Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
MENU
About Us  

***

Yogyakarta, Indonesia.

Pilah-memilah, masuk-keluarkan, maju-mundur pula keputusan Kaur yang tak selesai-selesai mengemasi barang bawaannya selama satu jam terakhir.

Bagaimana dengan satu-dua benang rajut? Oh, tidak-tidak. Mungkin beberapa pensil dan buku sketsa lagi? Siapa yang tahu kapan mereka akan patah dan hilang, kan? Kertas origami satu pack sepertinya juga butuh? Dan tambahan lotion? Satu botol antiseptik lain? Sisir cetarku jangan lupa!

Kaur mengusap dagu penuh bimbang—memerah otak begitu keras, sampai-sampai selapis keringat dingin terbentuk di dahi mulusnya. Buru-buru ia tap-tap dengan tisu kering, khawatir bila biang keringat bermunculan dan merusak seluruh usahanya merawat diri selama ini.

“Kan tidak mungkin orang lain mengataiku biang keringatan ....” Kaur menarik napas kesal dan mendadak menggeleng kuat—sebab lagi-lagi begitu mudah terdistraksi, cepolan poninya yang mulai memanjang juga ikut bergoyang-goyang persis balon dancer promosi di depan toko. 

Masalahnya, sang Ayah sudah mewanti untuk membawa satu koper saja. Hapal mati kebiasaan Kaur yang menganggap semua barang begitu penting.

Kaur berdecak, memandangi jejeran barang di atas kasur. Dua puluh kaus dengan tingkat saturasi dari tua ke muda dilipat rapi tanpa sehelai kusut, sepuluh celana berbahan serupa di sisi, satu set alat mandi yang sudah ditakar hati-hati isinya agar pas untuk 30 hari ke depan. Terlihat rapi—tetapi tidak cukup baginya. 

Bagaimana dengan totebag manis yang cocok untuk hari cerah? Lalu, apa jadinya kalau tiba-tiba butuh lilin aroma terapi sebagai moodbooster? Pasti di sana stres banget, sih. Masa iya harus ngandelin pengharum ruangan yang jangan-jangan beraroma stella jeruk kolaborasi apek angkot? Bah, yang benar saja!

“Bisa gila aku.” Kaur mendengus. Detik berikutnya, gedoran keras menggetarkan pintu kamar. Sebelum sempat sang Ayah meludahkan berbagai jenis belati dari mulut, Kaur gegas menekan isi koper bergantian dengan lutut dan bokongnya—kendati percuma saja, gespernya tetap tidak mau tertutup.

Meraih gegabah totebag bercorak abstrak favorit yang dilengkapi bordiran bunga kantil di tepi, Kaur memasukkan seluruh barang tak berguna lainnya.

“Halah, peduli amat dengan aturan satu koper. Kalau mendadak mati di sana, setidaknya aku bisa dievakuasi dalam keadaan wangi dan tampan. Tidak seperti ....” bibir Kaur lantas terkatup rapat, tak melanjutkan kalimatnya. Luapan sesak di dada justru membuat tangannya cekatan membersihkan segala kekacauan di muka, alih-alih badai di kepalanya.

“Kaur!”

“Iya, sebentar!”

“Tidak perlu lagi kamu catok rambutmu itu! Jangan bawa seisi rumah!”

“Iya!”

“Jangan iya-iya saja! Keluar kamu! Entah didikan apa yang ibumu itu terapkan sampai kamu jadi manusia lelet dan repetitif seperti ini.”

Brakk!

Hentak pintu kamar terbuka kencang, memaksa ayahnya bungkam seketika. Kaur menjulang di ambang pintu dengan napas putus-putus, keringat mengaliri kembali dahinya, sedang buku-buku jari memutih mencengkram erat pegangan koper. Sorot mata Kaur menghunus dingin, merah-mendidih air mukanya seperti menahan berak tatkala berkata, “Jangan bawa-bawa ibuku.”

Kaur tersinggung. Jelas.

“Ayah pikir aku tidak capek cemas seperti ini? Memperhitungkan segala sesuatunya seperti orang konyol ....” Kaur menarik napas gemetar, melempar pandangan ke arah plafon guna menahan tanggul yang hampir jebol di pelupuknya. Sesaat yang cukup sebelum Kaur meluruskan kepala, sebab melihat seekor cicak nangkring tepat di atasnya. Jujur saja, ia tiba-tiba takut diberaki.

“Kamu memang konyol, Kaur,” tukas sang Ayah menambah tusukan.

Eh, apalah ini? Bukannya seharusnya dia merasa bersalah?

“Apa yang ada di kepalamu? Kamu mau pergi ke asrama dengan penampilan seperti ini?” Ayahnya merujuk pada cepolan anti badai Kaur yang lupa dilepas, mirip tali pocong tanpa kain kafan. Kaur segera sadar dan melepaskan karet di rambutnya, lalu berjalan melewati pria itu tanpa patah kata. Selalu begitu, mengalihkan pembicaraan. Menjengkelkan.

Lincah menuruni anak tangga yang naasnya ganjil. Sehingga Kaur harus berulang-ulang turun-naik agar jumlahnya genap. Barulah ia lega.

***

Di sepanjang mobil membelah lautan kendaraan jalanan Yogyakarta, hanya ada dengung mesin dan hentak geluduk ban tiap kali menghantam permukaan tak rata aspal. Matahari perlahan larut dalam belitan jingga, sementara pepohonan dan bangunan-bangunan berlari mundur dalam kecepatan stabil—persis seperti kesabaran Kaur yang semakin menipis per-detiknya.

Lucunya, masih sempat-sempat Kaur menghitungi jumlah bangunan yang terlewati, atau mengamati bagaimana kaca helm ojol yang melaju bersisian dengan mobil sang Ayah terdengar terkikik sekitar 33 kali ditampar deru angin karena bautnya tak lagi kencang—nyaris lepas. Bah, apalah itu? Ingin sekali aku turun dan melepas kacanya sekalian, batin Kaur mengerang gatal.

Seolah belum cukup memantik rasa gemasnaik ke ubun-ubun, satu motor tepat di sebelah si Ojol dengan muatan roti lapis empat: Ayah, Ibu, dan dua anak perempuan. Si bungsu berkepala mirip Adudu—begitu persepsi Kaur, yang lututnya bertumpu di besi bagasi motor paling depan, terlihat cengengesan ke arahnya. Angka sebelas berwarna kuning-kehijauan bertengger manis di kedua lubang hidung, mulai tercecer diendus angin. 

Kaur mereguk ludah. Rasa pedas di pangkal tenggorokan menjadi bukti jikalau asam lambungnya mendadak naik drastis!

Buru-buru membuang pandangan dan menaikkan kaca jendela mobil. Sejurus kemudian, mulutnya komat-kamit tanpa suara.

Es kopi susu ... es kopi susu dengan tambahan gula ekstra! Agh!

“Kenapa lagi kamu?” teguran ayahnya menyentil habis kegelian Kaur perkara anak tadi. Ia hanya menoleh sekilas pada pria yang masih fokus memegang kemudi itu, lalu menggeleng singkat. Bukan karena takut, melainkan malas. Setiap obrolan selalu berakhir layaknya permainan bola bisbol; ayahnya sebagai pemain, dan Kaur berperan bak bola yang dilempar-pukul hingga memar. 

Bukannya ia tidak ingat bagaimana dulu semua terasa begitu mudah, meski tak benar-benar ingat kapan terakhir kali.

Jauh sebelum kebiasaan saling mendiamkan ini terjadi, Kaur pernah duduk gembira di pundak ayahnya sewaktu kecil. Berceloteh banyak hal selagi mereka bertiga keliling kebun binatang, kemudian ibunya akan menyodorkan dua potong es kado yang sontak jadi bahan rebutan, karena Kaur bersikeras bahwa bagian es yang lebih panjang adalah hak miliknya.

Sekarang? Lupakan. Ia dan ayahnya bahkan tidak bisa duduk bersebelahan lebih dari sepuluh menit tanpa ada yang mendesah jengah atau mengetukkan jari di setir dengan irama pasif-agresif.

Ban mobil meringkik tatkala berbelok tajam ke dalam sebuah lorong sempit yang dipenuhi pepohonan rimbun. Kaur jadi teringat alasan ia telat mengemasi barang-barangnya hari ini. Itu dikarenakan ia sibuk menelusuri informasi mengenai profil juga lokasi kursus yang anehnya tidak ada di gmaps. Mengutak-atik untuk mencari lulusan kursus dan testimoni mereka. Tetap saja, tidak ada petunjuk sama sekali.

Ia skeptis, skeptis dengan sistem kursus dan mengapa ayahnya mau-mau saja percaya pada kegilaan serta ketidakpastian yang disuguhkan.

“Baik-baik di asrama. Akan ada yang jemput setelah kursus selesai, karena Ayah mungkin masih di luar kota,” ujar sang Ayah memecah hening, ketika akhirnya mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar yang tampak terlalu serius untuk disebut “kursus”.

Ayahnya turun lebih dulu, membuka bagasi, lalu mengangkat koper kuning cerah milik Kaur yang dilengkapi ikatan syal bermotif bunga. Tatkala hendak mengambil, mata Kaur sekilas menangkap koper lain di dalam bagasi—hijau lumut, agak bulukan, dengan bekas sobekan di salah satu sisinya.

Ia mendengus.

Peduli amat.

Tanpa banyak basa-basi, ayahnya kembali masuk ke mobil dan pergi begitu saja. Meninggalkan Kaur sendirian di depan gerbang dengan plang besar bertuliskan semboyan kursus.

KURSUS KILAT JADI ORANG DEWASA

“Mewujudkan Generasi Anti Menye-Menye”

Kaur melongo.

Alamak. Kenapa seperti bootcamp militer?

***

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • innda_majid

    Semangat kak Rupa!

    Comment on chapter 00 - Prolog
  • zetamol

    Kaur, kamu bisa buktikan kamu juga bisa jadi dewasa ke ayahmu. Cari bahan cicilan sekarang juga

    Comment on chapter 00 - Prolog
Similar Tags
God, why me?
215      174     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Ikhlas Berbuah Cinta
1252      844     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Diary of Rana
214      182     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
LABIL (Plin-plan)
8024      1650     14     
Romance
Apa arti kata pacaran?
Paint of Pain
1134      749     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Tok! Tok! Magazine!
104      92     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Batas Sunyi
2003      914     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Loveless
7319      3438     609     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Is it Your Diary?
182      148     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Penantian Panjang Gadis Gila
325      245     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.