Langit jingga menghiasi Jakarta, menggantikan kelabu beberapa detik yang lalu. Pertanda akan berganti dari sore ke malam. Pertanda orang orang akan segera pulang ke rumah nya masing-masing untuk istirahat setelah melewati waktu panjang dan melelahkan.
“Sudah pulang, Nak? mau makan apa? biar ibu siapkan.” Tanya perempuan paruh baya kepada anak cantik nya yang baru saja pulang dan duduk lesu di kursi.
“Anne tidak ingin makan sekarang, Buk. Mau mandi dulu ya.” Anne berdiri dan menghampiri Ibu untuk salim dan berjalan melalui Ibu untuk masuk kamar.
Anne merebahkan badan nya pada kasur dingin dan lembut. Tatapan nya lurus ke depan, menatap langit langit kamar. Bak pemandangan yang setiap hari menjadi tontonan. Beberapa kali menghela nafas, “Kenapa ya, cari kerja susah banget. Syarat nya harus ini, harus itu, sekalian pengalaman jadi presiden. Malu kalo sampai bulan depan gak dapet kerja terus nih.” Anne seolah teringat sesuatu. Anne mengeluarkan handphone yang ada di saku celana nya, jari telunjuk cepat mengetik seseorang yang sudah lama ingin dia tanya.
“Halo! Lo apa kabar? tadi gue liat story Instagram lo, hahaha keren banget. Kira kira boleh info loker gak? gue baru pulang interview nih tapi gue merasa skeptis banget sama kerjaan ini.” Anne terdiam sebentar mencerna jawaban. “ Okay kalo gitu! gue tunggu ya.” Anne menutup telpon itu dengan cepat. “Aneh juga ya, tapi gak apa apa deh.”
Makan malam tiba. Sejujurnya ini adalah waktu yang Anne benci. Sejujurnya Anne tidak suka jika berkumpul karena Ayah sering sekali membandingkan Anne dengan kakak nya, Aiden dan Ailee. Tak ada lagi semangat dan harapan jika waktu itu sudah tiba. Namun bagaimanapun selama Anne ada di rumah, dia harus wajib untuk ikut makan malam bersama.
Anne membantu Ibu menyiapkan makanan di meja sambil berbincang kecil. Hanya Ibu yang selalu membela Anne dikala makan malam. Apakah semenakutkan itu? jawaban nya iya. Harus menghadapi dua orang paling dominan di rumah, tak ada ruang untuk didengarkan, rasanya menyedihkan. Sebagai anak bungsu, Anne hanya harus patuh dengan arahan semua orang.
Ayah duduk di kursi biasa. Semua orang sudah berkumpul. Ada Ibu, Ayah, Anne, kak Aidan dan kak Ailee. Semua duduk di tempat masing masing dengan muka yang lelah dan beban masing - masing, namun tak usah khawatir mereka pintar menyembunyikan nya.
“Wah Ibu masak nya enak sekali hari ini. Dalam rangka apa Ibu?.” Tanya Ailee sambil menyentong nasi dan lauk yang tersedia.
“Dalam rangka tante Mirna berkunjung. Jadi Ibu memasak lumayan banyak hari ini, Tapi Ibu gak khawatir karena pasti habis sama kalian.” Ucap Ibu sambil terkekeh kecil.
“Tante Mirna itu yang anak nya satu sekolah sama Anne ya, Bu?.” Tanya Aidan dengan mulut penuh makanan.
Ibu mengangguk kecil. “Iya, itu yang temanan dari TK juga, Masih ingat kan, Nak?.” Tanya Ibu pada Anne yang sedang melamun.
Aidan menyenggol Anne yang tidak menyadari Ibu sedang berbicara dengan nya. “Oh iya, Bu! Anne masih ingat.” Jawab Anne cepat.
Ayah memperhatikan tingkah Anne yang tidak biasa malam ini. “Kamu kenapa Anne? bagaimana wawancara hari ini?.” Tanya Ayah.
Semua mata mengarah pada Anne. “Gak kenapa kenapa Ayah. Gak enak badan aja mungkin, Oh iya wawancara nya lancar kok. Hasil nya nanti di email.”
Ibu menatap Ayah seolah tahu. “Nanti ke ruang kerja Ayah ya Nak, sudah lama kita gak ngobrol.” Tutup Ayah, semua orang hanya terdiam melihat ke piring masing-masing seolah tahu jika itu adalah sebuah peringatan. Ruang kerja Ayah, tempat paling menakutkan kedua di rumah.
Anne mengangguk mengiyakan. “Besok tante Mirna mau ke rumah lagi, katanya bosan di rumah sendiri terus. Pagi-pagi harus sudah bangun dan antar Ibu ke pasar ya.” Ucap Ibu.
Semua orang gelisah, besok kan hari Minggu semua orang pasti punya acara masing-masing. “Ailee besok mau ke bengkel Bu, sudah janji sama Zidan.”
“Aidan? kamu bisa kan antar Ibu ke pasar besok?” Aidan tak berani menatap Ibu.
“Aidan malam ini mau nginap di rumah teman Bu, Besok acara pernikahan nya.”
Ibu menghela nafas panjang mendengar semua alasan anak nya. Mata Ibu melirik pada Anne, satu satu nya yang tidak bersuara. “Anne? bisa kan?.” tanya Ibu pelan-pelan.
Anne membuang nafas panjang. Selalu saja nasib nya begini, menjadi tumbal kakak-kakak nya. “Iya Bu, besok Anne antar.” Jawab Anne pasrah.
Ibu tersenyum kecil. Lalu ayah berdiri dari meja makan, “Ayah sudah selesai makan. Dihabiskan makanan nya ya. Anne jangan lupa tadi kata Ayah.” Ucap Ayah sambil berlalu.
Anne cemberut. Karena besok pagi sebenarnya dia mau sengaja bangun siang, mau marathon drama Korea kesukaan nya. Tapi mau bagaimana lagi.
“Kalian kok kalo disuruh Ibu selalu ada aja alasan nya. Setiap minggu kan Anne selalu anterin Ibu ke pasar.”
Ailee berdiri dari duduk nya, menyimpan piring kotor. “Makanya kamu segera dapat kerja Dek.”
Anne makin cemberut. Itu topik paling menyebalkan. “Hahaha. Ailee, kamu jangan begitu. Lagian, Anne, berbakti ke orang tua tuh baik tahu.” Ucap Aidan meledek.
“Ih nyebelin.” Anne melipat tangan. Kesal karena kakak nya selalu saja memperlakukan diri nya begitu.
“Udah sana ke ruang kerja Ayah. Nanti kalo Ayah udah tidur, besok kena marah loh.” Ucap Ailee mengingatkan.
---
Anne mengetuk pintu di depan nya. Dengan penuh keberanian dan harapan kali ini Ayah tidak menuntut apapun. Ayah tipikal yang keras dalam mendidik anak anak nya. Ayah punya prinsip yang kuat dalam menanamkan nilai kehidupan ke anak anak nya. Anne tidak menganggap serius, namun diantara kakak nya Anne paling berbeda. Anne satu satu nya anak yang harus selalu dibimbing dan diarahkan oleh Ayah. Anne merasa malu akan hal itu.
“Anne? sini masuk Nak.” Titah ayah dalam ruangan.
Suasana canggung. Ayah dan Anne jarang bercengkrama dan jarang bercanda berbeda dengan Aidan. “Ayah, ada apa?.” Anne duduk di sofa kecil dekat tumpukan buku. Tempat yang dulu selalu Anne duduki saat melihat ayah kerja.
Ayah duduk di sebelah Anne. Menatap Anne dengan sendu dan penuh harap.
Jantung Anne berdegup kencang. Rasa ini mengingatkan diri nya saat pertama kali hendak bimbingan skripsi. Tidak bahkan mungkin ini lebih buruk.
“Lihat ini, Anne kecil yang menang kontes membaca puisi karangan nya sendiri. Juara pertama di sekolah. Kamu masih ingat?” Ayah menunjukan sebuah album usang. Anne mendekat dan melihat foto itu dengan lamat lamat.
“Foto ini, saat kamu lomba menulis pendek. Juara berapa ya kamu waktu itu?-”
“Juara tiga.” Anne menjawab.
Ayah tersenyum simpul. “Ini foto Kak Aidan saat kelulusan di Bandung, lucu foto wisuda nya di toko dia sendiri.” Ayah membuka tiap lembaran-lembaran foto penuh kenangan.
“Ini Kak Ailee, anak pertama Ayah yang mengikuti jejak Ayah di Hukum.”
Anne menunduk tak tahu alasan Ayah menyuruh datang hanya untuk membandingkan diri nya sendiri dengan Kakak Kakak nya.
“Ayah nyuruh Anne kesini mau nunjukin ini aja? Anne kan belum bisa mencapai apa apa.” Ucap Anne.
Tangan Ayah terhenti saat membuka lembaran baru. “Anne, kamu sudah dewasa. Bukan 17 tahun seperti di foto ini.”
“Iya Anne tahu Ayah, Anne cuman belum dapat kerjaan kok.” Anne merendah.
“Ayah menyuruhmu untuk datang ke ruang kerja Ayah karena ada obrolan yang Ayah rencanakan untuk mu. Tidak hanya untuk kamu saja, Kak Ailee, Kak Aidan juga pernah. Sekarang kamu saat nya.”
“Apa? Ayah menyuruh Anne untuk s2 saja? biar Anne gak kelihatan nganggur?”
Ayah menggenggam tangan Anne. “Nak, hidup lah seperti yang kamu mau. Apa yang kamu suka jalani hal itu, pekerjaan yang kamu suka, jalani hal itu. Maaf selama ini ayah menuntut kamu untuk sesuai dengan apa yang Ayah mau.” Mereka terdiam sejenak.
“Coba kita lihat foto ini, foto kamu menang lomba puisi buatan kamu sendiri. Kamu hebat bisa menyihir semua orang untuk mendengar mu. Mengajak semua orang yang dengar ceritamu terlarut. Kamu gak sadar akan hal itu Nak?.” Semua lengang. Anne seolah tersadar setelah sekian lama. “Mungkin jurusan yang kamu ambil sekarang gak sepenuh nya kamu suka. Atau memang gak sesuai sama kemampuan kamu. Tapi bukan berarti akhir dari semua nya, kamu masih bisa banting stir untuk cari jalan keluar nya.”
Anne mulai berkaca kaca. Tak pernah dalam seumur hidup nya Ayah memberi nasihat yang membuat dirinya seolah kembali. “Kamu berbakat menjadi penulis, jika kamu mau coba hal itu. Atau apapun hal lain, mungkin kembali menghidupkan mimpi kecil kamu.” Ayah menunjukan secarik kertas lusuh dari kantung celananya. Berisikan tulisan Ailee, Aidan dan Anne tentang cita cita nya. Ailee sesuai, menjadi pengacara hebat, begitu juga Aidan sukses dengan bisnis nya, dan Anne, menjadi seorang penulis. Anne bahkan lupa dirinya pernah menulis itu.
“Tapi zaman sekarang jadi penulis, ngapain? gak bisa dapat uang banyak.” Ucap Anne.
“Cita-cita itu bukan hanya tentang materi yang kita dapat Nak. Tapi bagaimana kita jatuh cinta sama semua proses nya. Bahkan walaupun menghadapi kegagalan, kita masih punya tenaga untuk melanjutkan nya. Dengar Anne, ini perintah Ayah untuk terakhir kali nya. Coba ikuti passion kamu, coba untuk memulai hal ini.”
Anne menatap lekat Ayah. “Tapi kata Ayah, kerjaan kita harus sesuai sama jurusan kita, harus-”
Ayah memotong. “Tapi jika memang itu bukan jalanmu mau bagaimana? Ayah tahu, kamu kebingungan. Walaupun Ayah memberikan arahan, tapi kalo memang bukan jalan itu yang kamu suka bagaimana? Untuk terakhir kali nya coba dengar Ayah. Cari pekerjaan yang memang sesuai dengan kesukaan kamu, Ayah tunggu.”
Anne tersenyum kecil. Memeluk Ayah dengan erat. “Iya Ayah, Anne akan usahakan.”
—
Minggu pagi yang tidak begitu cerah. Anne dan Ibu baru sampai di rumah setelah menempuh perjalanan dari Pasar. Anne membantu Ibu merapikan semua belanjaan tadi, suasana rumah sepi. Semua orang berkegiatan di luar rumah kecuali Anne dan Ibu.
“Tolong masukan buah nya ke kulkas dulu ya Nak.” Titah Ibu pada Anne.
Anne membuka kulkas dan menyimpan buah itu sesuai dengan perintah Ibu. Tiba tiba Anne melamun, mengingat perbincangan nya kemarin dengan Ayah. Ternyata Ayah berubah, sudah tidak merintah sesuai mau dia. Tidak, maksudnya Ayah mengarahkan namun lebih ke memaksa kita untuk melakukan hal itu. Malam kemarin seolah Anne melihat sosok yang begitu lembut dan penuh kasih sayang. Anne masih tidak menyangka jika Ayah masih menyimpan semua hal itu.
“Anne kenapa melamun.” Tanya Ibu yang cukup membuat Anne terkejut.
“Engga Bu,”
“Nanti kalo tante Mirna ngajak kamu join teater nya dia, bilang mau ya?.”
Anne terkejut. “Hah? Ibu bilang apa sama tante Mirna? tiba-tiba banget.” Anne protes.
“Ini kesempatan Nak, buat ketemu orang baru, buat coba hal baru, kamu juga katanya bisa terlibat dalam pembuatan naskah nya.” Ucap Ibu.
Anne masih tidak mengerti. “Tapi Anne ga bisa akting Bu, kalo nulis naskah bisa saja. Tapi akting? yang benar aja Bu!.”
“Kita bantu tante Mirna ya, setelah suami nya meninggal yang dia lakukan hanya fokus sama komunitas teater nya saja. Belum lagi anak nya yang gak pulang pulang dari Sydney. Kalo Ibu masih muda, mau deh bergabung dan tampil di teater nya.”
“Iya tapi kenapa harus Anne sih, kan masih ada yang lain.”
“Kan kamu masih senggang Nak, sembari cari pekerjaan kan bisa coba ikut.”
Anne membuang nafas, bahasan nya selalu sama. “Yaudah kalo itu mau Ibu. Anne mau ke kamar dulu.”
–
Hari pertama Anne kumpul bersama tante Mirna dan para kru yang terlibat. Anne canggung untuk berkenalan dengan orang orang disana. Tak ada yang dia kenal kecuali tante Mirna.
“Anne! sudah lama menunggu?.” Sapa tante Mirna.
“Hai tante, lumayan, tapi gak apa apa tante kelihatannya seru.” Ucap Anne basa basi.
“Siapa saja tante pemeran nya?.” Tanya Anne.
“Ada dua orang lagi gitu ya? itu baru pemain inti belum sama pemain cadangan. Eh itu dia datang, bentar ya Nak.” Tante Mirna meninggalkan Anne dan menghampiri sosok laki-laki jangkung berkacamata yang nampak tak asing.
“Ini Athalariq Mahendra, ayo saling kenalan.”
Mata Anne membelalak. “Athala? lo ikut teater juga?” Ucap Anne.
“Oh jadi kalian sudah kenal ya. Bagus kalau begitu. Tante kesana dulu ya.”
Athalariq mendekat. “Hai Anne, udah lama ga ketemu. Iya nih, gue lihat audisi nya kemarin di TikTok eh malah dapet.” Jawab Athala.
“Soal telpon lo kemarin belum sempat gue jawab ya,”
“Ah yang nanya kerjaan itu? iya gak apa apa.”
“Gue kesana buat wawancara juga, tapi gue ditolak. Jadinya gue decide buat join teater aja.”
Anne hanya mengangguk. Ternyata ada orang yang sama seperti dia.
“Lo masih ingat sama Langit? anak nya tante Mirna? katanya dia bakal join teater ini.”
“Oh, Langit. Masih inget kok, tapi kenapa lo tahu?”
Mereka berdua berjalan menuju kursi dan duduk bersebelahan. “Waktu itu tante Mirna cerita, kalo teater ini bakal jadi pertunjukan dia yang terakhir dan dia mau anak nya buat join.”
Anne dan Athalariq berbincang. Semua sibuk, namun dunia mereka seolah berputar hanya untuk berdua. Membicarakan masa masa sekolah, masa masa sulit setelah lulus kuliah. Rasanya seperti Anne ada dalam masa yang baru dalam hidup nya. Sebuah perasaan dan juga semangat yang baru. Anne tidak pernah menyangka apa yang Ayah nya bilang malam itu bisa memberikan dampak yang berbeda pada diri nya sendiri.
“Hai Anne,” Ucap seseorang. Anne membalikan badan.
“Langit?! apa kabar!” Anne cukup antusias. Athala dan Langit saling berjabat tangan.
“Ini ada reuni sma apa bagaimana? tiba tiba semua ngumpul disini.” Ucap Langit sambil terkekeh.
“Kan lo bagian gak pernah ikut reuni. hahaha” Timpal Athala
“hahaha. Gue bener bener baru balik, itupun di paksa nyokap.” Ucap Langit pelan pelan agar tak terdengar tante Mirna.
“Kalian sudah dapat peran nya?” tanya Anne.
Mereka berdua menggeleng. “Kan naskah nya belum rampung. Iya kan Bu script writer?” Ucap Langit mengarah pada Anne.
“Eh? nggak tahu, kok jadi gue.” Anne menyangkal.
“Kalo dilihat dari potensi sih, pasti Anne yang jadi penulis naskah nya.” Ucap Athala.
Tak terasa mereka sudah terlalu lama berbincang sehingga harus di ingatkan oleh kru lainya untuk berkumpul. Ada pengumuman dari tante Mirna.
“Halo Ibuku sayang.” Langit menyapa tante Mirna sambil memberikan sedikit kecupan.
Semua kru dan pemain inti yang kurang lebih 12 orang berkumpul. Duduk di lantai tak beralaskan apapun. Ini merupakan ruangan khusus latihan yang tante Mirna punya di halaman rumah nya. Tak terlalu besar namun cukup untuk latihan, dilengkapi dengan fasilitas AC, kamar mandi dan kamar ganti pemain. Ada sound besar yang digunakan untuk latihan suara, banyak foto foto terpajang yang menunjukan perjalanan karir tante Mirna. Mungkin sekarang Anne mengerti kenapa Ayah menyuruh Anne untuk mengejar sesuatu yang dia suka.
“Tante Mirna itu keren, gue gak pernah kelewat nonton semua pertunjukan dia. 2 diantaranya sudah masuk bioskop.” Athala berbisik, seolah tahu jika Anne sedang terkagum dengan pencapaian tante Mirna.
“Gue cuman tahu senandung langit abu, yang diperanin sama Nicholas Saputra.” Bisik Anne pada Athala.
“hahaha iya lah itu paling terkenal, coba deh lo nonton mari kita bertemu lagi, itu sedih banget. Bahkan katanya, itu cerita nyata perjalanan kisah cinta tante Mirna bersama mendiang suami nya.”
Anne mengambil hp miliknya dan mencatat judul yang dikatakan Athala barusan.
Fokus mereka kembali kepada tante Mirna di depan. Memberikan arahan mengenai teater, latihan latihan, dan hal teknis lain nya. Namun yang paling penting adalah naskah dari teater itu sendiri. Tante Mirna menawarkan Anne untuk mengerjakan naskah yang hampir rampung itu. Anne tidak keberatan, maka sebelum naskah itu selesai latihan akan ditunda dan digunakan untuk menyelesaikan naskah terlebih dahulu.
“Anne, naskah ini tante kerjakan bersama mendiang suami tante 2 tahun yang lalu. Tante merasa kesulitan untuk menyelesaikan nya, jadi bantu tante ya? karena rasanya seperti dihantui rasa rindu yang mendalam setiap tante menulis naskah ini.”
Anne meraih tangan tante Mirna memberi semangat.
“Iya tante, Anne akan berusaha menyelesaikan nya. Tante gak usah khawatir. “
Tante Mirna tersenyum lega. “Pulang dianterin Langit ya, gak usah menolak. Dia udah nunggu di depan.” Tanpa ada perlawanan Anne hanya tersenyum kecil dan pamitan.
Anne berjalan menuju pekarangan rumah dan terlihat nya mobil sedan hitam sudah siap untuk mengantar nya pulang. Anne mengetuk jendela untuk memastikan, dengan cepat Langit membuka dan menyuruh Anne untuk segara masuk karena langit sudah mendung.
Anne duduk di kemudi depan dan memasang sabuk pengaman. Rasa yang begitu canggung karena ini pertama kali nya bagi Anne terlibat dalam kondisi seperti ini. 15 menit pertama tak ada obrolan apapun selain deru mesin mobil dan radio. Sesekali Anne melihat ke jendela, menatap orang orang dari dalam mobil. Langit hanya fokus berkemudi dan sesekali melirik Anne. bingung topik apa yang mau dibahas.
“Anne gimana masih sama dia?.” Tiba tiba Langit bersuara dengan topik yang sangat dia benci.
Anne lama tidak menjawab. “Udah putus dari lama.” Jawab Anne singkat.
Langit melirik Anne, “Katanya dia selingkuh. Sama yang namanya Clara ya?”
Anne melotot, kenapa Langit bisa tahu. “Kok Lo tahu?, update banget sama gosip orang.”
Langit hanya tersenyum simpul. “Dia kan mantan Gue, selama gue di Sydney jadi kita LDR.” Ucap Langit dengan santai.
“Seriusan lo?” Anne menutup mulut tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Hahaha. Emang bisa se sempit itu ya dunia kalo bekerja. Gue tahu dia pacar lo saat gue stalk Instagram lo. Gue ga berani kasih tahu, karena akan ada waktunya juga buat lo tahu.”
Anne terdiam. “Udah lah, males bahas itu.” Anne tak tertarik pada topik itu. Namun entah bagaimana semua ini bisa saling berhubungan. Anne tidak pernah menyangka akan seperti ini.
Sepanjang jalan Anne dan Langit tak membahas apapun. Anne hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Garis interaksi yang Tuhan berikan sekarang seolah membawa Anne ke tempat yang lebih jauh. Tak menyangka ini adalah awal dari semua perubahan dari hidup nya. Seolah Tuhan sudah mempersiapkan narasi terbaik untuk mempertemukan Anne dan Langit. Satu pinta nya, semoga garis interaksi ini tidak membawanya kepada hal yang buruk namun justru membimbingnya kepada hal yang baik.