Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah Tanpa Dede
MENU
About Us  

Meski memakai kruk, tapi aku tetap rajin berangkat sekolah. Namun, hari itu ... saat pulang, aku merasakan jenis kesakitan lain.

Aku melihat teman sekelasku---Anisa dijemput ayahnya. Betapa senang menjadi dia, bisa berlari kecil masuk dalam pelukan hangat sang terkasih.

Bahkan balasan yang diterima pun tak kalah manis. Anisa digendong di dada, dicium di puncak kepala dan pipi, lalu dipeluk erat sambil tertawa riang. 

Bohong, jika aku tidak iri ...

Saat motor mereka melaju pelan, aku mengingat pengalaman serupa saat bersama Bapak dulu. Saat dia menggendongku di pundaknya sambil melantunkan janji:

"Dede anak kebanggaan Bapak. Dede anak cerdas. Bapak janji bakal bikin Dede bisa jalan lagi!"

Janji itu ... Apa telah diingkari?

Ingatan setahun lalu yang selalu kugenggam erat. Selalu disimpan dalam hati terdalam. Tidak pernah sedikitpun, aku melupakannya.

Tapi kenapa seperti Bapak yang lupa?

Saat itu, posisiku hanya anak kelas tiga sekolah dasar yang menuntut jawaban atas kebingungan sikap keluarganya.

Atas perubahan drastis dari orang yang selalu ada, tapi mendadak hilang, tanpa kata. 

Jangankan digendong. Sekarang ... suara motornya pun jarang terdengar. Padahal dulu, Bapak selalu menyempatkan diri membawaku berkendara di waktu luang.

Meskipun hanya sekadar mengelilingi kampung tiap sore, tapi itu moment berharga untukku. Bahkan di masa depan motor itu di museumkan di rumah.

Motor tua yang bunyinya sember. Dulu setiap mendengar suaranya di ujung jalan, aku akan melompat-lompat heboh. Tapi kala itu ... tidaklah sama, saat ketidakhadiran Bapak menjadi point utama rasa hampa.

Dede rindu Bapak ...

Jadi sore itu, aku putuskan untuk mencari tahu, tidak pada Mama melainkan yang lain. Karena aku menyadari, jika padanya tidak ada akan hasil yang dipetik. Wanita yang melahirkanku itu lebih sering mengalihkan pembicaraan.

Aku pun tidak melibatkan Teh Syakira, karena takut, dia hanya akan kembali menyalahkanku, yang pada saat itu tidak tahu apapun. Jadi keputusan terakhir, aku berencana menemui A Saga.

Sehabis mandi dan berpakaian rapi, aku meminta izin ke Mama yang sedang melipat baju untuk membantu di warung. Kebetulan sekali, Teh Syakira sedang tidak ada di rumah. Dia pergi menjalani kegiatan pramuka.

Dengan tertatih, menggenggam erat kruk besi yang menjadi penompang, aku menyelinap ke warung kecil tempat A Saga berjualan sembako, juga sayuran segar dari ladang milik Mak Ijah---Nenekku.

Saat aku tiba, A Saga sedang menyusun mie kemasan di rak kayu. Begitu melihat aku datang, dia melempar senyum lebar khas  sosok kakak teladan yang baik hati.

Aku tidak mengerti, saat kupikir Mama dan Teh Syakira berubah karena ketidakhadiran Bapak. Tapi A Saga tetap tenang, seakan semua baik-baik saja.

Atau mungkin dia hanya bersandiwara di hadapanku. Tidak heran, dalam keluarga kami, akulah yang paling lemah. Yang perasaannya harus dijaga bak berlian.

"Dek, tumben ke warung. Mau bantuin Aa?" sapa A Saga lembut. "Ayo, sini duduk! Jangan berdiri terus, nanti capek."

Aku mengikuti arahannya, bertumpu pada lutut, duduk perlahan di lantai yang dialasi tikar. Tak lupa dua tongkatku di letakkan menyandar dinding.

Selama beberapa menit, aku hanya mengamati kegiatan kakak sulungku membereskan barang dagangan. Sesekali, menjawab pertanyaan mengenai topik di sekolah dasar.

A Saga sangat mengagumi kecerdasanku yang selalu berhasil menduduki peringkat pertama di kelas.

Dari tiga anak Bapak-Mama, memang akulah yang paling berprestasi. Ironisnya, aku juga yang penyakitan.

Saat A Saga tidak lagi membuka topik baru, aku pun memberanikan diri bertanya ke inti masalah. Yakni menanyakan keberadaan Bapak yang tidak pulang selama sebulan. 

“A Saga,” kataku pelan. “Bapak sebenernya kemana, A? Kok, enggak pernah pulang ke rumah?"

Dapat kulihat, tangan yang semula sibuk menggantungkan rencengan kopi sachet terhenti di udara. Karena A Saga membelakangiku, ekspresi wajah itu tak terlihat.

Tapi suara kekehan kecilnya memecah kesunyiaan. A Saga berbalik menatapku. Itu lembut, tapi ada sorot lain yang terasa meremukkan jiwa. 

"Tumben Dede nanyain Bapak. Ada apa? Apa ada kumpulan orang tua di sekolah?" terkanya. "Kalau enggak mau diwakilin Mama, Aa bisa datang kok ke sekolah Dede."

"Bukan. Di sekolah enggak ada rencana apa-apa. Kan bentar lagi mau ulangan," terangku.

"Oh. Terus kenapa, dong?"

Aku tidak langsung menjawab. Dudukku menjadi tak nyaman--gelisah. Karena aku takut, A Saga akan memberi respon seperti Teh Syakira.

Mungkin A Saga menyadari rasa gugup ku, karena dengan senyum tulus, dia beranjak duduk di sampingku, lalu mengangkat tubuh kecil ini ke pangkuannya.

A Saga memelukku dengan erat ...

"Dede rindu Bapak, ya? Pengen main-main lagi sama Bapak?" tanya A Saga.

Aku mengangguk pilu. "Iya. Bapak kenapa enggak pulang sih, A? Apa Bapak marah ke Dede karena sering nangis pas terapi?"

"Emang Dede masih suka nangis?" A Saga malah balik bertanya. "Katanya mau jadi anak kuat?"

Aku cemberut. "Mau. Tapi kan kalau lama-lama, Dede capek. Badannya suka pegel-pegel. Mana sepatunya berat lagi," ocehku.

"Nama juga pengobatan, Dek," balasnya menasehati. "Itu supaya Dede cepet sembuh."

"Berarti bener, dong. Bapak pergi karena Dede?"

“Enggaklah. Justru Bapak itu kerja keras supaya Dede bisa jalan lagi," ungkap A Saga. "Jadi Dede jangan pernah nyerah. Supaya pengorbanan Bapak enggak sia-sia, ya?!"

Aku mengangguk, berpura-pura mengerti. Padahal dadaku bagai terhimpit batu besar. Jika memang itu alasannya. Lalu, kenapa aku merasa tertinggal?

Tapi sebagai anak baik, aku mengesampingkan keraguan itu. Sampai suatu malam---saat aku terbangun di tengah malam, aku melihat Bapak duduk menyandar meja. 

Televisi di ruangan itu menyala. Tapi Bapak seperti tidak menontonnya. Sorot itu terasa hampa, seperti menanggung banyak kesedihan. Bahkan jaket lusuh pun masih melekat di tubuhnya, seakan Bapak belum berganti pakaian.

“Bapak, capek ya?”

Aku berlutut di samping Bapak. Tapi dia bahkan tak melihatku, karena mata lelah itu terus tertuju pada televisi, atau mungkin tempat lain.

"Bobo, Dek. Udah malem."

Gamang suaranya memerintahku. Tapi kali ini izinkan aku menjadi anak nakal, karena dengan keras kepala, aku tetap di sana, menyandarkan kepala di pundak Bapak.

"Bapak kemana aja? Kok, baru pulang sekarang?" tanyaku.

Tapi lidah itu seakan kelu. Bapak tak banyak bicara. Padahal aku ingin dia memelukku seperti saat aku takut di suntik. Aku ingin dibisiki kata-kata penyemangat, tapi tubuhnya kaku.

Bapak seperti enggan berapa di dekatku. Mungkinkah dia memang tidak sayang lagi pada anak yang merepotkan ini?!

Apa aku tidak lagi penting di matanya?

Malam itu, dengan menggenggam erat jaket usang Bapak, aku tertidur di pundaknya. Terasa nyaman tapi seperti tak nyata. 

Apa aku sedang bermimpi karena terlalu merindukannya?

Bapak, maaf! Karena memiliki anak sepertiku, Bapak jadi susah. Jika ini Rumah Tanpa Dede... apa Bapak akan bahagia?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
416      295     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Solita Residen
1937      953     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Lantunan Ayat Cinta Azra
998      614     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Manusia Air Mata
1225      729     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Kaca yang Berdebu
118      94     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Take It Or Leave It
6301      2033     2     
Romance
"Saya sadar...." Reyhan menarik napasnya sejenak, sungguh ia tidak menginginkan ini terjadi. "Untuk saat ini, saya memang belum bisa membuktikan keseriusan saya, Sya. Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?" Reyhan diam, sengaja menggantungkan ucapannya, ia ingin mendengar suara gadis yang saat ini akhirnya bersedia bicara dengannya. Namun tak ada jawaban dari seberang sana, Aisyah sepertinya masi...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3191      1172     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Imperfect Rotation
186      161     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Sendiri diantara kita
1266      729     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Taruhan
62      59     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...