Aku tersadar, ternyata milyaran doa memohon rezeki bisa bisa diuji lewat utang.
Allah menjawabnya lewat tambahan daman bentuk rezeki uang, akan tetapi lewat rasa kepepet.
Dan rezeki memang tidak selalu datang dalam bentuk uang, kadang bentuknya adalah dorongan hati untuk mulai belajar.
Belajar dari perasaan yang "enggak tahan lagi!" justru membuka pintu baru lewat ilmu yang dulu terpikir begitu sepele tetapi justru menjadi kunci pertama dalam bersyukur.
Akmal, anak lelaki satu-satunya Abdul dan Samirah yang anti untuk ambil resiko.
Dia selalu bersikeras agar tidak pernah terjerumus di lubang riba, yang jelas membuat kehidupannya yang damai-damai saja. Dia lebih cukup dari kedua saudaranya, bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai staf manager, juga paling beruntung dari Rusmini dan Luki yang hanya mengenyam pendidikan sampai di bangku sekolah dasar, dan sekolah menengah atas. Sementara Akmal, bisa sampai merasakan wisuda di perguruan tinggi sebagai sarjana. Memang, di zaman Rusmini bangunan sekolah masih terbatas. Bahkan satu kelas itu terdiri dari beberapa tingkatan kelas, ada yang berumur 12 tahun, lalu 10 tahun, semua bercampur baur dalam satu atap yang sudah lapuk. Jangankan membeli sepatu yang sudah seharusnya ganti karena kenaikan kelas, sepatu yang rusak karena panasnya tergilas kerikil-kerikil tajam.
Karena semangat juang tinggi, dan sifat dermawan yang membawa Akmal bisa menduduki jabatan sebagai staf manager.
Meski dia telah menjadi seorang laki-laki karir, bisa terhitung jari Abdul dan Samirah mendapatkan uang dari Akmal. Bahkan hanya setiap menjelang hari raya idul fitri dan jumlah nominalnya pun tak pernah terlintas sebelumnya di pikiran Abdul dan Samirah, dua lembar seratus ribu rupiah, yang nantinya dibagi masing-masing mendapatkan satu untuk dipegang Adul, satunya milik Samirah.
Dan uang bonus dari perusahaannya hanya lewat saja, langsung masuk ke dalam rekening Istrinya, Wulan.
Orang tua memang kerap kali mulutnya tidak berucap meminta untuk dibalas budinya.
Tetapi jika boleh memilih, semua orang tua ingin anak-anaknya selalu memberikan perhatian, meski tak begitu banyak tetapi selalu ada.
Menjelang perayaan hari raya haji, berkurban.
Orang-orang mampu berlomba-lomba untuk membelikan satu ekor sapi terbaiknya sebagai sedekah. Pada saat itu kebetulan Akmal mendapatkan penghargaan sebagai karyawan teladan, dia mendapatkan banyak bonus termasuk liburan ke luar kota bersama keluarganya. Hadiah dan tiket liburan itu dikirim melalui tukang pos.
Di rumah Akmal saat itu hanya ada Abdul yang tengah berjalan-jalan di sekitar halaman rumahnya yang luas bagai lapangan golf.
Sekuriti rumah juga sedang cuti beberapa hari, karena sakit. Lalu asisten rumah tangga juga sedang cuti karena keluarganya tengah sakit parah.
Seseorang memakai helm berwarna putih, bergambar burung merpati yang menggenggam gambar bentuk hati, dengan sepeda motor yang membawa sebuah kotak surat berbentuk amplop berhenti di depan pintu pagar rumah anaknya. Abdul berjalan membuka pintu gerbang itu dengan memasang senyum yang hangat.
"Permisi, Pak! Saya dari Tukang Pos Surat Aku Dan Kamu ingin mengirim surat atas penerima Bapak Akmal, mohon Bapak tanda tangan di sebelah sini yah!" ucap Pak Pos sambil mengulurkan secarik kertas, dan satu buah bolpoin pada Abdul, "Terima kasih Pak. Ini paket nya. Saya mohon pamit yah Pak, sampai bertemu kembali di surat-surat selanjutnya!"
Abdul tersenyum lebar, hatinya merasa hangat. Mengingat masa muda yang berkawan dengan surt. Dia juga jadi merindukan istirnya, yang begitu lama tak mendengar kabarnya. Dia pun menutup pintu gerbang dan bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Di atas meja, sebungkus lara disajikan.
Pintu gerbang terasa getarnya sampai ke ubin-ubin lantai ruang tamu bergerak-gerak.
Anak, menantu dan cucunya pun pulang dengan perut mengembang. Sementara dia, sampai belut-belut tak ingin melilit tulang belulang yang bahkan sudah tak mampu berdiri kokoh lagi.
Abdul menunjukkan bingkisan itu pada Akmal yang merebahkan tubuhnya dengan menyandarkan kepalanya di bahu sofa. Sementara sang cucu sedang asyik mencoba mainan mobil-mobilan remot favoritnya. Wulan, menantunya juga asyik menarik ulur layar telepon genggam nya dengan mata yang bersinar-sinar.
"Dari siapa, Pak?"
"Tukang Pos SAK"
"Ah, ini pasti hadiah dari perusahaan yang waktu itu aku ceritakan sama kamu Sayang!" cetus Akmal tersenyum lebar pada Wulan yang masih menggenggam erat telepon genggamnya, "Aku benar-benar tidak sabar ingin menikmatinya!"
Ketika bingkisan itu dibuka, selembar tiket liburan di depan matanya yang bercahaya dan penuh gairah itu. Dia menyebutkan bahwa tiket liburan itu berlaku untuk 5 orang, sudah termasuk menginap di hotel selama tiga malam dan bermain di taman wahana lestari alam, yang terkenal dengan suasana alamnya yang meneduhkan jiwa.
Wulan begitu bersemangat, dan langsung menghampiri anaknya yang sebentar lagi akan merasakan liburan bersama keluarga.
Abdul juga turut senang mendengar hal itu.
"Nak, boleh Bapak menelepon Ibumu?" ucap Abdul seketika suasana ingar bingar itu jadi hening, Akmal dan Wulan menatap aneh lelaki tua di hadapannya itu.
"Buat apa, Pak? Apa Bapak punya uang buat pakai telepon rumah kami?" sahut Akmal membuat Abdul muram, "Ibu sudah bahagia di rumah Mbak Rusmini. Jangan Bapak ganggu Ibu lagi. Nanti yang ada, Mbak Rusmini malah mikir yang aneh-aneh lagi kalau Bapak telepon Ibu!"
"Bukan begitu Nak, kamu kan baru saja mendapat tiket liburan, Bapak punya ide kalau ajak Ibu kamu juga. Pasti dia sangat senang!"
Akmal meringis sambil geleng-geleng kepalanya. "Astaga Pak, siapa juga yang mau liburan sama Ibu dan Bapak! Ya mending aku tukar aja terus bisa dapat uang buat biaya liburan selama di sana!"
Alisnya menyentak bersama-sama, dinding ulu hatinya bagai diiris-iris sembilu. Abdul beranjak dan melangkah pergi menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. Di dalam kamar yang memang tercipta untuk memeluk tangis yang tak sampai pecah, memeluk kesendirian yang kerap menyiksa dalam sorak-sorai. Senyuman manis dan wajah yang selalu berseri-seri dari Sumirah hadir di kala sebuah kenyataan lebih mendustai dari kerinduan yang tak pernah menyentuh waktu temu. Susut bibirnya mulai terangkat sambil mengusap bulir-bulir bening yang nyaris jatuh sia-sia.
Esok paginya, ketika Akmal, Wulan sudah bersiap hendak pergi untuk berlibur. Dia menemui Bapaknya yang tengah berdiri di belakang pagar rumahnya.
"Pak, aku dan Wulan akan berangkat. Aku titip rumah. Oh iya, di dapur banyak bahan makanan. Bapak sudah terbiasa memasak saat dirumah dulu, jadi Bapak bisa buat sesuka hati masakan kesukaan Bapak. Karena Bibi belum bisa balik lagi, jadi tolong Bapak handle semuanya di rumah ini selama aku dan Wulan pergi yah!"
"Iya, Nak. Hati-hati kamu di jalan!" jawab singkat Abdul dengan wajah datar.
Setelah mobil yang ditumpangi anaknya itu keluar, Abdul menutup dan mengunci oagar rumah dan memilih untuk masuk ke rumah.