Prolog
"Apa-apaan ini? Kenapa nilaimu turun?!" Bentak sang Ayah dengan penuh amarah, suaranya begitu begitu menggema di ruang keluarga yang sunyi. Dengan kasar ia mencengkram lembaran kertas laporan nilai itu, lalu menghempaskannya ke meja
Plak! Suara kertas menghantam permukaan meja dengan keras, sedikit memantul sebelum akhirnya terkulai lemas. Bunyi itu diikuti dengan dengung hening yang mencekam.
Karina tertegun, menatap lembaran kertas itu dengan tatapan kosong yang sulit diartikan. Hatinya yang seakan mati rasa tidak merasakan apapun saat melihat hasil perjuangannya selama ini diperlakukan dengan tidak pantas. Ia hanya menunduk, menatap ujung sepatunya dengan tangan yang terkepal di samping tubuhnya.
Helaan napas terdengar dari wanita paruh baya yang kini tengah menenangkan suaminya yang tersulut emosi. "Masuk kamar" Titah Irene dingin yang langsung dibalas anggukan oleh anak semata wayangnya kini.
Karina berjongkok di hadapan meja dan dengan cekatan ia memunguti kertas laporan nilai itu lalu segera berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Begitu Karina menutup pintu, suasana menjadi hening. Alunan lagu 'Hug' dari Seventeen yang keluar dari earphonenya mulai mengisi ruang yang sebelumnya sunyi.
Tanpa terasa air matanya kini ikut tumpah, mengalir membasahi pipinya dengan deras. Bercampur dengan rasa marah dan frustasi. Ingin rasanya ia mengakhiri penyiksaan tak berujung ini. Rumah yang begitu didambakan oleh banyak orang justru menjadi neraka baginya.
Malam itu Karina menangis sendirian dalam benaman bantal hingga dadanya terasa sesak. Tapi ia tak lagi peduli. Ia hanya ingin menumpahkan semua yang telah ia pendam selama ini.