Dari seberang sambungan, Layden memintaku untuk mengantarkan adiknya—yang tak mau pulang—ke toko kelontong mereka. Alex enggan bicara dengan kakaknya meski aku sudah mengarahkan telepon ke telinga anak itu. Tentu aku bertanya pada Lay mengenai apa yang sebenarnya terjadi, tapi Layden menjawab dengan nada frustrasi dan kaya akan helaan napas.
Alex akhirnya berhasil kubujuk. Kami kemudian menaiki angkot menuju ruko di kawasan Atmo. Mengherankannya, sampai di sana aku justru mendapati Susuk di kursi kasirnya. Laki-laki itu tersenyum menyapaku sekaligus terlihat bingung dengan keberadaan Alex di sampingku.
“Alex pulang dengan Kak Mili?” tanya Susuk heran. Alex justru merengut dan berlari meninggalkan kami menuju lantai dua. Aku heran, tapi mengusahakan senyum pada Susuk yang tampak bersusah hati. Sorot matanya tidak bersinar seperti biasanya dan ini membuatku bimbang.
Aku melirik tangga tempat Alex menghilang dan Susuk Joni secara bergantian. Namun, pandanganku juga menyisir sekeliling yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda A'i Iin. Kalau memang tidak ada, berarti Alex tadi berkata jujur.
“Mili, kamu sendirian? Layden tidak mengantarmu pulang?”
“Oh…” Mulutku terbuka sedikit. “Em… Layden sedang sibuk mempersiapkan class meeting. Semua anak OSIS pulang lebih sore,” jawabku beralasan. Kelihatannya Layden tidak hanya berbohong padaku.
Susuk mengangguk pelan dan tersenyum. Astaga, itu senyuman getir. Aku melihat getaran berat di kedua ujung bibirnya. “Aku tidak melihat A'i. Apa dia sedang berada di salon lagi?” tanyaku.
Susuk terkesiap dan matanya berlarian ke segala arah. Kadang laptop Bang Joule mengalami eror sehingga kursornya tidak bisa digerakan ke mana pun dan layarnya turut buram. Seperti itulah kondisi Susuk saat ini jika aku boleh menjelaskan.
“I-iya. A'i sedang perawatan.” Suaranya nyaring dan tak yakin. Pandanganku meluruh dan perasaanku turut melebur.
Semuanya memang tidak baik-baik saja.
“Emm… omong-omong Mili baru saja dimarahi kakak kelas. Dan… Mili rasa Mili butuh pelukan Susuk.” Aku sedikit mengangkat tangan menunggu laki-laki itu menyambutku. Sorot mata Susuk semakin kentara akan duka dan aku tak tahan melihatnya.
Dia kemudian memelukku dan aku balas menyambutnya erat. “Mili sayang Susuk. Susuk pasti bangga punya menantu seperti Mili.”
Susuk tertawa getir. Aku sedikit lega mendengarnya. Dia kemudian melepaskan pelukan sekaligus melepaskan kacamata. Ketika kembali duduk, aku melihatnya tengah mengusap-usap mata.
“Ya, kalian beruntung punya menantu yang bisa menggambar sekaligus calon ketua klub.” Aku sengaja berkacak pinggang seolah-olah superior. Susuk Joni kembali tertawa dan mengangguk berkali-kali.
“Iya-iya. Layden pasti beruntung.” Dia menatapku dalam. “Susuk juga beruntung karena kau peduli padanya dan Alex,” sambung Susuk seakan-akan dia menderita kanker dan tengah menunggu waktunya tiba sebelum menyerahkan kedua putranya padaku.
“Alex sepertinya agak sensitif hari ini.” Kucoba memberanikan diri mengarahkan pembicaraan ini pada hal yang ingin kuketahui. “Apakah di rumah ada masalah?”
Susuk langsung menggeleng dan tersenyum masam. “Tidak ada apa pun. Tidak perlu khawatir.”
Dengan berkata demikian, Susuk justru berhasil membuatku lebih khawatir. Aku ingin bertanya lagi, tapi kurasa tak sopan jika terlalu ikut campur. “Baiklah. Tapi jika ada masalah, Susuk bisa menceritakannya padaku… atau meminta Layden menceritakan padaku,” kataku dengan tangan mengepal. “Mili tidak ingin… Susuk merasa sendirian.”
Aku tak tahu jika permasalahan Kak Marco masih teramat sulit untuk dilupakan meski sudah setahun lebih. Aku tak bisa menghakimi atau menilai karena tak pernah kehilangan anggota keluarga inti—kalaupun kehilangan tampaknya tak masalah—sehingga tak bisa menempatkan diri di posisi Susuk ataupun Layden. Aku bisa saja mengatakan, “Kehilangan Kak Marco pastinya berat, aku paham itu,” tetapi aku tetap tak ingin bersikap sok diplomatis.
Lagi pula banyak sekali kasus perceraian akibat kehilangan seorang anak. Mungkin memang seberat itu bagi mereka hingga tak mampu menampung diri bersama—meski aku juga tak mengerti mengapa perpisahan menjadi alasan lebih baik.
Layden pernah menjadi anak tengah dan dia tak melebih-lebihkan ketika menceritakan seberapa hebat abangnya itu. Kak Marco menjadi kebanggan keluarga dan mungkin aku sedikit mengerti mengapa kehilangannya membuat Susuk dan A'i menjadi emosional.
Ibarat kami kehilangan Bang Joule atau Mbak Esla, aku yakin Ibu akan terjun ke Sungai Musi saking tak rela kehilangan mereka.
***
Esoknya dadaku hampir meletus karena akhirnya laki-laki jangkung, bermata sipit, dan mengenakan masker kelebaran itu datang ke sekolah. Mataku terasa hangat dan napasku agak tersengal. Banyak sekali tanda tanya yang bersemayam di otakku selama tiga hari belakangan ini. Semua itu gara-gara dia.
Aku berjalan seraya merentangkan tangan ke arahnya. Suaraku bergetar memanggil nama Layden.
Hebat sekali dia datang tanpa rasa bersalah. Bahkan ketika dia melepas masker, terlukis jelas senyum konyol super duper menyebalkan itu meski matanya seperti panda.
“Sayangku,” panggilnya manja seraya balas merentangkan tangan.
Ketika siap berpelukan, aku langsung mengangkat buku sketsa dan menimpuknya tepat di kepala Layden. “Ke mana saja kau?” teriakku ganas selagi Layden merintih kesakitan.
Tanpa iba, aku kembali memukul kepala Lay berkali-kali, sampai-sampai buku sketsanya terlepas dari tanganku. “Jika kau menghilang seperti ini, aku harus berpikir sepuluh kali untuk menikah denganmu.” Sialnya, tepat setelah meneriaki hal itu, bahuku gemetar lalu aku menangis.
Aku menangis? Yah, aku menangis untuknya.
Layden malah tertawa, tapi dia kemudian menarik tanganku dan berbisik tepat di dekat telinga. “Aku suka jika kamu menangis karena aku.”
Aku langsung memukul bahunya lalu mendorongnya menjauh. “Akan kupastikan untuk terbahak jika kau meninggal nantinya.” Aku menyeka pipi dan berusaha menghentikan air mata. Layden masih menatapku dengan sorot mata mabuknya. Sorot mata mabuk yang kumaksud adalah tatapannya yang sayu dan setengah sadar. Seakan dia bisa ambruk kapan saja.
“Kau tidak tidur?” tanyaku khawatir.
“Aku ingin tidur sambil dipeluk.”
Sekali lagi aku meninju bahunya. Dia tergelak dan mengikuti arahan jalanku. Aku melangkah ke UKS agar dia bisa istirahat sejenak.
“Sebagai permintaan maafku, aku membawakan hadiah untukmu.” Layden tiba-tiba merogoh ranselnya.
Aku jamin itu bukan hadiah. Paling hanya jari yang membentuk hati ala-ala cowok drama kacangan yang sering Mbak Esla tonton di laptop.
Mataku membulat ketika hadiah yang Layden maksud justru lebih buruk dari perkiraan. Dia mengeluarkan tumpukan kertas teori dan permintaannya untuk kukabulkan.
“Kurasa ini bukan hadiah.” Aku menerima kertas itu dengan wajah masam. Layden menanggapinya dengan semangat dan mengatakan jika dia akan membajak waktu liburanku untuk melaksanakan berbagai rencana yang telah disusun.
Seakan Layden lupa jika aku harus menghabiskan waktu tiga bulan untuk fokus pada lomba.
Namun sebagai Perempuan Bermartabat, aku tak bisa menolak begitu saja.
Aku meneliti tiap kertas satu per satu. Membawa Alex ke Gramedia agar dia bisa membeli buku ilustrasi. Boleh-boleh saja. Meski bukan tanggung jawabku, tapi kami sepertinya harus membuat anak itu tersenyum lagi.
Pergi berdua ke Prabumulih menggunakan motor matic. “Apa-apaan ini? Ada apa dengan Prabumulih?” Nada suaraku penuh akan ketidaksetujuan.
Layden mengedikkan bahu. “Aku hanya pengen saja.”
“Pengen? Menggunakan motor?” Kini langkahku benar-benar terhenti. “Layden, kau ajak aku ke sana dengan kereta api saja pasti tidak dibolehkan orangtuaku. Apalagi pakai sepeda motor. Lagi pula kita tidak familier dengan jalan Lintas Timur dan Prabumulih, lalu kau ingin ke sana hanya karena… pengen?”
“Oh ayolah. Ini penting bagiku,” bujuknya.
“Ditolak!” Aku mengembalikan kertas itu padanya. Tapi Layden justru memasukkannya secara paksa ke dalam tasku.
Aku menggerutu dan lanjut pada kertas berikutnya. “Menikah di KUA?!” Napasku tertahan ketika meneriakkan hal itu. Bahkan di kertas itu Layden sudah menuliskan hal-hal yang perlu dipersiapkan, mulai dari fotokopi KTP sampai surat izin orangtua palsu.
“Yah, aku rasa kita harus melakukannya secepat mungkin. Kau tahu kan, kita tak pernah tahu dengan permainan waktu,” ucapnya santai seakan pernikahan itu seperti permainan catur.
Tidakkah dia berpikir konsekuensi paling dasarnya adalah dikeluarkan dari sekolah?
“Jangan bilang kemarin kau tidak bisa menjemput Alex hanya karena keliling-keliling mencari kantor KUA?”
Dia nyengir kuda.
Anak ini benar-benar sinting.
***
Ketika para siswa sibuk dengan baca puisi, cerdas cermat, tarik tambang, voli, basket, dan futsal, aku justru terkurung di ruang klub. Kukira Kak Kiran ingin membicarakan tentang sistematika penilaian sebagai panitia karikatur. Namun, rupanya dia memintaku untuk mempraktikkan gambar melalui iPad.
Aku membuat alasan jika iPad-nya sedang dipesan sehingga dia meminjamkan miliknya.
Ketika menggambar dengan pantauan langsung oleh Kak Kiran dan Bang Rendi, rasanya seperti masakanku dicicipi oleh Chef Juna dan Renatta. Rasanya seperti aku masuk pressure test. Berkali-kali aku bertanya tentang layer dan jenis-jenis fitur aplikasi. Bang Rendi sampai hampir membanting kursi sementara Kak Kiran merebut stylus pen beberapa kali saking gemasnya.
“Seperti ini, seperti ini,” ucap Kak Kiran cepat seraya memperbaiki kesalahan-kesalahanku.
Ketika aku mulai menggambar—benar-benar kurang nikmat, seperti menggerakkan pensil di atas angin—semuanya mulai berjalan lancar. Kak Kiran memintaku untuk membuat latar gang sempit di Palembang berdasarkan imajinasiku sendiri.
Hei, sebenarnya menggambar di sini tak sesulit yang aku kira. Dalam sekejap, aku lolos pressure test dan melaju ke babak selanjutnya.
“Lihat detail kabelnya,” bisik Kak Kiran pada Bang Rendi.
Sudah kuduga detail kabel pada dinding akan mendapat pujian. Seakan seasoning masakanku tepat porsinya dan enak dipandang.
“Ow, apa itu?” Bang Rendi mendelik melihat aku menambahkan bercak kotor di bagian bawah dinding.
“Jalanan seperti ini selalu becek di Palembang. Jadi kubuat dindingnya terkena sedikit percikan lumpur,” terangku.
Keduanya mengangguk paham. “Selama ini aku hanya menggambar latar belakang seakan itu hanya latar belakang.”
“Yap, tapi orang suka detail.” Aku bicara seakan sudah berada di atas mereka. Entahlah, ketika menggambar seperti ini aku menikmati setiap momen sampai-sampai dering ponsel pun tak kuindahkan.
Kak Kiran melihat panggilan di ponselku dan mengangkat telepon itu. “Ow, ini pacarmu.” Dia menempelkan ponsel di telingaku.
“Kenapa, Lay?” Aku menyerahkan stylus pen-nya pada Bang Rendi sekaligus permisi menjauh sejenak.
“Kamu di mana? Buku sketsamu tertinggal nih,” katanya dari seberang.
“Memang bukunya sengaja kutinggal di sekolah, takutnya di rumah bakal disobek Ibu lagi.”
“Kalau begitu buka pintunya,” pintanya. Terdengar bunyi ketukan pintu dari ujung sana.
Tunggu. Apa dia? “Lay, jangan bilang kau datang ke rumahku?! Aku masih di sekolah.”
Oh tidak, ini bencana. “Lay, cepat pergi dari situ—”
“Cari siapa ya?” Suara Ibu terdengar nyaring. Aku memejamkan mata dan menahan napas.
“Lay,” bisikku lemah. “Pergi dari sana sebelu—”
“Saya Layden, pacar Mili.”
Lalu sambungan telepon pun terputus.