Loading...
Logo TinLit
Read Story - Semesta Berbicara
MENU
About Us  

Vinda melangkah segan ke dalam gedung perusahaan Naratama. Karena Fabian sedang berada di Jakarta, ia harus menggantikannya untuk urusan proyek kerjasama ini. Ia melangkah dengan gugup sekaligus senang, setidaknya di sini dia bisa bertemu dengan Anjar, bos perusahaan ini yang telah ia kenal. Bagaimana tidak, belakangan ini pria itu seringkali mengiriminya pesan, hingga pada akhirnya mereka berbalas pesan. Ia sudah lama tidak bertemu dengan pria Jawa manis itu, entah bagaimana harus bersikap di depannya nanti.

“Mau bertemu dengan siapa, ya?” seorang Resepsionis bertanya kepadanya.

“Dengan Pak Anjar, sudah janjian sebelumnya. Saya Vinda, perwakilan dari RumahWaktu,” Vinda memberitahukan.

“Oh sebentar ya,” wanita Resepsionis itu bicara melalui telepon kepada seseorang, sangat singkat, sebelum menutupnya. “Silakan langsung masuk ke ruangannya aja, di ruang Direktur Utama, lantai 5.”

“Baik, terima kasih!” Vinda menurut. Sambil berjalan ia mengamati kantor perusahaan yang tampak mewah dan modern ini, berbeda sekali dengan kantornya yang terkesan lebih seperti rumah dan kasual. ‘Perusahaan milik Anjar maju juga ya. Dia sebenarnya Bos besar ya, sikapnya yang tengil sering bikin lupa kalau dia Bos sih,’ pikirnya sambil mengulum senyum dalam perjalanannya ke lift.

Saat pintu lift terbuka ia masuk. Sampai di lantai lima, ia mencari ruang bertuliskan Direktur Utama yang disebut Resepsionis, ketemu. Ia mengetuk tiga kali.

“Masuk!” sahut seseorang dari dalam.

Vinda mempersiapkan hatinya, menenangkan jantungnya yang berdebar. Pintu dibuka, dan ia melangkah dengan mode profesional. Anjar tampak berwibawa di balik jas kerjanya, ia duduk di balik meja kerjanya yang kokoh dan tampak mahal, begitupun kursinya.

“Pak Anjar, saya membawakan file dokumen proyek kita, serta blueprint rancangan terakhir sesuai pesan Fabian,” Vinda menjulurkan sebuah map ke tangan Anjar.

“Silakan duduk!” Anjar menunjuk bangku di depan mejanya. Vinda menurut untuk duduk, sementara Anjar membolak-balik mapnya. “Sudah lengkap semua ya,” bos muda itu mengomentari sambil masih memerhatikan halaman demi halaman yang dibaliknya. Tampak sangat fokus dan serius.

Situasi hening ini membuat Vinda canggung. Anjar tampak berbeda dari pesan yang seringkali dikirimkannya. Di sini ia terkesan sangat berkharisma dan serius, membuatnya jengah.

“Kenapa Vin?” Anjar melirik raut wajah Vinda yang menatap lekat ke wajahnya sejak tadi.

“Oh nggak…kamu ternyata aslinya serius ya,” Vinda mencari penjelasan.

“Ya kalau mode kerja aku begini,” Anjar tersenyum manis sekali, paham keterkejutan Vinda. Ia lalu menutup mapnya untuk menatap gadis itu lekat-lekat. “Tapi kalau kerjaan udah selesai, aku bisa balik tengil lagi.”

Vinda hanya mengangguk sambil melihat ke arah lain, malu diperhatikan mata indah itu. Ia tidak berani menatap balik mata Anjar.

Sesaat ia melihat buku tebal di rak belakang Anjar akan jatuh ke pria itu. Reflek ia berdiri dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng, membuat kepalanya kejatuhan buku tersebut.

Anjar terkejut karena kejadiannya begitu cepat. “Vinda, are you okay?” ia menarik Vinda ke sofa di ruangan itu untuk mengecek kepalanya. Beruntung tidak ada luka di kepala gadis itu.

“Nggak apa-apa, yang penting kamu nggak kena kan?” Vinda masih tersenyum.

Anjar tertegun mendengar kekhawatiran gadis itu, padahal ia yang cedera. “Vinda, nggak usah sampai begitu ke aku. Aku laki loh,” ia tersentuh dengan perhatiannya.

“Ya maaf, tadi…refleks,” Vinda malu sendiri, ketahuan terlalu mengkhawatirkan Anjar yang baru dikenalnya belum lama ini.

Sementara di mata Anjar, Vinda jadi terlihat berkilauan. Jantungnya berdegup kencang. Alunan harmoni di nadinya membuatnya sadar, tidak bisa memungkiri lagi. Sebelumnya tidak pernah ada perempuan dalam hidupnya yang rela mengorbankan diri demi menyelamatkannya, baru perempuan di depannya ini. ‘Kayaknya aku udah benar-benar jatuh hati ke perempuan ini,’ benaknya berkata jujur.

“Terima kasih ya, udah tolongin aku,” Anjar berkata tulus, ia merasa sangat berhutang pada gadis itu. “Tadi sebenarnya ada yang jealous ke kamu.”

“Hah, siapa?” Vinda celingak-celinguk bingung, sepenglihatannya tidak ada orang lain di ruangan ini.

“Bukan orang,” jawaban Anjar yang lugas itu membuatnya teringat perbincangan Anjar dan Fabian sebelumnya di ruang rapat kantornya.

‘Jadi benar dia bisa lihat yang nggak terlihat?’ Vinda mengatupkan mulutnya yang terperangah.

 

-oOo-

 

Sementara di kantor RumahWaktu, Anya menghabiskan waktu makan siang di ruang kerja Tougo. Ia bersandar ke bahu pemuda itu sambil memainkan ponselnya.

“Hun, memang benar Suci dari keluarga yang biasa aja?” ia memerhatikan video Suci dengan seorang pria bergaya eksekutif muda yang gagah di ponselnya. Dikirim kemarin-kemarin oleh orang yang dibayarnya untuk mengintai Suci. Keduanya tampak bercanda akrab di warung soto mi, pria itu bahkan mengelus kepala Suci dengan gestur sayang.

“Iya, orangtuanya cuma punya usaha minuman, UMKM gitu,” Tougo menjawab sepengetahuannya. Ia tidak mengetahui kabar terbaru keluarga itu, karena ia tak menaruh peduli. Padahal sesudah Tougo pindah ke Bogor, perusahaan minuman keluarga Suci di Jakarta telah berkembang menjadi perusahaan raksasa dengan omset besar setiap bulannya.

Anya menyeringai. “Bagus deh!” ia lalu menyebarkan video itu ke grup perusahaannya, dengan caption yang menggiring opini bahwa Suci benar-benar panjat sosial dan memiliki hubungan romantis dengan pria mapan itu. Kebetulan belakangan ini Suci dan Fabian tidak terlihat lagi di kantor. Ia bisa bebas menyebarkan isu negatif mengenai Suci. Ia ingin orang-orang sekantornya memandang Suci buruk, bonusnya jika Suci sampai kena sanksi atas tuduhan ini.

 

-oOo-

 

Suci bangun sangat pagi, hari ini ia ingin melanjutkan niatnya memperkenalkan ragam jajanan pasar kepada Fabian. Apalagi dengan adanya pria Belanda itu di rumahnya, ia tidak boleh terlihat malas. Ia mandi saat langit masih gelap, mengenakan pakaian yang cukup layak untuk keluar rumah, celana berwarna mustard dan kaos berlengan panjang berwarna hijau lime. Ia segera berburu kue-kue lokal yang biasa dijajakan di lapak pagi hari.

Begitu kembali ia membawa satu kotak food container yang penuh dengan kue-kue lokal.

“Apaan tuh?” Surya sudah rapi dengan pakaian kerjanya, ia duduk di bangku depan meja makan.

“Kue jajanan pasar, buat Fabian cobain,” Suci menjelaskan. “Nih Kak, gue beliin nasi kuning juga buat sarapan,” ia menaruh satu bungkusan ke depan Surya.

“Ih baik banget Adek gue!” Surya kesenangan, ia segera berdiri mengambil piring dan alat makan.

“Tapi Kak, gue mau minta tolong dong, ceritain semua hal tentang Akasia,” Suci menyuarakan keinginannya dengan senyum tengil.

“Lu pengin kenal dia?” tebak Surya. “Gue sih nggak terlalu kenal, noh tanya aje ke Fabian yang sahabatnya, minta kenalin langsung!” ia tidak peka.

Suci menepak jidatnya gemas, justru ia ingin mencari tahunya diam-diam di belakang Fabian, sebagai amunisi untuk mendapatkan hati pria Belanda itu. Ia ingin tahu wanita seperti apa yang sangat berkesan di hidup Fabian sebelumnya.

“Tuh Fabian, Fabian sini! Adik gue mau kenalan sama Akasia katanya,” tanpa dinyana, Surya memanggil Fabian yang baru terlihat mendekati meja makan. Suci gelagapan, mengibas-ngibaskan tangannya, mengelak dari ucapan Surya.

Suci kemudian duduk dengan pasrah sambil menutup wajahnya, malu. Sementara Fabian yang awalnya bingung, duduk di sebelahnya, menatap gadis itu dengan pandangan seolah paham.

“Boleh, aku kenalin,” jawaban Fabian semakin membuat Suci panik.

“Nggak usah, Kak Surya cuma asal ngomong!” Suci membatalkan.

“Nggak apa-apa, yuk ketemuan sama orangnya hari ini!” ajak Fabian.

“Hah, hari ini?” Suci gelagapan. “Emang dia…nggak kerja? Nggak usah, ganggu nanti,” ia ingin sekali kabur dari rencana ini. Ia pasti canggung jika menemui Akasia bersama Fabian.

“Nggak masalah, kan dia yang punya kerjaan. Dia nyonya besarnya,” Fabian menjawab santai sambil mengetik pesan di ponselnya. Fabian puas setelah mendapat balasan pesan dari ponselnya. “Yup, pukul sebelas hari ini, kita ke dekat kantornya. Makan bareng.”

Suci semakin kelabakan. “Hari ini banget, Fab? Aduh…”

“Udah, nggak apa-apa. Kamu temani aku ya!” kali ini permintaan Fabian itu diiringi senyum indahnya yang melenakan.

“O…kay,” Suci terpikat lagi. Merasa lemah dengan senyumnya itu. “Ini, makan dulu,” ia menyodorkan food container yang sudah dipersiapkannya.

“Apa ini?” Fabian terkejut.

“Setoran kue jajanan pasar untuk hari ini. Ada kue lumpur, onde-onde, kue cucur, dan kue lapis,” Suci menerangkan malu-malu.

“Wah, terima kasih!” Fabian jadi ingat, gadis ini sebelumnya juga kerap memberi kue-kue lokal semacam ini ke mejanya. “I’ll appreciate it!” ucapnya penuh syukur.

Suci tersenyum, “I’ll be pleased if you like it,” ia spontan menutup mulutnya, baru sadar ucapannya tadi beraksen British yang sangat kental.

‘Ah pasti kebawa karena kuliah online terus nih!’ benaknya maklum, hanya saja ia tidak ingin ketahuan ia kuliah jarak jauh di London University, tidak sekarang. Ia bisa melihat keterkejutan Fabian dari dahinya yang mengkerut dan wajahnya yang terperangah.

“Maaf, keseringan nonton serial Lockwood & Co, jadi kebawa,” ia memberi alasan yang masuk akal.

OkayI get it, no problem!” Fabian tertawa kecil melihat kepanikan Suci yang tadi sempat gelagapan. ‘Aksen Britishnya bagus banget, kok bisa? Memang bisa ya menonton film bikin kita punya logat?’ pikirnya heran.

 

-oOo-

 

Maka siang ini Suci mengiringi Fabian ke sebuah restoran makanan Padang yang cukup luas. Mereka berdua memesan jus dan soto Padang sambil menunggu wanita yang membuat Suci penasaran setengah mati, Akasia.

Saat Suci dan Fabian sedang asyik melahap makan siang mereka, datang seorang gadis cantik berpenampilan anggun dengan blazer hitam dan rok khaki-nya yang terkesan eksekutif.

“Fabian, lang niet gezien (sudah lama nggak ketemu)!” sapanya sambil menawarkan high five ke arah Fabian.

Jij ziet er steeds mooier uit, maakt het huwelijk je zo gelukkig (Kamu terlihat tambah cantik, apa menikah sebahagia itu)?” Fabian membalas high five-nya.

Akasia baru menyadari keberadaan Suci yang duduk di sebelah Fabian. “Itu siapa. Fab?” ia menggoda Fabian dengan tatapan tengilnya.

“Ini Suci, kenalin. Suci, ini yang namanya Akasia,” Fabian memperkenalkan keduanya.

“Aku…rekan kerja Fabian,” Suci bicara, sedikit rendah diri melihat penampilan Akasia yang dewasa dan tampak akrab dengan Fabian, jauh melebihinya.

“Hai Suci, Fabian nih nggak bilang, bawa cewek!” Akasia duduk di hadapan Fabian, menepak sahabatnya itu.

“Aku kebetulan ke Jakarta, karena klienku ini,” Fabian menunjuk Suci.

“Oh jadi kamu kliennya juga?” Akasia mengangguk paham. “Suci, Fabian gimana kerjanya sama kamu? Kalau dia ngeselin, tabok aja ya! Aku izinin kok.”

“Enak aja, aku pekerja yang baik dan profesional tau!” Fabian membantah.

Suci memerhatikan interaksi mereka. Tatapan Fabian tidak bisa lepas dari wajah gadis itu, meski obrolan mereka terdengar kasual. Tampak sekali bahwa dulu Akasia adalah medan magnetik yang menariknya. Ada rasa perih di relung hatinya, nelangsa dalam diamnya yang merasa tersisih. Akasia dan Fabian terus aja saling ledek, hingga Akasia menyadari ekspresi gadis itu.

“Aduh maaf, Suci. Sampai lupa ajak kamu ngobrol,” Akasia merasa bersalah. Ia lalu memesan soto Padang untuknya sebelum menghadap Suci lagi. “Jadi kamu udah berapa lama kerja bareng Fabian?”

“Aku kerja di RumahWaktu sudah 3 tahun, Fabian baru masuk tahun kemarin, Kak,” Suci menginformasikan.

“Aduh pakai manggil Kakak segala, jadi senang. Kamu imut deh!” Akasia cengengesan.

“Terima kasih. Kakak yang cantik banget,” Suci tidak bisa berbohong. Gadis berambut panjang lurus di depannya memang memikat, tidak heran Fabian tidak bisa melepaskan pandangannya dari Akasia.

Fabian kerap mengajak Akasia bernostalgia, membicarakan pengalaman kuliah mereka di Amsterdam yang tidak dapat Suci mengerti. Seolah menegaskan garis batasan Suci sebagai orang luar. Fabian orang yang cerdas, ia pasti sengaja melakukan ini dengan suatu tujuan.

‘Ini semacam penolakan untuk aku ya? Dia pasti mau aku aku sadar posisiku,’ Suci menunduk, bisa mengerti makna dibalik sikapnya. Tapi meski hatinya berdenyit sakit, ia menahannya. Ia tidak ingin menyerah hanya karena ini. Lagipula Akasia sudah menikah, Fabian memang harus melangkah maju demi kebaikannya sendiri. Dan Suci bertekad akan membantunya memulihkan hatinya, meski disikapi bagaimanapun oleh Fabian.

 Akasia merasa tidak enak hati dengan Suci, ia berusaha keras mengikutsertakannya dalam pembicaraan. Namun Fabian tampaknya sengaja menyingkirkan Suci dalam obrolan, kembali membahas lagi kenangan mereka di Amsterdam. Fabian tersenyum, tapi sikapnya menghujam hati Suci. Hingga kemudian Suci melihat seseorang yang ia kenal mendekat.

“Hai Kas! Sama siapa nih?” wanita itu menepuk Akasia akrab.

“Kak…Dinia.” Suci melongo. Di hadapannya adalah Dinia, programmer wanita yang populer karena sepak terjangnya di bisnis pembuatan software. Ia banyak menghasilkan perangkat lunak lokal yang menjadi kebanggaan perusahaannya, Random Walk. Aplikasi yang dihasilkannya tidak kalah kualitasnya dengan produk perangkat lunak dari luar negeri. Suci juga tahu, Dinia salah satu pengembang forum programming yang diikutinya dan mempertemukannya dengan Mr. Wolf, forum NerdNode.

“Selamat siang, Kak Dinia! Saya Suci, penggemar anda. Saya boleh minta foto?” Suci langsung melupakan Akasia dan Fabian dan beranjak ke arahnya dengan ponsel di tangannya.

“Oh, iya boleh,” perempuan cantik dan supel itu dengan senang hati merangkul Suci saat berfoto bersama.

“Aku IT Support Specialist di perusahaan RumahWaktu. Aku juga anggota forum NerdNode. Aku suka ngoprek sistem.”

“Oh ya?” mata Dinia berbinar menemukan gadis yang serupa minat dengannya itu, merasa satu kesatuan. “Di forum, kamu username-nya apa?”

Pertanyaan itu membuat Suci terpaku, ia tidak mungkin bilang username-nya MidnightFox di hadapan Fabian dan Akasia. “Nanti aja aku kasih tahu,” bisik Suci.

“Oh okay,” Dinia maklum. Banyak programmer yang hidupnya misterius dan perlu privasi, ia paham itu. “Kamu keren banget, perempuan, masih muda tertarik ngoprek sistem.”

“Iya, aku terinspirasi sama Kakak. Emang udah hobi sejak SMA,” Suci menceritakan sejujurnya.

Dinia tersanjung, “Wah, cocok nih kita. Minta nomornya deh, siapa tahu bisa aku ajak ke timku.”

Suci tertegun, itu undangan kehormatan baginya berhubung perusahaan Random Walk penghasil teknologi yang paling maju untuk sekarang. “Tapi aku udah kerja, Kak,” kemudian Suci teringat realitanya.

“Yaudah nggak apa-apa, buat ngobrol aja. Boleh?” Dinia membujuk.

“Boleh banget, Kak!” Suci dengan riang segera memberitahunya.

Fabian menatap Suci yang berbincang seru dengan Dinia. Ia lega, gadis itu menemukan ketertarikannya sendiri. Sebenarnya tadi ia sengaja menunjukkan kedekatannya dengan Akasia kepada Suci, menegaskan bahwa gadis itu tidak mengetahui apapun tentangnya dibanding Akasia. Ia kira tadinya Suci akan sedih dan mundur. Ia harus tega, karena ia tidak mau gadis itu tahu belakangan, atau memberinya harapan palsu. Jika setelah ini Suci menghindarinya, ia akan paham dan tidak heran, sikapnya memang terlalu kejam meski senyumnya senantiasa mengembang.

“Suci, udah waktunya pulang,” Fabian mencolek Suci yang larut dalam obrolannya bersama Dinia, bertukar pikiran mengenai minat mereka di bidang teknologi dan pemrograman.

Suci mengangguk dan bangkit. “Maaf Kak, kami pamit duluan ya.”

“Eh iya, waktu istirahat juga udah mau selesai nih!” Dinia pun baru tersadar akan waktu. Ia mengajak Akasia untuk kembali ke kantor mereka. Suci mengamati kebersamaan Dinia dan Akasia yang tampak begitu dekat selayaknya sahabat karib.

“Terima kasih ya sudah datang ke sini. Nanti kita ngobrol lagi ya!” Akasia melambaikan tangan.

Suci menyerahkan sebuah kertas kecil yang dilipat ke Dinia. “Apa ini?” Tanya Dinia bingung.

“Nama akunku di forum NerdNode. Tapi ini rahasia kita ya,” Suci membisikkan ke telinga seniornya itu. Sebelum kembali ke sebelah Fabian.

Seiring Dinia dan Akasia berjalan menjauh, Dinia semakin penasaran dengan Suci dan kertas yang diberikannya. Dinia membukanya dalam perjalanan menuju kantor. Tertulis dengan tulisan tangan yang jelas. ‘MidnightFox

Dinia teringat dengan sepak terjang seorang hacker lokal yang hasilnya sering dibagikan di sosial media. ‘Astaga, jadi dia hacker itu?’ pikirnya, baru mengerti.

Dinia tersenyum, senang mendapati juniornya itu punya banyak ketertarikan yang sama dengannya. Banyak yang tidak mengira bahwa sebenarnya Dinia dan suaminya, Endry, sang pendiri Random Walk, juga menekuni dunia hacking. Mereka hanya ingin beroperasi dalam hening, tanpa orang tahu sisi gelap mereka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • papah.al

    Menarik
    Selalu penasaran kedepannya

    Comment on chapter Prolog
  • baba

    Ceritanya mindblowing ya ..

    Comment on chapter 6. Semut pun Bisa Menggigit
  • guardian angel

    Prolognya menarik.

    Comment on chapter Prolog
  • guardian angel

    Mulai seru... hacker perempuan keren bgt!

    Comment on chapter 1. Kecewa Menghentak
Similar Tags
A Poem For Blue Day
126      83     4     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Sweet Punishment
104      52     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
A Sky Between Us
29      26     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
1321      629     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Hello, Me (30)
405      22     0     
True Story
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
ALUSI
9461      2257     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
XIII-A
417      322     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jenius—hingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah se...
Rumah?
46      44     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
89      79     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Lepas SKS
117      103     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...