***
“Jangan jadi laki-laki berpikiran lembek! Ubah mindset-mu! Bisa kamu berbaur dengan orang-orang di luar sana kalau modelanmu saja sudah seperti ini?! Perilaku serba rempongmu itu jugalah yang buat otakmu makin sempit.”
Dua-tiga-empat kali Kaur menelan bulat-bulat makian ayahnya hari ini. Lima-enam-tujuh kiranya tetes keringat mengaliri punggung dalam balutan kaus. Sepuluh sampai seratus kali berulang ia menghitung jumlah bulu kakinya di dalam hati sambil menunduk-nunduk pasrah.
Segala hal kembali dikait-kaitkan. Hanya karena mencoba mengutarakan keinginannya lagi, Kaur harus bersedia meluang untuk melapangkan dada.
Kadang, Kaur berharap lubang telinganya ditumpuki kotoran agar tuli saja sekalian. Tapi, tentu saja mustahil. Sebab Kaur pembersih, rapi, dan serba perfectionist. Sekarang saja, alih-alih langsung peduli terhadap ucapan menusuk sang Ayah, Kaur lebih memilih cemas dengan jumlah polkadot yang ganjil di celana pendek ayahnya.
“Kaur!” Gelegar yang menyentak Kaur. Wajahnya kontan terangkat, sementara tatapan bersitubruk nyalang pada pria paruh baya itu. Kerut samar di pinggir mata, roman muka seperti ingin menelan orang dengan minyak kelapa, juga tukik alis sedikit lebih tajam dari lengkungan lembut miliknya. Kendati begitu, Kaur dapat dikatakan nyaris 70 persen plek-ketiplek ayahnya.
“Ayah sudah daftarkan kamu di Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa—atau apalah sebutannya itu, selagi libur kelulusan. Besok, kemasi barangmu dan pindah ke sana. Jangan kembali sebelum kamu waras! Dan sampai niatmu masuk ke tata busana itu hilang.” Gedebum meja dan mulut Kaur merapal mantra kesabaran.
Nyaris tak pernah diberi kesempatan untuk angkat bicara.
Satu-satunya yang kini mampu ia lakukan adalah mengunyah lambat potongan kue sus terakhir di piring dan mencuri-lirik punggung orang yang menghilang dalam bilik kamar. Jujur saja, Kaur tak ingat kali terakhir ia akrab dengan ayahnya. Mungkin hampir tujuh tahun silam—saat ibunya belum dicuri Tuhan.
“Kursus ...,” gumam Kaur berupaya sadar. Jari-jari putihnya berenang cekatan di layar ponsel, dan sejumlah konten tentang Kursus Kilat yang baru saja disebut ayahnya bermunculan.
30 Hari Jadi Dewasa! Daftarkan Anak Anda Sekarang dan SAKSIKAN PERUBAHANNYA!
Masih Labil dan Tak Punya Tujuan? Kami Akan Mengubahnya dalam Sebulan!
Selamat Tinggal Kekanak-kanakan! 30 Hari Menuju Dewasa Dimulai di Sini!
Orang Dewasa Dibentuk, Bukan Dilahirkan. Buktikan dalam 30 Hari!
“Ih ... apalah ini?” Kaur lantas mengernyit takut, menggigiti ujung kukunya. Sekelebat bayang tentang latihan militer sewaktu awal-awal ia masuk SMA membuat tulangnya terasa rontok. Terlebih dari yang Kaur telusuri, kursus ini memiliki sistem tinggal di asrama selama 30 hari. Ia tak bisa membayangkan sulitnya tidur di sana. Bisa jadi, pulang-pulang ia sudah menjelma orangan sawah.
“Tapi kabur pun mustahil.” Desah tak berdaya Kaur. Dalam kurun tiga tahun terakhir, ia harus terus-terusan menghadapi kehendak sepihak sang Ayah yang tak pernah mempertimbangkan perasaannya. Mulai dari memaksa pindah ke rumah ini saat kuburan ibunya belum kering, sampai perkara OCD dan pilihan jurusan Kaur pun jadi bahan untuk dipermasalahkan. Padahal, bagi Kaur, ayahnya sudah tak lagi berhak mengaturnya sejak menggugat cerai dan meninggalkan mereka tujuh tahun lalu.
Kaur berdiri, mengumpulkan piring bekas makan di atas meja. Tugas se-sederhana menyusun piring pertama, kedua, ketiga, berikut peralatan lain dijadikan penuh perhitungan agar hasilnya presisi dan enak dipandang.
Namun, entah bagaimana, ketika ia berbalik menuju wastafel, ibu jarinya mendadak lemas, alhasil tak kuat menumpu beban piring. Sudut gelas miring, bergeser, Kaur pun ikut-ikutan oleng.
Prangg!
Hancur sudah. Piring, gelas, sendok, garpu—menghantam lantai dengan suara gaduh yang memantul ke seluruh rumah. Kaur menutup telinga sembari berjengit kaget. Beberapa pecah, sisanya terpelanting ke kaki meja.
Rasa-rasanya, jantung Kaur juga lantak bersama piring-piring itu.
Mulai berhitung lagi, sebab tak butuh waktu lama sebelum langkah berat Ayah menyusul di belakang. Tanyakan pada darahnya yang seolah tersedot habis hingga memucat pasi, berbalik pun tak sanggup ia lakukan sekarang. Kekacauan di kaki, dan panas membakar dari tatapan membara di punggung, sudah cukup menjadikannya abu dalam guci kremasi.
Kaur meratap pahit dalam batin.
Oh, demi Prada dan seluruh produknya! Sepertinya memang lebih baik tinggal di asrama saja!
***
Semangat kak Rupa!
Comment on chapter 00 - Prolog