pemuda-pemudi Keluyur sepakat untuk menciptakan suasana baru, ajak bijak masyarakat dalam bentuk mural yang akan dikerjakan serentak di hari weekend lalu dilanjutkan dengan kegiatan kerja bakti untuk gerakan 'Peduli Ayomi' tak ada hukum tebang pilih, semua warga boleh berpartisipasi dalam hal ini. 

Akan tetapi, belum terjadi mufakat mengenai persoalan siapakah yang akan membuat mural di Kedung Layur. 

 

 

"Gimana kalau Pak Gustin saja yang membuatnya. Dia kan pelukis yang andal. Sudah pasti jago juga bikin mural sederhana kayak gitu!" celetuk salah seorang pemuda Keluyur. 

 

"Boleh juga tuh, idenya! Tapi apa Pak Gustin sanggup menyelesaikannya dalam waktu sesingkat-singkatnya?" 

 

"Kita coba tawarkan dulu saja ke orangnya, siapa tahu cocok!" sahut pemuda yang lainnya. Lalu kompak pemuda yang lainnya mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda setuju. 

 

Langit mulai bertirai malam, burung-burung pun kembali ke sangkarnya. Dua orang pemuda dari Keluyur berkunjung ke rumah Gustin, namun saat berdiri di luar depan pagar rumah kedua pemuda itu justru berhadapan dengan Samirah yang tiba-tiba muncul di sana, membuat mereka tersentak, hingga jantung memompa lebih cepat. 

Samirah juga dibuatnya terkejut. 

 

"Selamat malam, Ibu!" ucap serentak pemuda.

 

"Panggil saya nenek. Karena di sini sudah ada panggilan Ibu untuk Ibu Rusmini!" jawab Samirah sambil tersenyum tipis. Kedua pemuda itu manggut-manggut.

 

"Begini Nek, kedatangan kamu kemari untuk bertemu dengan Pak Gustin. Apa beliau ada di rumah?" 

 

Nenek Mirah menganggukkan kepalanya, lalu membuka pintu gerbang rumah dan mempersilakan kedua pemuda itu untuk masuk. Samirah masih berdiam diri di belakang pagar rumah, matanya mencari-cari kerinduan pada suaminya itu. Kedua pemuda itu sedikit menengok ke belakang, lalu saling bersitatap aneh. Dan sebelum keduanya itu menguluk ucap salam pada tuan rumah, Pak Gustin pun menyembul.

 

"Pucuk dicinta ulam pun tiba!" ucap salah seorang pemuda sumringah.

 

Kedua alis Gustin menyatu, "Bukan ulam, tapi saya Gustin!" Kedua pemuda itu terkekeh. 

 

"Pak, bisa kita bicara sebentar? Karena kita lagi absen dulu enggak minum kopi di malam ini!" 

 

Gustin menyeringai, kedua pemuda itu duduk di teras rumah berjajar. Sementara kedua pemuda Keluyur itu terus memberikan penjelasan pada Gustin tentang kegiatan ajak bijak bersama mural. Gustin sempat terdiam cukup lama, menerima keputusan yang dilayangkan para pemuda-pemudi desa Kedung Layur pada dirinya. 

 

"Kapan aku bisa mulai buat mural nya?" 

 

"Kira-kira lusa lah, Pak!" 

 

"Jadi Bapak setuju kan, termasuk sama SOP kerjanya?" 

 

Gustin geleng-geleng kepala. "Gila yah, kerja di rumah sendiri pakai SOP segala lagi. Pantas saja kalian pada betah jadi anggota pemuda-pemudi Keluyur!" Kedua pemuda itu tergelak lalu beranjak pergi, namun keduanya kembali berbalik dan kembali menghampiri Gustin yang hendak berdiri itu.

 

"Ada apa lagi?" 

 

"Maaf, Pak. Saya penasaran mengapa Pak Gustin lebih memilih seorang wanita yang menjadi sekuriti ketimbang pria? Atau enggak yang badannya lebih besar dari Bapak gitu!" jelas salah satu pemuda membuat Gustin mengernyitkan dahi, lalu menatap ke arah pagar rumahnya. Matanya melotot melihat Ibu Mertuanya ada di sana. 

 

"Oh, maksud kalian orang tua perempuan yang di depan sana itu yah? Dia bahkan lebih dari seorang sekuriti, karena dia adalah ibu mertua saya, apa kalian baru mengetahuinya?"

 

Kedua pemuda itu melongo, lalu kompak mengelus-elus tengkuknya yang tiba-tiba suhunya panas dingin. 

 

 

Matahari sejenak bersembunyi di balik kaus awan yang mendung yang munculnya perlahan-lahan namun begitu dinantikan kehadirannya. Nenek Mirah tengah duduk di atas ubin teras rumah dengan kedua jemari-jemari tangan yang diremas-remas gelisah. Gemi duduk di samping sang nenek. 

 

"Ini, biar Nenek aja yang pakai!" ucap Gemi sambil menyodorkan telepon genggamnya pada Nenek Mirah, "Nenek pasti kangen kan, sama Kakek Dul?" 

 

Nenek Mirah merunduk. Gemi meraih tangan sang nenek lalu dibukanya lebar-lebar telapak tangan itu, Gemi meletakkan telepon genggamnya untuk digenggamnya erat oleh sang nenek. 

 

"Pakai sepuas hati Nenek yah. Tenang aja Nek, pulsa kuota Gemi masih banyak!"

 

"Tapi Nenek enggak bisa menggunakannya, Em!" jelas Nenek Mirah membuat keduanya tertawa lepas. 

 

Gemi menunjukkan nomor telepon dari Akmal pada sang nenek. Saat Gemi mencoba menghubungi nomor tersebut, ternyata berbunyi suara cici-cici itu lagi, bahwa tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan servis area. Gemi terus menerus mencoba agar bisa terhubung, lalu mencoba untuk menghubungi Wulan namun hasilnya tetap nihil. Perasaan Samirah semakin cemas. Akhir-akhir ini juga kerap memikirkan suaminya. Akhirnya, Gemi menemukan ide untuk bisa menghubungi kakeknya itu. Dia mencoba untuk menghubungi salah seorang yang sangat berpengaruh di sekitar kampung tempat sang paman Akmal tinggal. Dengan cara mencari akun media sosial dari Warung San Madura. Kebetulan akun Warung San Madura tengah melakukan video live streaming. Gemi begitu sumringah, lalu buru-buru ikut nimrung, seketika wajahnya berubah muram saat melihat jumlah penonton yang gabung di kive streaming itu mencapai 50 ribu orang. Dia berpikir, bagaimana ketikan dia itu bisa terbaca. Satu-satunya cara dengan kirim komentar spam yang semua abjadnya capslock. "HAI, ADMIN MADU MADURA, TOLONG BACA INI, DAN BANTU SAYA UNTUK MEMBERIKAN TELEPON INI PADA KAKEK ABDUL YANG TINGGAL TAK JAUH DARI WARUNG SAN MADURA! TERIMA KASIH!" tulis pada kolom komentar live streaming di I-Gram. Beberapa orang mencemooh komentar Gemi yang dinilai begitu sangat mengganggu, akan tetapi beberapa ada yang peduli bahkan ikut menyebut dirinya di kolom komentar live streaming agar bisa tersampaikan pada host. 

"Maaf nih, sepertinya kita harus jeda sejenak live streaming ini!" ucap seorang direktor pada seorang pemuda gagah perkasa, rambut klimis, pakain modis, yang tengah bersiap-siap untuk berakting pada sebuah iklan, "Tolong dimengerti yah, soalnya pemilik dari Warung San Madura ini orangnya sangat memiliki jiwa empati dan sosial yang tinggi. Siapa tahu ini jadi jalan kita menuju kesuksesan, juga buat karir mu!" 

Pria itu mengangguk-angguk kepalanya lalu terdiam. Pria bertubuh mungil dan berpeci setinggi harapan orang-orang , dengan mengenakan pakaian ciri khas negeri Madura itu berjalan setengah berlari menuju rumah Akmal. Sampainya di sana, dia mengamati sambil kedua kakinya jinjit-jinjit ke sekitaran halaman rumah Akmal yang begitu sepi. Rumahnya sunyi, tetapi mengapa orang itu menyuruhku kemari. Apa mungkin aku di-prank yah, batinnya gelisah. 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags