Part 3. Gerak Lurus Berubah Haluan
Siang ini, Sheina baru keluar dari kelas bersama Lando dan Rima, mereka berjalan beriringan menuju ke parkiran. Rima menyapa orang-orang yang dikenalnya dengan ceria, berbeda dengan Sheina yang kenal beberapa orang saja—lumayan akrab— Rima ini mampu menyapa dengan ceria meskipun baru satu kali ngobrol atau sekadar saling tahu nama. Berkat bocah satu itu juga Sheina mendapat beberapa teman selain Lando.
"Gue pulang duluan ya, cowok gue udah nungguin di gerbang katanya. Gue harus lari ini!" ucap Rima menggebu-gebu, dia menepuk pelan pundak kedua temannya perlahan. Dan mulai berlari seraya melambaikan tangan.
Ingin tahu hal yang lucu? Alasan Sheina bisa berteman dengan Rima adalah karena Lando. Lando merupakan teman dekat Sheina sejak kelas lima SD, saat itu Lando baru pindah ke sekolah yang sama dengan Sheina kemudian mereka berteman dekat. Karena kedekatan itu pulalah mereka bisa berteman hingga sekarang. Itu merupakan asal-usul Sheina bisa berteman dengan Lando. Lumayan klise bukan?
Namun saat Sheina bisa berteman dengan Rima, itu cukup unik. Rima menyukai Lando saat kelas sepuluh, karena itu pula Rima mencoba dekat dengan Lando melalui Sheina. Gadis bernama lengkap Aurima itu menjadikan Sheina sebagai perantara. Jika diingat-ingat lagi, cara Rima benar-benar sialan, untungnya sekarang mereka berteman dengan baik dan tulus.
Namun, tepat setelah kurang dari satu tahun menjadi cegil Lando, Rima menyerah. Tahu karena apa? Selain hidupnya lempeng, Lando juga enggak peka-peka saat diberi kode-kode gila oleh Rima yang waktu itu terlihat sekali ugal-ugalannya. Dia itu benar-benar definisi dari kanebo kering yang sesungguhnya.
Untungnya, saat awal masuk kelas sebelas, Rima berhasil menggaet cowok dari sekolah sebelah yang kata dia sih most wanted-nya. Kalau Sheina lihat-lihat, cowok Rima itu bahkan lebih ganteng dari Lando, tinggi, putih, berlesung pipi. Jadi tidak heran mengapa Rima dapat move on secepat itu.
"Mau ikut gue beli gado-gado nggak?"
Sheina tersentak, dia melamun cukup lama dan serius rupanya, sampai tidak sadar jika kini sudah berada di parkiran bersama Lando yang menatapnya heran.
"Mau ikut?" tanya Lando lagi. "Lo nggak bawa sepeda kan hari ini?"
"Oh, enggak." Sheina menggelengkan kepalanya dengan cepat.
Lando mengangguk berkali-kali, dia mengeluarkan kontak motornya sebelum menancapkannya ke dalam lubang kunci, kemudian menarik mundur motor miliknya yang masih terhimpit beberapa motor lain. Sheina memperhatikan dalam diam, wajahnya terlihat kebingungan sekali. Tadi Lando ngajak dia ngapain, ya? Sheina lupa.
"Ayo naik."
Setelahnya, motor Lando melaju membelah jalanan siang itu yang lumayan dipadati kendaraan. Mungkin karena besoknya akhir pekan jadi masih siang saja kendaraan sudah memadati jalan.
Sheina yang asik diam saja mendadak memukul pundak Lando pelan saat menyadari jika Lando tidak membawanya ke arah rumahnya, malah dengan santai menancap gas menambah kecepatan.
"Kenapa, sih?" tanya Lando heran, dia menaikkan kaca helmnya karena Sheina mulai rese di belakang.
"Katanya mau anterin pulang?"
"Kapan gue ngomong gitu?" Tentu saja Lando mengernyit, ia tidak ada mengatakan kalimat yang menyatakan bahwa ia akan mengantar Sheina pulang.
"Terus tadi lo ngomong apaan?" Berarti tadi ia salah sangka dong? Soalnya sok tahu saja, Sheina tidak kepikiran hal lain saat Lando menyuruhnya naik ke atas motor. Memang apalagi jika bukan untuk mengantarnya pulang?
"Gue ngajak lo makan gado-gado, nggak denger apa?" balas Lando dengan nada lempeng tapi Sheina mampu menangkap kekesalan di sana.
"Hah? Iyakah?"
"Iya."
Lando memarkirkan motornya di samping gerobak penjual gado-gado, Sheina sendiri buru-buru turun karena Lando mulai menyetandarkan motornya tanpa menunggu ia turun terlebih dahulu, jadi Sheina inisiatif.
Mata Sheina mengedar ke arah gerobak penjual gado-gado tersebut, sayuran rebus, mentah, para pembeli yang tengah menikmati gado-gado di pinggir jalan, juga bumbu kacang yang entah kenapa membuat Sheina kepikiran cilok bumbu kacang. Tuhaaan! Sheina se-obses itu sama cilok bumbu kacang, siapa penciptanya, sih?! Dia cuma pengen ngucapin terima kasih karena berkat adanya cilok bumbu kacang, Sheina memiliki makanan kesukaan.
"Bang, beli dua porsi ya, dicampur," ujar Lando menyebutkan pesanannya.
Sementara Sheina sendiri, entah kenapa siang ini dia seperti bocah kehilangan arah. Ngang-ngong mulu, dikit-dikit melamun, dikit-dikit bengong. Lando saja sampai geleng-geleng kepala saat mengajak Sheina untuk duduk namun, gadis itu malah tersentak.
"Lo kenapa Shei?" Lando membongkar isi tasnya, Sheina tebak Lando akan mengeluarkan kitab-kitab mujarab yang isinya rumus segudang akibat catatan latihan soal.
"Nggak papa, sih." Sheina terdiam, ada kata yang tertahan di ujung lidahnya. "Lan ...," ujar Sheina yang terdiam lagi.
Lando mengangkat kepala, dia terlihat semakin kebingungan menatap Sheina. Lalu memilih menyimpan bukunya yang belum keluar dari tas untuk tetap tersimpan di dalamnya.
Embusan napas Sheina terdengar. "Lo waktu belajar fisika pernah capek nggak, sih? Maksud gue, bukan capek secara fisik. Tapi ... mental."
Lando mengangguk dengan yakin.
"Tapi kata orang-orang, kalo lo udah suka sama sesuatu, lo nggak bakal pernah ngerasa capek sama hal itu. Karena lo suka, jadinya lo bakal terus jalanin."
"Terus jalanin kan enggak mungkin terus-menerus jalan Shei, pasti terkadang ada saat-saat di mana kita beristirahat terlebih dahulu," balas Lando, dia menumpuk tangannya di atas meja.
Sheina nampak merenung, Lando tidak tahu apa alasan di balik Sheina menanyakan hal itu. Tapi Lando tebak, Sheina mulai merasakan lelah akibat belajar fisika. Sheina sekali.
"Gue kan udah belajar fisika tuh, sama lo, belajar sendiri, nonton di YouTube. Tapi sumpah Lan, cuma materi gampang-gampang yang masuk ... materi yang kata lo paling dasar aja gue nggak paham-paham sampe sekarang," keluh Sheina yang wajahnya berubah sangat nelangsa.
"Perlahan aja kali, semuanya butuh proses. Gue juga nggak sekali belajar fisika langsung paham. Kalo gitu caranya, gue udah dapet emas kemarin." Lando ganti bersedekap dada, menatap Sheina dengan senyuman tipis. Mata kecilnya saat tersenyum terlihat lucu sekali dari balik kacamata yang digunakannya.
"Terus gue harus gimana dulu dong?" tanya Sheina yang kini cemberut, Lando tersenyum itu baginya merupakan sebuah ejekan. Jadi Sheina tidak suka Lando tersenyum.
"Belajar lagi, belajar fisika lagi mau?"
"Sekarang?!"
"Ya enggaklah! Gue masih pengen makan gado-gado." Bertepatan dengan itu, gado-gado pesanan mereka tiba.
Mendadak mata Sheina melotot melihat salah satu jenis sayur yang tidak disukainya tersaji di sana. "Tadi lo pesenin gue lupa jangan pake tauge, ya?"
"Hah? Eh, iya lupa." Lando menarik piring Sheina mendekat untuk mengamatinya lebih dekat, ternyata tauge benar-benar ada di sana. "Tapi lo enggak alergi tauge, kan? Coba dulu, tauge jadi variasi terenak buat gado-gado."
Kernyitan tidak suka tergambar di wajah Sheina, maka dengan gerakan cepat Sheina memindahkan tauge dari piringnya ke piring Lando. Demi apapun ia tidak suka tauge! Rasanya ering pahit-pahit gitu, loh!
Lando terkekeh pelan, memilih membantu Sheina memindahkan kumpulan taugenya. "Maaf ya, gue tadi beneran lupa minta jangan pake tauge."
Dan Sheina memilih mengangguk saja, tidak masalah. Ia punya vacun cleaner—alias Lando.
Setelah itu mereka terdiam mengaduk gado-gado masing-masing. Senyuman miring Lando terbit saat melihat Sheina mulai menyuapkan suapan gado-gado pertama ke mulutnya.
"Lo mau cobain punya gue enggak?"
"Nggak mau, ada taugenya!"
"Cobain dulu, aaaa?" Lando menyodorkan satu sendok penuh gado-gado yang bagian paling dalamnya itu tauge. Dia mengerjai Sheina. "Enak, 'kan?"
Sebelum menjawab, Sheina mengunyah gado-gado di dalam mulutnya dengan khidmat. Mengapa terasa ada yang berbeda, ya? "Kok kayak aneh, sih? Ini ada krauk-krauknya gitu, enak."
Dan detik itu, Lando tertawa kencang. Mengerjai Sheina merupakan salah satu alasannya tertawa. Tidak peduli dikatain kulkas berjalan, kanebo kering, atau apalah itu, Lando juga masih bisa tertawa.
"Itu tauge tau, Shei. Gimana? Enak, 'kan?"
Mata bulat Sheina membesar, dia terkejut namun tidak luput pula memberi anggukan semangat. "Sejak kapan tauge jadi seenak ini? Perasaan terakhir kali makan, rasanya masih kayak pare."
"Itu tandanya lo udah dewasa Shei, katanya semakin dewasa seseorang, semakin enggak pilih-pilih makanan. Jadi semua-muanya kerasa enak."
"Ngaco, ah! Emak gue aja dari kecil sampe sekarang masih enggak suka timun, tuh." Sheina mengambil alih beberapa tauga yang ada di piring Lando tanoa sungkan, pokoknya tadi kerasa enak jadi Sheina ingin mencobanya lagi.
"Jangan semua dong Shei, taugenya." Lando terkekeh seraya mengambil alih tauge yang Sheina ambil banyak-banyak.
"Lo yang racunin, tanggung jawab dong!" balas Sheina sewot.
Pada akhirnya, mereka malah meributkan tauge yang katanya terasa lebih enak. Bahkan penjual gado-gadonya pun sampai menambahkan ekstra tauge karena pertengkaran mereka terdengar hingga ke penjualnya. Ternyata, selain sering meracuni Sheina dengan rumus-rumus fisika, Lando juga berhasil meracuni Sheina bahwa tauge itu enak.
Saat hendak pulang ke rumah mereka, Lando tiba-tiba berceletuk. "Kalo lo masih pusing soal fisika, lo boleh istirahat dulu buat weekend ini. Atau kalau pusing ngerjain soalnya, coba baca-baca dulu materi Gerak Lurus Berubah Beraturan, nanti gue kirim e-booknya."
Sheina bergidik membayangkan itu, kenapa ucapan Lando saat berhubungan dengan fisika itu sangat menyeramkan, sih? Aura-aura maghribnya sangat kentara. Horor sekali.
Lalu, apa kalian pikir Sheina melakukan perintah Lando? Tentu saja tidak. Karena pada hari Seninnya, Sheina cepat-cepat keluar dari kelas untuk mengikuti kelas tambahan yang baru ia masuki. Lebih tepatnya dalam ajang menghindari Lando.
Sheina mengikuti kelas tambahan biologi yang diadakan siang ini, tadi ia mendengar dari teman kelasnya—Hayati— yang katanya guru biologi mereka akan mengadakan kelas tambahan mulai hari ini dan minggu depan. Hal itu tentu saja seperti angin segar untuk Sheina yang lelah dengan bidang fisika. Biologi masih satu rumpun dengan fisika, sama-sama bidang sains, sama-sama bidang ilmu pengetahuan alam pula.
Setelah semalaman bertapa, mencari jawaban atas keresahan hatinya—antara meneruskan fisika atau berhenti saja— akhirnya Sheina memilih berubah haluan, menjadi anak biologi seperti Hayati. Ia serius akan mendalami bidang ini sekarang.
Sheina duduk dengan tenang menyimak perhatian guru biologi perempuannya di sana, mereka tengah belajar menggunakan sebuah mikroskop cahaya. Sheina yang baru pertama kalinya tentu saja gugup, bagaimana jika ia tidak dapat melihat jelas objeknya nanti? Bagaimana jika ia tidak bisa memantulkan cahaya dengan benar? Harusnya Lando mengajarkan materi fisika yang berhubungan dengan itu sebelum Sheina kemari.
"Kalian ambil satu sampel ya, kemudian amati dengan benar. Jangan lupa atur mikroskopnya sesuai dengan yang ibu tentukan. Pake mikroskopnya mohon bergiliran, yang tertib ya anak-anak."
Ya ampun, sumpah saat ini Sheina gemetaran sekali. Ia memperhatikan Hayati yang mulai mengawasi sample dan memutar-mutar mikrometer untuk menyesuaikan apa yang dimaksud guru mereka.
"Shei, tolong fotoin dong." Hayati mulai bergeser dari tempatnya tadi, ia menegakkan tubuhnya.
Sheina yang tengah gugup itu malah memotret Hayati, bukannya sampel yang sudah terlihat di sana.
"Lo moto apaan anjir? Bukan gue, tapi sample-nya," ujar Hayati seraya tertawa kencang.
"Eh? Maaf, Yatt. Ininya ambil?" tanya Sheina menunjuk sampel yang masih tercapit di meja kerja, takut membuat kesalahan lagi.
"Fotoin lewat lensanya, Shei," ujar Hayati seraya menunjuk lensa okuler yang terletak paling dekat dengan matanya saat mengawasi sample tadi.
Sheina buru-buru mengarahkan kamera ke lensa okuler, mulutnya membulat saat objek yang diamati Hayati ternyata berubah jadi se-ngezoom ini. Mungkin saat kulit wajahnya jadi sample, pori-pori Sheina akan terlihat besar alih-alih glowing.
"Udah, nih." Sheina mengangsurkan ponselnya pada Hayati. "Giliran gue ya, tolong fotoin gue yang lagi ngamati sample dong, Yat."
"Boleh-boleh."
Sheina mengganti sample milik Hayati tadi, dan menyimpan miliknya di atas meja kerja. Dia pikir akan mudah saja mengamatinya karena Hayati sudah mengatur mikroskop tersebut sebelumnya, tapi ternyata Sheina salah. Saat ia mendekatkan matanya ke lensa okuler, yang ada malah buram.
"Yat, kok burem, ya?" tanya Sheina yang kebingungan, ia memperhatikan guru biologinya yang berkeliling ke tiap muridnya. Mereka paling ujung ngomong-ngomong.
"Lo atur cahayanya dulu, atau naik-turunin mikro-makrometernya," ujar Hayati, dia tentu saja tidak bisa membantu lebih banyak selain dokumentasi.
"Oh, okay." Sheina mulai sibuk mengatur mikroskopnya, seperti yang Hayati lakukan tadi.
Sementara di satu sisi, Lando kelimpungan menghubungi Sheina. Padahal hari Senin merupakan jadwal kosong Lando selain hari Jumat, Senin lalu mereka sepakat untuk belajar fisika rutinan sepulang sekolah, tapi tiba-tiba saja Sheina menghilang ditelan bumi setelah berdoa selesai. Tadi Lando cuma menunduk untuk menyimpan buku ke dalam tasnya, dan Sheina lenyap.
Saat mendapati balasan pesan dari Sheina, tentu saja Lando mendengus. Dia pikir Sheina akan serius dengan bidang fisika, ternyata tidak.
Lando masih ingat sekali, saat SMP Sheina pernah berjuang mati-matian menggeluti dunia seni lukis, sampai effort membeli cat dan beberapa kanvas. Tapi kemudian Sheina bilang, "Gue mah enggak pinter gambar, jadi ngekukis aja jelek. Bukannya punya aliran realisme, romantisme, natural, malah jadi fauvisme." Dan sejak mengatakan itu, Sheina tidak menyentuh kanvas dan cat lagi jika bukan tugas sekolah.
Mungkin kali ini juga, Sheina tidak akan pernah kembali ke bidang fisika. Padahal semangatnya di awal bagus sekali, Lando menyayangkan. Jadi hari ini Lando akan belajar fisika sendiri lagi, atau mungkin ia akan menghubungi mentornya. Semoga saja mentornya itu tidak sibuk.
#TBC