Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warisan Tak Ternilai
MENU
About Us  

Proses pencairan dana kredit pun berjalan lancar tanpa harus menunggu berhari-hari dalam keraguan. Kalau urusan duit, memang selalu cepat prosesnya. Esoknya, Adinda kembali datang ke rumah Gemi namun justru yang dirinya temui adalah Gustin, Bapak Gemi yang tengah duduk berjongkok, kuas yang kemarin sore Gemi belikan dan di tangannya mulai melabur pot bunga berwarna putih di halaman depan rumah yang sudah lusuh itu.

 

"Permisi Pak. Wah, bagus banget Pak lukisannya! Bapak nya pasti dimintai juga buat melukis meja dan papan menu warung Kak Gemi, yah!" ucap Adinda dengan mendecak kagum. 

 

Seketika Gustin langsung berdiri, dan menatap lekat-lekat Adinda, dari ujung rambut hingga sepatu pantofel hitam berkilau. 

 

"Maaf, Mbak nya ini siapa yah? Tadi Mbak juga bilang kalau saya akan melukis sesuatu di warung Gemi?" tanya Gustin mengerutkan keningnya. 

 

"Saya Adinda, Pak. Saya temannya Kak Gemi!" 

 

"Saya, Bapaknya!"sahut Gustin membuat Adinda melongo, "Saya baru tahu kalau Gemi punya teman selain anak Perum itu! Gemi..Gem!" 

 

Gemi yang baru rampung menyelesaikan tugas memasaknya di dapur itu pun buru-buru bergegas pergi menghampiri Bapaknya. Matanya melotot, mulutnya mengaga lebar melihat Adinda sudah tiba di rumahnya pagi buta sekali. Gustin menyipitkan mata, sambil melipat kedua tangannya di depan dada, dan kuas di sela daun telinganya. 

 

"Kamu sudah beres belum di belakang? Kalau sudah, ajak teman kamu buat masuk ke rumah, kalau perlu ajak juga dia buat sarapan bareng kamu!" suruh Gustin lalu kembali mengerjakan pekerjaan nya. 

 

Adinda duduk lalu memangku tas ransel yang berbobot nyaris seperti orang ingin melakukan trekking dan hiking. Dan yang dirinya bawa adalah nama-nama nasabah beserta beban-beban tunggakan kredit uang nasabah nakal. Dia pun meraih segepok uang berwarna merah muda bercahaya itu dan mengulurkannya pada Gemi. 

Adinda pun beranjak lalu pamit untuk buru-buru pergi lagi mencari nasabah. 

Gemi meletakkan uang itu di bawah meja, tepat di kaki meja yang terdapat rak yang tertutup taplak berwarna merah pekat. 

Gemi mengantar Adinda sampai teras depan, Adinda tak lupa mengucap salam pamit pada Gustin. 

 

Di Pasar Lekok Indah. Rusmini justru dibuatnya geleng-geleng kepala dengan perilaku Ibunya yang membeli banyak barang seperti baskom plastik, panci untuk memasak air, lalu beberapa aneka ragam rencengan makanan snack dan minuman sachet, mintak, gula, bumbu-bumbu rempah. 

 

 

"Min, pakai uang kamu dulu yah! Sampai di rumah, nanti Ibu akan ganti!" 

 

"Ya Aku sih bukan masalah soal bayarnya Bu. Tapi kenapa Ibu jadi beli barang sebanyak ini? Buat apa, Bu?" 

 

Samirah tersenyum tipis. "Nanti juga kamu akan tahu, kok! Oh iya habis ini kita mampir ke toko plastik yah!" 

 

Rusmini mengembuskan napas berat. Lalu berjalan sambil meregangkan otot-otot di pundaknya yang menenteng banyak kantong plastik besar berisi barang-barang yang Ibunya beli. 

Sampainya di rumah, Rusmini berteriak meminta tolong pada Gustin yang masih melukis pot-pot bunga. Samirah bergegas masuk ke rumah mencari Gemi. Cucunya itu hanya mengacungkan jempolnya sambil mengedipkan mata. Gustin dan Rusmini saling bersitatap kebingungan. 

 

Di ruang tamu, Samirah mengulurkan separuh dari uang yang Adinda berikan pada Gemi untuk diberikan lagi pada Rusmini, karena sudah menggunakan uangnya lebih dulu untuk membeli beberapa barang di Pasar. 

Rusmini melirik ke arah jari manis Ibunya yang mana cincin kawin itu masih melingkar lekat. 

Setelah itu Gemi dan Neneknya pun berpamitan untuk masuk ke kamar, istirahat lebih dulu. 

 

Rusmini mengajak Gustin untuk pergi ke halaman belakang rumah, dia menghubungi adik keduanya, Luki untuk menjawab rasa penasarannya itu. 

 

Jam-jam segini, saat matahari di atas kepala seharusnya Luki sudah rampung mengurus kios cukur rambutnya. Akan tetapi, panggilan masuk telepon itu belum juga terjawab. 

10 menit berlalu, akhirnya telepon genggam Rusmini bergetar. Luki pun menghubunginya balik. 

 

"Iya, Mbak Min. Maaf, tadi lagi banyak orang yang mau cukur rambutnya!" 

 

"Iya, enggak apa-apa Ki. Di sekitar kamu adalah Anisah, enggak?" 

 

Luki mengamati sekelilingnya, lalu menggeleng cepat. "Enggak Mbak, kebetulan aku lagi sendirian di rumah. Istri lagi ke rumah ibu mertua sama anak-anak! Ada apa toh, Mbak? Ibu baik-baik aja, kan?" 

 

"Kabar Ibu sih baik, tapi hari ini aku kaget sama sikap Ibu yang tiba-tiba jadi serakah beli banyak makanan dan barang buat di rumah ku. Ya emang sih, barang di rumah kayak gelas, lepek gelas, sering kali pecah gara-gara Gemi. Tapi aku enggak begitu buru-buru juga kok buat pengen beli lagi, Ki. Tadi pagi nih, Ibu pengen ikut ke Pasar, terus dia belanja banyak sampai habis ratusan ribu loh! Di pasar pakai uang ku sih, tapi sampai di rumah Ibu langsung balikin uangnya. Yang jadi pertanyaan, kok bisa Ibu dapat uang sebanyak itu Ki, aku juga sempat lirik cincin kawin yang ada di tangan Ibu, dan itu pun masih ada. Aku pikir uang itu dari kamu gitu!" 

 

Luki tergelak. "Mana ada aku uang segitu, Mbak. Ya syukur-syukur kios ku ramai setiap harinya. Biaa bayar uang SPP Fadil, dan jajan si Mika. Atau mungkin Ibu dapat dari Akmal kali, Mbak!" 

 

Kedua alisnya menyatu, bibir mengerucut. "Akmal kamu bilang? Enggak mungkin juga lah, Ki. Dia udah urusin Bapak yang aslinya doyan banget sama jajanan, terus belum lagi tuh istrinya yang suka banget belanja di Tintin Hepi, juga Rafi yang suka banget jajan-jajanan mahal!"

 

"Apa mungkin Ibu sempat pinjam duit orang-orang di kampung Mbak Min?" cetus Luki membuat Rusmini terdiam sesaat. Panggilan telepon itu pun berakhir. 

 

Esok paginya, awan mendung bergulung berarak ke atap rumahnya, angin berembus semakin kencang menggigit tubuhnya yang keriput lagi tipis. Api juga tak kunjung menyala, tetapi wajah dan sorot matanya begitu menyala-nyala. Kehadirannya menggenggam butiran-butiran hujan yang mengantong sebelum terbelah di bawah hari-hari penuh kehangatan. 

"Tumben kamu sudah bangun? Tapi kebetulan kamu ada di sini seorang diri. Karena banyak hal yang ingin Ibu katakan sama kamu!" ucap Samirah tersenyum manis. 

"Mau bilang apa Bu? Mau bilang kalau Ibu punya banyak hutang sama orang-orang sini, gitu?" sahut Rusmini dengan penekanan. Samirah melongo, "Buat apa sih, Bu? Buat kasih tahu ke semua orang kalau semua yang ada di dalam rumah ini termasuk tanah yang kita pijak ini adalah pemberian dari Ibu?" 

Samirah geleng-geleng kepala sambil merenung. 

"Aku capek, Bu. Demi Allah aku juga capek. Jadi seorang Istri yang enggak selalu punya uang  pemberian dari suaminya, jadi Ibu untuk Gemi yang begitu susah diatur, lalu masih harus menjadi seorang anak untuk Ibu yang tiba-tiba berperilaku seperti ini. Hancur hati aku, Bu!" 

Samirah menoleh cepat ke arah putrinya itu, dengan matanya yang berlinang air mata, urat lehernya yang menegang. Akan tetapi mulutnya mengatup rapat, kata-kata dibungkam paksa, menelan pahitnya, merasakan sakit yang tak tampak di mata. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags