Loading...
Logo TinLit
Read Story - One Milligram's Love
MENU
About Us  

Sebenarnya aku tidak percaya sindrom anak tengah karena isinya terlalu menyudutkan dan penuh tudingan negatif. Iri, merasa tak berharga, merasa tak berarti, tak mendapat perhatian, terasingkan, krisis identitas, dan lain sebagainya yang terkesan seperti penyakit mental. Tak heran, embel-embel sindrom menjadi nama belakangnya.

Padahal, itu tidak benar. Maksudku, Abraham Lincoln saja—aku tak tahu siapa dia, hanya pernah dengar dari racauan Lay—terlahir sebagai anak tengah, tapi dia menjadi orang, bukan makhluk keluarga yang tak kasatmata. Ironisnya, dalam kasusku, sindrom anak tengah tampaknya benar. Fakta satu, anak tengah dicetak seperti makhluk tak kasatmata. Seperti tante-tante receh yang berkunjung dan meneliti foto keluarga lalu berkata, “ohh, yang ini yang paling besar ya? Ini yang paling kecil ya?” Dia hanya menunjuk anak tertua dan bontot. Tidak ada yang menyentil, “oh, ini si tengah ya?”

Fakta dua, Ayah dan Ibu akan nyerocos sepanjang Jembatan Ampera ketika Bang Joule mendapat nilai Kimia lima puluh. Mereka menghukum semua keluarga dengan makan keracak santan ketika Mbak Esla turun peringkat gara-gara pacaran. Ayah dan Ibu bahkan memotong uang jajan ketika Tera dan Miko demam gara-gara main hujan. Namun, mereka bersikap normal ketika nilaiku jeblok serta meriang gara-gara es serut.

“Mil, ini 48?” Aku berharap Ibu ngoceh ketika mendapati nilai ulangan yang harus ditandatangani. Namun dia malah, “Kalau tidak paham pelajaran, bisa tanya sama abang dan mbakmu.”

Mereka juga pernah seperti ini :

Aku : “Bu, suratnya sudah dititipkan sama Mbak Esla?”

Ibu : “Surat apa?”

Aku : “Surat sakit. Aku sudah meminta Ibu membuatkannya tadi.”

Ibu : “Astaga kau sakit? Ayah, Mili sakit. Suratnya belum dibuat.”

Ayah : “Kalau begitu alpa saja.”

Fakta tiga, tentang ujaran kedengkian. Sebetulnya aku sedikiiit iri dengan saudara-saudaraku. Tidak perlu jauh-jauh, keempatnya punya otak. Aku… juga punya, tapi otak yang biasa saja. Kau tahulah, jika otak kami digadaikan, maka punyaku yang berlabel diskon.

Masih banyak daftar lainnya yang membenarkan eksistensi sindrom ini seberapa pun kau tidak memercayainya. Lalu suatu hari, tanpa adanya angin muson ataupun musim pancaroba, keluargaku tiba-tiba menjadikanku pusat perhatian. Selama satu minggu.

Dan ini diakibatkan oleh anak Chindo—tidak bermaksud rasis—yang sama monotonnya bagi orang lain, tapi superistimewa di mataku. Layden Geovani.

Seketika satu keluarga memperhatikanku. Makasih, Lay!

“Kau tidak bisa!” seru Mbak Esla yang mulai terdengar seperti Ibu.

“Kenapa tidak?” Langkah kecilku tak cukup ampuh untuk menjauh dari Tuan Putri Maha Sempurna.

“Haruskah aku menyebutkannya?”

“Mbak mulai bertingkah seperti Ibu. Pengatur hidup orang.” Aku berdecak kesal. Dia bahkan mengikutiku sampai beberapa anak kelas sepuluh menatap kami heran. Bukankah saat ini dia seharusnya mempersiapkan dokumen untuk SNMPTN?

“Mil, aku memperingatkanmu sebelum Ibu ngamuk besar. Kau tidak mau jatah uang beli komik hilang, kan?”

“Mbak dulu pernah berpacaran dengan Ergo dan Ibu terlihat lebih jinak dari anak kucing.”

“Karena dia dulu tidak tahu aku pacaran dengan Ergo! Astaga!” Kali ini Mbak Esla mendorong dan menahanku di loker sekolah. Beberapa orang menatap kami bimbang, tapi begitu tahu Mbak Esla yang melakukannya, mereka kembali normal. “Dengar, aku dengan Ergo tidak pernah berjalan lancar. Masalah agama tidak bisa ditawar. Jadi putuskan hubunganmu dengan Rayden—“

“Layden.” Aku membenarkan.

“Ya. Putuskan hubunganmu dengannya sebelum Tera mendengar ini, lalu mengadukannya kepada Ayah dan Ibu, kemudian satu keluarga tiba-tiba menjadi ustaz dadakan.” Dia berdengus, lalu pergi membawa napas kudanya tanpa memedulikan raut jengkelku.

“Ini pacar pertamaku!” teriakku tak terima.

“Bodo amat!” balasnya.

Aku menendang loker—percayalah, ini pertama kali aku melakukannya—dan mengembuskan napas gusar. Setelah perasaanku lebih tenang, baru kusadari Layden memperhatikanku dengan senyum yang terkulum.

***

Sepanjang koridor hari itu, Layden terus-terusan menanyai keadaanku. Apakah aku baik-baik saja? Apakah keluargaku baik-baik saja? Apakah hubungan ini memengaruhi kedekatanku dengan keluargaku?

Jujur saja, aku tak menyangka jika dia sekhawatir itu. Benar-benar imut. “Bagaimana dengan Susuk[1] dan A'i[2]? Mereka tahu?”

Layden tersenyum dan menggeleng sekali. “Belum. Mereka akan lebih kaget mendengar kabar aku berpacaran dibandingkan kenyataan kalau pacarku muslim.”

“Jika aku Mbak Esla, maka dapat kupastikan orangtuaku bertindak sama.” Aku berhenti di depan pintu kelasku. Layden turut bergeming dan menatapku dalam. “Tapi karena aku Mili, mereka tampaknya tak ambil pusing.”

“Mereka pasti mempermasalahkan ini.” Layden tertawa renyah meski jelas-jelas ini masalah. “Tak peduli kau anak tengah atau tidak. Ketika orangtuaku dulu dipanggil ke ruang BK karena masalah petasan itu, mereka tetap memarahiku habis-habisan. Papa bahkan mengajakku bicara empat mata secara intens.”

Layden sempat bermasalah saat SMP karena membuat semacam proyek roket dari petasan. Bodohnya, dia melakukan hal itu di halaman sekolah sehingga beberapa guru jantungan dibuatnya. Berdasarkan versi ceritanya, aku rasa dia tidak akan dimarahi jika berbohong saat itu. Namun dia jujur mengenai alasannya yang hanya untuk “mendapatkan perhatian guru” dan aku tidak ingin menghakimi. Setelah itu, dia benar-benar mendapat perhatian dari ayahnya.

“Ya meskipun Kak Marco tetap menjadi sasaran kemarahan karena dianggap tak becus menjagaku.”

Oh, aku tidak terlalu suka ketika Layden menyinggung orang yang sudah meninggal. Walaupun aku pernah menyarankan untuk tidak membawa-bawa nama kakaknya dalam percakapan kami, Layden tampaknya tak acuh. Kami kemudian berpisah sambil aku melambaikan tangan cukup lama lalu masuk ke kelas.

Di meja pojok, Hesti sudah duduk mantap dengan ekor mata menyoroti gerikku. Beberapa anak kelas yang lain sempat melirik meski hanya sepersekian detik. Ketika sudah mendekati bangku, bola plastik menghantam tepat di pelipis kiriku. Tidak ada rasa sakit, hanya saja panas di dada.

Aku menatap tajam rombongan anak cowok yang terbahak-bahak dan meminta maaf dengan nada penuh gelitik. Salah satu dari mereka mengambil kembali bola itu dan bergumam, “sori, Mil.”

“Ini kelas, bukan kandang sapi. Jadi kalian para binatang ternak silakan keluar!” Hesti mulai mengeluarkan kata-kata siletnya. Aku menggelengkan kepala dan duduk di bangku setelahnya.

Yay or nay? Kau berpacaran dengan Layden?” Dia mulai menginterogasi.

Yay,” jawabku datar. Meskipun begitu, aku menunggu reaksi heboh Hesti. Namun cewek itu malah bergeming. “Sebenarnya sudah lama kami backstreet.”

“A-aku tidak tahu harus berkata apa.”

Astaga, dia sama saja seperti Mbak Esla. “Ucapkan selamat?”

Co-congratulations.” Dia masih memasang tatapan selidiknya. Aku dapat menebak arah pembicaraan ini. “Aku tahu Lay orangnya baik meski nggak tenar. Tapi, Mil, dia kan….” Hesti menahan napas dan terlihat seperti orang baru cepirit.

“Nonmuslim?”

“Iya,” ucapnya dengan embusan napas superkuat. “Bukankah ini… masalah?”

“Semua hal di dunia adalah masalah.”

“Maksudku, hubungan beda keyakinan selalu memiliki akhir yang tak menyenangkan. Jangan bilang kau berencana menjadikannya muslim?”

“Ti, kami masih kelas sepuluh. Bukan orang yang hendak berumah tangga.” Aku menghela napas panjang. “Tidak perlu seberlebihan ini.”

Aku tidak sepenuhnya salah. Karena memang tidak ada yang berlebihan dalam menanggapi hal ini. Bahkan hampir semua siswa di sekolah tidak tahu dan tidak peduli jika aku dan Layden berpacaran. Kebanyakan dari mereka memang tidak mengenal kami.

Yah, ini urusan kami. Dua siswa ordiner yang tidak pernah mendapatkan perhatian lebih. Maksudku, ketika anak tenar tiba-tiba berpacaran, yang ribut satu sekolah. Ketika juara sekolah yang berpacaran, yang ribut semua guru. Namun, jika siswa rata-rata dalam segala hal berpacaran, maka tidak ada yang ribut. Kecuali orang-orang terdekat mereka.

Lalu beberapa hari setelahnya, aku baru tahu jika teman-teman Layden—hanya segelintir jari—turut meragukan hubungan kami.

“Satu dunia membenci kita,” kataku setelah kami turun dari Transmusi. Pedestrian Sudirman sedang ramai-ramainya di jam empat sore. Layden memaksa agar aku mengenakan masker meski aku yakin virusnya sudah tidak mempan lagi menyakiti kami.

“Benarkah?” Walau tertutupi masker, aku tahu Layden tersenyum. Karena matanya menyipit hangat. Dia tiba-tiba menarik tanganku, berjalan di bibir ruko tempat gerai-gerai membuka tikar. Tampaknya dia masih kurang suka berada di antara kerumunan.

Karena sempitnya akses lewat, kami memilih jalan beriringan. Tangan Layden mengait kencang jemariku. Dia menuntun langkah di antara ruko dan kerumunan.

Aku mengulum senyum.

“Kurasa, bahkan Tuhan pun menentang hal ini.” Layden tiba-tiba melanjutkan perbincangan kami ketika suasana lebih lengang. Dia menarik tanganku hingga langkah kami kembali berdampingan. “Jadi biasakan dirimu ketika satu dunia tak mendukung kita. Karena Tuhan sekalipun, tidak akan bermurah hati.” Dia tiba-tiba menatapku dalam.

Entah mengapa, keraguanku mulai memudar. “Kau yakin akan hubungan ini?”

Layden menepuk kepalaku pelan. “Selama kau yakin terhadap diriku.”

 

[1] Om/Paman

[2] Tante/Bibi

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Say You Love Me
168      142     0     
Romance
Mendapati suaminya sendiri berselingkuh dengan adik tirinya, Adelia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia akhirnya percaya, bahwa peringatan Raffi - sahabatnya - benar. Namun semuanya telah terlanjur terjadi, ia telah memilih melepaskan Raffi dan menerima Morgan sebagai pemilik hati.  Setelah pernikahannya rusak, hidupnya perlahan hancur, kemalangan terus menerus menimpanya. Hingga berak...
Premium
RESTART [21+]
9049      3206     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
BestfriEND
20      16     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Penerang Dalam Duka
160      101     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
One Step Closer
2319      968     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Coldest Husband
1540      791     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Kalopsia
705      523     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
My Rival Was Crazy
128      113     0     
Romance
Setelah terlahir kedunia ini, Syakia sudah memiliki musuh yang sangat sulit untuk dikalahkan. Musuh itu entah kenapa selalu mendapatkan nilai yang sangat bagus baik di bidang akademi, seni maupun olahraga, sehingga membuat Syakia bertanya-tanya apakah musuhnya itu seorang monster atau protagonist yang selalu beregresi seperti di novel-novel yang pernah dia baca?. Namun, seiring dengan berjalannya...
The Boy Between the Pages
432      331     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaan–tempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, m...
Aku Ibu Bipolar
40      33     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...