Kami berdua kembali memeriksa buku di setiap rak dalam diam. Sekali-dua kali aku mengintip Tera yang tampak lebih tenang dari sebelumnya. Tak pernah terpikirkan olehku jika selama ini dia—mungkin—hanya berpura-pura menjadi mama’s girl karena selalu mencari muka di setiap kesempatan.
Aku mulai berpikir mengenai apa yang selama ini sudah kulakukan. Dulu Ibu juga menaruh beberapa ekspektasi di bahuku. Namun melihat track record rapor yang tidak ada bagus-bagusnya, tampaknya dia menyerah dan mengalihkan perhatian pada anak selanjutnya. Aneh sekali, tidakkah Ibu dan Ayah puas terhadap pencapaian gemilang Bang Joule dan Mbak Esla? Kenapa mereka menitikberatkan hal ini pada kami semua?
Dalam beberapa kondisi aku menyadari, mungkin inilah alasan aku terlahir sebagai anak tengah. Orang-orang, tetangga, kerabat, tak perlu tahu jika Ayah dan Ibu memiliki anak yang tolol karena mereka tidak akan menanyakan tentang anak tengah. Jika saja aku menjadi anak pertama atau terakhir, mungkin kami hanya menjadi bulan-bulanan karena memiliki anak sulung yang tidak dapat diteladani dan anak bungsu yang payah mengikuti jejak kakaknya.
“Mbak menemukan sesuatu?” Tera tampak kelelahan setelah menyelesaikan rak terakhir. Aku menggeleng nihil. Pinggangku rasanya kram dan bahuku sakit. Kami berdua sama-sama berdiri dan menghela napas panjang.
“Haruskah kita memeriksa buku tak bersegel satu per satu?”
Tera menggeleng dan menagih kembali kertasnya. Dia meneliti ulang setiap kalimat kemudian menghela napas. “Kalian ada tempat khusus menyembunyikan buku?”
Alisku bertaut. “Maksudnya?”
“Yah, orang-orang biasanya menemukan buku menarik yang hanya tersisa sedikit. Karena tidak ingin membelinya sekarang dan takut kehabisan, mereka meletakkan buku tersebut di selipan buku lainnya yang mungkin tak terjamah. Seperti di rak sudut atau di barisan bawah, tempat buku tak populer.”
“Layden tidak pernah melakukannya. Dia tidak suka buku.” Aku kemudian melangkah menuju tempat komik. “Tapi dia kadang menyimpan komik tertentu di barang obral.”
“Maksudnya?”
Aku mengedik. “Komik Miiko atau Kobo-chan yang baru rilis dan cepat habis kadang dia selipkan salah satunya di tempat komik obral. Jadi banyak yang tak tahu.”
“Bukankah itu konyol? Orang-orang justru mengubrak-abrik barang obral.”
Aku mengangguk sekali. “Itu dilakukan bagi mereka yang jarang membaca komik. Bagi fans manga tertentu, mereka hanya menunggu peluncuran komik-komik favorit saja. Mereka tidak akan menghabiskan waktu ke tempat obral untuk membaca komik random yang tak terkenal.”
Aku dan Tera sama-sama menahan napas melihat komik obral yang menggunung. Sepertinya Gramedia sedang cuci gudang saat ini.
“Jika bentukannya seperti ini, bagaimana kita mencari tempat persembunyiannya?” tanya Tera ragu.
Aku menggeleng tak yakin dengan bahu terangkat. Biasanya Layden menyelipkan komiknya di sudut bawah. Namun saat ini, sudut bawah pun terlihat seperti habis terkena topan. Aku menelan ludah dan bertukar pandang dengan Tera.
Dia mengangguk sekali dan aku pun mengangguk sekali. Setelahnya kami berpencar di meja yang terpisah. Aku memilah di gundukan satu dan Tera mengubrak-abrik gundukan kedua.
Baru setengah jalan, kami sudah kehabisan napas.
“Mungkin inilah mengapa Tuhan tidak mengizinkanku menjadi penjaga perpus.” Tera bahkan menyeka peluh dengan lengan bahunya.
Aku berkacak pinggang. Ini tidak akan berhasil. Tidak dalam satu hari—tanpa kepastian—kecuali pinggangmu patah. Komik obral lebih parah karena kebanyakan sudah lepas segel. Belum lagi font tulisan yang mirip dengan coretan tangan.
Kami duduk berdampingan dengan napas terengah-engah. Istirahat sejenak sebelum hilang kesadaran. Bahkan aku sudah melepas masker sejak satu jam yang lalu agar bisa bernapas lega.
“Mungkin memang tidak ada. Mungkin hadiah yang dimaksudkan hanyalah peluncuran Kobo-chan terbaru?” Adikku berbisik lirih.
“Bisa saja.” Aku juga sudah putus asa.
“Lagi pula kenapa clue-nya seperti ini?” Tera berdecak seraya menunjuk kalimat Temukan kejutan di dalamnya! “Mirip seperti Kinder Joy.”
“Kinder Joy versi menyebalkan,” tambahku.
Gadis itu tertawa singkat lalu melihat stiker Manjun yang memeluk Donto dari belakang di pojok bawah kertas.
“Ini artinya apa?” Dia melirikku dengan rasa penasaran.
“Ini artinya menjaga.”
Dia mengangguk pelan. “Aku lupa kemarin ini namanya apa ya?”
“Oh, yang kuning ini Donto, yang memeluk itu Manjun.”
“Bukan.” Tera mengibaskan tangan. “Aku lupa nama bahasanya apa.”
“Bahasa Mililayden?”
“Ahh, iya itu.” Kami berdua terkekeh.
Tera bercerita bahwa dia ingin sekali menghafal bahasa stiker Mililayden yang kami buat ini. Namun, tentu dia tak ingin aku tersinggung karena salah satu pembuat bahasanya sudah tiada.
“Astaga.” Dia terperanjat dengan mata membulat sempurna. “Astaga,” ulangnya yang berhasil membuatku menyipitkan mata. Tera melirik stiker itu dan aku secara bergantian dengan senyum mengembang sempurna.
“Apa? Ada apa?”
“Ini jawabannya.” Dia menunjuk stiker itu dan aku mengernyit tak paham. “Hadiahnya ada di komik ini.”
“Ini bukan komik, Tera. Ini hanyalah stiker.” Aku menghela lemah berharap dia benar-benar menemukan solusinya.
Tera menggeleng kuat. “Bukan itu. Kalian membuat bahasa sendiri dari stiker ini. Berarti hadiahnya ada di komik buatan komikus yang juga mengilustrasikan stikernya.”
“Memang dia membuat komik juga?”
“Siapa tahu.”
Aku berdecak. “Ini buatan Taiwan dan aku bahkan tidak tahu siapa ilustratornya.”
Tera malah senyum-senyum dan memamerkan ponselnya. “Inilah alasan Tuhan menciptakan Larry Page dan Sergey Brin.” Gadis itu langsung mengetikkan sesuatu di layar Google-nya. “Apa tadi namanya? Stiker Manjun dan Don…?”
“Tidak, nama itu kami sendiri yang membuatnya.”
“Apa?”
“Kami tidak tahu namanya, jadi kami memberikan nama sendiri.”
Tera tersenyum kaku seakan hendak membunuh. Dia mengembuskan napas kasar dan mengetikkan sesuatu mengenai stiker terkenal dari Taiwan. Berlanjut pada ilustrator stiker lalu menyelam ke segala printilan pencarian agar menemukan kunci jawaban dari pembuat stikernya.
“Ini dia.” Setelah lima belas menit, dia baru bereaksi. “Nama ilustratornya Zhuang Hsu Wen. Dia memiliki nama komikus Baverley Chen. Aku tidak ingin membuatmu tersinggung, tapi nama asli dari Manjun adalah TaoTao dan Donto adalah WanWan.”
“Benarkah?” Aku langsung menyambar ponsel Tera dan melihat artikel yang menunjukkan stiker Manjun dan Donto dengan sketsa baru yang belum pernah kulihat sebelumnya. “Emm, Tera, ini artikel Cina.” Mataku pusing melihat tulisan Mandarin.
“Ya, aku tidak menemukannya di artikel Indo dan Inggris. Jadi aku buka Weibo.”
“Bagaimana cara kau membacanya?”
Dia merenggangkan jari dengan bahu mengedik. “Aku sudah belajar bahasa Mandarin sejak SD. Yok, kita cari komiknya Baverley Chen.”
Dia beranjak meninggalkanku yang masih menganga di tempat. Aku baru bergerak ketika Tera sudah hilang menuju komputer pencarian. Komiknya ada di rak nomor 400569. Kami menemukan nomor itu di rak komik paling atas yang siapa pun tidak akan melihatnya secara jelas kecuali mereka jerapah.
Aku dan Tera sampai meminta tolong pegawai toko untuk menjangkau komiknya. Dia memberikan beberapa komik tak bersegel sesuai permintaan.
Ketika membukanya satu per satu, jantungku bergemuruh secara otomatis. Seakan intuisiku memainkan peran kalau aku sudah menuju ke arah yang benar. Sampai kemudian, di komik berjudul Step Up! aku menemukan sesuatu di halaman tengahnya.
Aku setengah menjerit ketika berhasil menemukan apa yang dicari. Tera langsung mendekat dan turut mengintip. Ada stiker Manjun di sana yang menghadap ke belakang dengan tangan kiri terulur ke depan dan telapak tangannya naik.
“Ini artinya ayo!,” jelasku kepada Tera mengenai stiker yang terselip. Di belakang stikernya ada kertas kecil yang terlipat dua. Mataku berbinar melihat isi kertas yang dipenuhi tulisan berbait-bait.
“Tampaknya itu puisi,” gumam Tera setelah aku menutup kembali kertasnya.
Aku semringah kemudian menempelkan kedua kertas itu ke dadaku yang berdegup kencang.
Mungkin Layden masih di sini.
***
“Mbak senang?” Wajah Tera masih terlihat lelah setelah kami menunggu GoCar di trotoar Atmo. Senyumku tak kunjung luntur menatap Manjun yang begitu imut. Rasanya seperti Layden yang mengatakan “ayo!” kepadaku seakan ingin mengajakku ke suatu tempat.
Ayo, kita melakukannya!
Ayo, kita bertemu!
Ayo, kita ke KUA!
Ayo, kita ke Prabumulih!
Bibirku kelu mengingat satu ajakan terakhir. Perlahan tanganku mengepal, aku buru-buru menyimpan stikernya ke dalam tas sebelum emosi anehku mulai bertingkah. Di dalam mobil, Tera mulai sibuk dengan grup WhatsApp-nya, sementara aku memandangi macetnya jalan Sudirman yang sudah menjajaki sore hari.
“Pak, kita mampir ke Indomaret dulu yaa,” pinta Tera ketika melihat papan minimarket.
“Untuk apa?” Aku menoleh, tapi Tera masih sibuk dengan ponselnya.
“Untuk Doritos-lah. Lima belas. Tidak ada kompromi.”
Aku lupa jika dia masih adikku yang menyebalkan. Jika diingat-ingat, tabunganku akhir-akhir ini semakin terkuras. Tapi aku tak pernah memusingkannya.
Sesampainya di rumah, Ibu dan Ayah melotot kepada kami. Namun, sepertinya mereka tak berani memarahiku sehingga Tera-lah yang diinterogasi bersama empat kantong Indomaret besar yang berisikan Doritos. Aku melirik tak peduli dan menaiki tangga.
Ketika membuka pintu kamar, Mbak Esla berdesis dari meja belajarnya, menyuruhku diam. Aku mengatupkan mulut kemudian duduk di ujung ranjang, menghadap jendela besar kamar kami.
Di luar, terlukis sorot jingga langit sore yang menimpa atap-atap perumahan hingga cahayanya begitu alami menembus jendela kami. Aku menarik napas sejenak dan mengeluarkan kertas puisinya dari dalam ransel.
Aku punya teori
Teori ini disebut Teori Sayang
Karena aku menyayangi seseorang, Mili namanya
Dia kecil. Panjangnya hanya Mili Meter dan beratnya Mili Gram
Jadi, dengan Teori Sayang, dia menjadi besar
Sebesar Raksasa
Karena di Teori Sayang berisi rasa sayang dengan jumlah tak hingga
Tak dapat dihitung dengan Meter ataupun Gram
Untuk itu dia tidak perlu merasa kecil
Rasa sayangku padanya sebesar tak hingga
Dia menjadi besar, aku juga menjadi besar
Kami besar bersama-sama
Layden