Setelah tak bisa mendefinisikan emosi, aku mulai kebingungan dalam menghitung hari. Sisa waktu sepertinya kuhabiskan dengan berbaring dan melamun. Ibu bahkan ngomel-ngomel karena aku enggan salat. Beruntungnya, menstruasi datang meski bukan di periode seharusnya. Mungkin karena stres.
Saking pasifnya hari-hariku, aku jadi kaget ketika melihat Tera dan Mbak Esla masuk ke kamar dengan piama mereka. Mbak Esla mengatakan sudah lewat satu minggu sesuai dengan permintaanku untuk menyendiri. Mereka kembali untuk mengisi kamar ini.
Selamat tinggal kesendirian.
“Benarkah sudah seminggu?” tanyaku sambil menyipitkan mata kepada mereka. Aku tak tahu sudah berapa hari yang terlewat, rasanya seperti baru sebentar, tapi di satu sisi keheningan ini terasa begitu lama.
“Ya, Mil, sudah satu minggu. Bang Joule tidak bisa terus-terusan tidur di sofa dan aku tidak bisa konsentrasi belajar karena Miko sering merengek.”
Aku menghela napas, hendak protes. Namun, rasanya keluarga ini punya kemampuan memulihkan diri begitu cepat. Kecuali aku. Alhasil, aku tidak lagi dibiarkan melamun, termasuk berpikiran untuk membuka jendela dan melompat dari sana. Apalagi Tera terus mengawasi dua puluh empat jam.
Si tukang ngadu itu pasti melaporkan segala gerak-gerik.
Setelah kedatangan mereka kembali di kamar ini, aku memberanikan diri menyentuh ponselku—habis daya—dan coba mengaktifkannya. Aku juga kembali mengikuti berita mengenai kasusnya. Sisa-sisa kepingan yang sebelumnya tak kuketahui, kini menjadi jelas.
Itu penembakan yang diakhiri dengan bunuh diri.
Sumatera Ekspress bahkan berhasil menampilkan foto surat terakhir yang ditulis Susuk Joni untuk keluarganya. Tercantum di sana mengenai seberapa sayang Susuk terhadap anak-anaknya dan seberapa besar dia mencintai istrinya. Dia tak sanggup jika menghadapi kehidupan sendirian dan ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi.
Aku tak bisa menyalahkannya karena aku pun saat ini tengah mempertanyakan kewarasanku.
Susuk memiliki banyak utang dan terancam bangkrut. Di Tribun News dituliskan bahwa rumahnya pun akan disita. Hal ini disebabkan anjloknya penjualan dan usaha pertokoan selama pandemi. Belum lagi biaya rumah sakit Kak Marco yang saat itu pasti sedang mahal-mahalnya karena rumah sakit tiba-tiba menjadi semacam tempat evakuasi korban bencana alam.
“Aku tidak menyalahkannya, sungguh,” bisikku di antara Mbak Esla dan Tera yang mengapit diriku. Mereka bersimpuh di sebelahku setelah aku membaca surat bunuh diri yang ada di Sumatera Ekspress. “Setahuku Susuk orang yang baik. Itu saja. Dan aku coba memahami keadaannya.”
Mbak Esla menatapku sendu seraya mengelus-elus bahu tegangku.
“A'i Iin waktu itu pergi dari rumah, entah ke mana. Layden bahkan ingin melarikan diri ke Prabumulih. Alex enggan pulang.” Napasku tersekat. Rasanya gumpalan tak kasatmata yang menyodok tenggorokanku kembali datang. “Susuk pasti merasa bersalah dan benar-benar sedih… karena orang-orang sepertinya ingin pergi darinya.” Aku menahan napas selagi mata mulai berair.
Jariku mengelus kertas koran yang rapuh tepat pada bagian suratnya. “Hanya saja… ak-aku tak tahu. Aku selalu merasa jika aku masih punya kesempatan hari itu, untuk memeluk Alex lebih erat. Untuk membawa Layden ke Prabumulih. Aku rasa ada baiknya aku melakukan hal itu, daripada membiarkan mereka pergi begitu saja.”
Mbak Esla menepuk kepalaku dan menyandarkannya ke bahunya. “Ini bukan salahmu. Ini bukan salahmu.”
Tentu ini bukan salahku. Aku bahkan tak tahu ini salah siapa. Tapi ya, agar merasa lebih lega aku patut mempertanyakan siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Kau tahu, tidak akan ada asap jika tidak ada api, kecuali kau jin ifrit dan itu hanya milik Aladdin.
Ini adalah momen sinting dalam hidupku. Aku sibuk menyusun skema dan mengumpulkan data dari surat kabar, internet, artikel, bahkan TV yang mungkin masih memberitakan kasusnya—sudah tidak ada lagi. Aku melakukan semua ini hanya untuk menemukan siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
Dari skema yang kubuat, aku tak bisa menyalahkan pandemi atau kematian Kak Marco. Aku juga tidak mungkin menyudutkan masyarakat yang tidak membeli sesuatu di toko kelontong karena memang semuanya memilih sembunyi di rumah tahun lalu. Menyalahkan debt collector? Itu konyol.
Setelah ditilik dengan saksama, aku mengambil kesimpulan bahwa yang salah adalah pistol. Dari mana Susuk punya senjata api? Apakah dia memiliki lisensi atau justru memilikinya secara ilegal? Aku pun mencari undang-undang mengenai legalitas senjata api di Indonesia dan memang orang yang memiliki senjata api harus memiliki persyaratan tertentu.
Hal itu berarti ada orang yang menjual atau meminjamkan pistolnya kepada Susuk. Orang inilah yang bertanggung jawab karena melakukan perdagangan senjata api secara ilegal. Benar, bukan? Mungkin saja jika tidak ada pistol, Susuk akan menggunakan pisau dapur. Namun setidaknya dengan sajam, kurasa Layden masih bisa membela diri.
Kuadukan hal ini pada Bang Joule sebelum membawanya ke polisi untuk memberi sanksi orang yang sudah memperdagangkan senjata api ini.
Namun seperti yang kubilang sebelumnya, Bang Joule menganggapku gila.
“Bagaimanapun, yang menarik pelatuk adalah orang yang bersalah. Begitulah hukum, tapi karena dia juga mengakhiri hidupnya, pertanggungjawaban ini ada padanya dan Tuhannya.” Bang Joule kemudian meraih tanganku. “Mil, jika kau ingin mencari sesuatu yang menuntut mereka untuk bertanggung jawab, kau bisa menyalahkan segala hal. Kau bahkan bisa merasa jika dirimulah yang bertanggung jawab. Hanya saja, entah satu dunia bertanggung jawab atau tidak, beliau sudah memutuskan pergi dan dia juga memutuskan untuk membawa keluarganya bersamanya. Kita tidak bisa memintanya untuk menarik keputusannya kembali.”
***
Sepanjang sisa hari, aku merenung sambil menatap jendela yang temaram. Ucapan Bang Joule benar-benar mengilhami. Sebenarnya apa yang kucari? Aku tidak tahu. Namun karena aku ingin Layden kembali, jadi dapat disimpulkan bahwa aku mencari Layden. Entahlah, aku merasa seakan Layden bukan meninggal, tapi… menghilang. Karena meninggal sejatinya dapat kita ketahui, tidak hanya mendengar kabar, tapi juga melihat jasad kakunya, menyaksikan bagaimana tubuhnya tergeletak lemah, atau menonton monitor ECG yang menunjukkan detak jantungnya sudah bergaris lurus.
Sedangkan aku hanya mendengar kabar mendadak sebelum dua belas jam berselang dari percakapan terakhirku dengannya.
Aku tak pernah melihat jasadnya.
Hanya saja, aku tahu dia hilang untuk selamanya.
Satu pesan masuk dari Kak Kiran—dua hari yang lalu—menyatakan jika dia turut berduka cita atas apa yang terjadi. Dia juga meminta maaf karena terpaksa harus menggantikan posisiku dalam perlombaan dengan Avian. Setelahnya, aku membalas pesan itu dengan singkat.
“Aku keluar dari klub,” laporku sekenanya di meja makan setelah satu minggu absen makan malam bersama. Tahulah, Ibu dan Ayah menuntut cerita ”baik” meski kami libur sekalipun.
Mereka menatapku sejenak dan mengangguk pelan. Aku mengempaskan sendok di meja dan beranjak pergi tanpa menyentuh makanan. Bukan sengaja bertingkah kurang ajar, tapi Ayah dan Ibu selalu menyulut kemarahanku. Meski hanya bernapas saja.
Aku sempat melihat kilat senyum di bibir Ibu setelah mendengar beritaku. Hal itu membuatku jengkel.
“Ibu, di mana uang Mili bulan ini? Mili ingin keluar menghirup udara segar,” ucapku meski udara malam Palembang yang tidak ada segar-segarnya.
Ibu melotot melihat tingkahku yang baru saja mengentak meja. Namun, dia masih bermain peran menjadi ibu penyabar selagi aku coba memulihkan diri. “Bukankah uangmu kau serahkan semua kepada Esla dan Tera?”
“Iya seluruhnya, karena kemarin masih terpotong lima puluh persen. Sekarang kan uang jajan sudah kembali normal.”
“Apa maksudmu?”
“Ibu bilang kalau aku putus dengan Layden—oh, bukan, kalau aku putus dengan cowok nonmuslim itu—baru uang jajan kami kembali. Keinginan Ibu terkabul, keinginan satu keluarga untuk mendapatkan uang lebih juga terkabul—”
“Mili,” potong Ayah ketika Ibu sudah tampak bersalah.
Aku mengatupkan mulut dengan tangan yang mengepal. Lalu aku menghela napas panjang dan berbalik menuju tangga. “Aku minta maaf,” ucapku lirih.
Tidak lama berselang, Bang Joule mendatangiku dan mengatakan bahwa dia akan mengantarku ke mana pun aku ingin berkunjung. Sebenarnya aku tidak ingin menyisihkan waktu untuk dia, tapi karena Bang Joule bersikap baik akhir-akhir ini, maka aku juga harus sopan padanya.
Dalam suasana hening, aku memintanya untuk berkeliling. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku mengangkatnya karena itu panggilan dari Devano.
“Hei.” Dia berdeham.
“Hei.”
“Kau baik-baik saja?”
“Langsung ke intinya saja.”
Terdengar helaan napas ragu di ujung sana dan aku masih menunggu dalam diam.
“Anu, karena kasusnya selesai, keluarga Layden hendak membawa pulang jasad keluarga mereka. Minggu ini mereka akan mengkremasi jenazahnya. Di krematorium Saguntang,” papar Devano.
Aku tak tahu harus menjawab apa dan bereaksi seperti apa. “Oke.”
“Oke.” Dia berdecak kecil. “Sebenarnya keluarga neneknya sudah tahu tentangmu. Kalau kau berkenan… mereka ingin kau datang.”
“Aku akan datang,” jawabku cepat.
Devano tak langsung menjawab. Kemudian Devano melanjutkan, “senang mendengarnya.”
Lalu sambungan berakhir dan tanganku masih mencengkeram ponsel. Mataku melirik Bang Joule dengan ponsel menempel pada bibir. Pikiranku melayang entah ke mana, kosong untuk sementara.
“Kita ke Atmo,” ucapku setengah sadar.
“Apa?”
“Kita ke Atmo.”
Bang Joule banting setir dan berputar menuju Jalan Sudirman. Tahu maksud dan tujuanku, dia berhenti di parkiran Gramedia yang sudah tutup. Aku turun perlahan kemudian menyeberangi jalan yang lumayan lengang. Bang Joule mengawasi dari kejauhan.
Langkahku terhenti di depan ruko dengan pintu besi lipat bercat kuning pudar. Mataku terpejam sejenak dan dahiku perlahan bersandar ke pintu dingin. Tak lama, kedua tanganku turut menyentuh pintu seraya merasakan dinginnya besi menjalar lebih dalam.
“Aku punya teori!” bisikku lirih. Kendaraan jalan terdengar berlalu-lalang di belakang, tapi telingaku seperti tuli. “Teorinya begini, jika saja hari itu, di kamar, kita melakukan sesuatu yang… membuatku hamil. Mungkin saja penembakannya akan tertunda karena keluarga kita sibuk menyiapkan pernikahan.” Aku terkekeh pelan, beriringan dengan jatuhnya air mata ke lantai.
“Konyol, bukan?” Kutarik napas yang terasa sangat sesak. Setelahnya aku berbalik dan bersandar. Tatapanku tertuju pada bulan yang samar dan buram lalu kucoba menelaah dan mengilhami apa saja kemungkinan yang ada dan apa saja pilihan yang tersisa.
Lama, lama sekali aku menatap langit sampai akhirnya aku menyadari bahwa memang tidak ada manusia yang bisa bertanggung jawab akan hal ini. Ini terjadi begitu saja. Jika membicarakan tanggung jawab, maka yang berhak adalah Yang Di Atas. Zat dengan kuasa lebih dari segalanya.
Entah itu tuhanku atau tuhannya yang memiliki kuasa atas kehidupannya, tapi satu hal yang pasti. Layden sudah tidak di sini.