Meski memakai kruk, tapi aku tetap rajin berangkat sekolah. Namun, hari itu ... saat pulang, aku merasakan jenis kesakitan lain.
Aku melihat teman sekelasku---Anisa dijemput ayahnya. Betapa senang menjadi dia, bisa berlari kecil masuk dalam pelukan hangat sang terkasih.
Bahkan balasan yang diterima pun tak kalah manis. Anisa digendong di dada, dicium di puncak kepala dan pipi, lalu dipeluk erat sambil tertawa riang.
Bohong, jika aku tidak iri ...
Saat motor mereka melaju pelan, aku mengingat pengalaman serupa saat bersama Bapak dulu. Saat dia menggendongku di pundaknya sambil melantunkan janji:
"Dede anak kebanggaan Bapak. Dede anak cerdas. Bapak janji bakal bikin Dede bisa jalan lagi!"
Janji itu ... Apa telah diingkari?
Ingatan setahun lalu yang selalu kugenggam erat. Selalu disimpan dalam hati terdalam. Tidak pernah sedikitpun, aku melupakannya.
Tapi kenapa seperti Bapak yang lupa?
Saat itu, posisiku hanya anak kelas tiga sekolah dasar yang menuntut jawaban atas kebingungan sikap keluarganya.
Atas perubahan drastis dari orang yang selalu ada, tapi mendadak hilang, tanpa kata.
Jangankan digendong. Sekarang ... suara motornya pun jarang terdengar. Padahal dulu, Bapak selalu menyempatkan diri membawaku berkendara di waktu luang.
Meskipun hanya sekadar mengelilingi kampung tiap sore, tapi itu moment berharga untukku. Bahkan di masa depan motor itu di museumkan di rumah.
Motor tua yang bunyinya sember. Dulu setiap mendengar suaranya di ujung jalan, aku akan melompat-lompat heboh. Tapi kala itu ... tidaklah sama, saat ketidakhadiran Bapak menjadi point utama rasa hampa.
Dede rindu Bapak ...
Jadi sore itu, aku putuskan untuk mencari tahu, tidak pada Mama melainkan yang lain. Karena aku menyadari, jika padanya tidak ada akan hasil yang dipetik. Wanita yang melahirkanku itu lebih sering mengalihkan pembicaraan.
Aku pun tidak melibatkan Teh Syakira, karena takut, dia hanya akan kembali menyalahkanku, yang pada saat itu tidak tahu apapun. Jadi keputusan terakhir, aku berencana menemui A Saga.
Sehabis mandi dan berpakaian rapi, aku meminta izin ke Mama yang sedang melipat baju untuk membantu di warung. Kebetulan sekali, Teh Syakira sedang tidak ada di rumah. Dia pergi menjalani kegiatan pramuka.
Dengan tertatih, menggenggam erat kruk besi yang menjadi penompang, aku menyelinap ke warung kecil tempat A Saga berjualan sembako, juga sayuran segar dari ladang milik Mak Ijah---Nenekku.
Saat aku tiba, A Saga sedang menyusun mie kemasan di rak kayu. Begitu melihat aku datang, dia melempar senyum lebar khas sosok kakak teladan yang baik hati.
Aku tidak mengerti, saat kupikir Mama dan Teh Syakira berubah karena ketidakhadiran Bapak. Tapi A Saga tetap tenang, seakan semua baik-baik saja.
Atau mungkin dia hanya bersandiwara di hadapanku. Tidak heran, dalam keluarga kami, akulah yang paling lemah. Yang perasaannya harus dijaga bak berlian.
"Dek, tumben ke warung. Mau bantuin Aa?" sapa A Saga lembut. "Ayo, sini duduk! Jangan berdiri terus, nanti capek."
Aku mengikuti arahannya, bertumpu pada lutut, duduk perlahan di lantai yang dialasi tikar. Tak lupa dua tongkatku di letakkan menyandar dinding.
Selama beberapa menit, aku hanya mengamati kegiatan kakak sulungku membereskan barang dagangan. Sesekali, menjawab pertanyaan mengenai topik di sekolah dasar.
A Saga sangat mengagumi kecerdasanku yang selalu berhasil menduduki peringkat pertama di kelas.
Dari tiga anak Bapak-Mama, memang akulah yang paling berprestasi. Ironisnya, aku juga yang penyakitan.
Saat A Saga tidak lagi membuka topik baru, aku pun memberanikan diri bertanya ke inti masalah. Yakni menanyakan keberadaan Bapak yang tidak pulang selama sebulan.
“A Saga,” kataku pelan. “Bapak sebenernya kemana, A? Kok, enggak pernah pulang ke rumah?"
Dapat kulihat, tangan yang semula sibuk menggantungkan rencengan kopi sachet terhenti di udara. Karena A Saga membelakangiku, ekspresi wajah itu tak terlihat.
Tapi suara kekehan kecilnya memecah kesunyiaan. A Saga berbalik menatapku. Itu lembut, tapi ada sorot lain yang terasa meremukkan jiwa.
"Tumben Dede nanyain Bapak. Ada apa? Apa ada kumpulan orang tua di sekolah?" terkanya. "Kalau enggak mau diwakilin Mama, Aa bisa datang kok ke sekolah Dede."
"Bukan. Di sekolah enggak ada rencana apa-apa. Kan bentar lagi mau ulangan," terangku.
"Oh. Terus kenapa, dong?"
Aku tidak langsung menjawab. Dudukku menjadi tak nyaman--gelisah. Karena aku takut, A Saga akan memberi respon seperti Teh Syakira.
Mungkin A Saga menyadari rasa gugup ku, karena dengan senyum tulus, dia beranjak duduk di sampingku, lalu mengangkat tubuh kecil ini ke pangkuannya.
A Saga memelukku dengan erat ...
"Dede rindu Bapak, ya? Pengen main-main lagi sama Bapak?" tanya A Saga.
Aku mengangguk pilu. "Iya. Bapak kenapa enggak pulang sih, A? Apa Bapak marah ke Dede karena sering nangis pas terapi?"
"Emang Dede masih suka nangis?" A Saga malah balik bertanya. "Katanya mau jadi anak kuat?"
Aku cemberut. "Mau. Tapi kan kalau lama-lama, Dede capek. Badannya suka pegel-pegel. Mana sepatunya berat lagi," ocehku.
"Nama juga pengobatan, Dek," balasnya menasehati. "Itu supaya Dede cepet sembuh."
"Berarti bener, dong. Bapak pergi karena Dede?"
“Enggaklah. Justru Bapak itu kerja keras supaya Dede bisa jalan lagi," ungkap A Saga. "Jadi Dede jangan pernah nyerah. Supaya pengorbanan Bapak enggak sia-sia, ya?!"
Aku mengangguk, berpura-pura mengerti. Padahal dadaku bagai terhimpit batu besar. Jika memang itu alasannya. Lalu, kenapa aku merasa tertinggal?
Tapi sebagai anak baik, aku mengesampingkan keraguan itu. Sampai suatu malam---saat aku terbangun di tengah malam, aku melihat Bapak duduk menyandar meja.
Televisi di ruangan itu menyala. Tapi Bapak seperti tidak menontonnya. Sorot itu terasa hampa, seperti menanggung banyak kesedihan. Bahkan jaket lusuh pun masih melekat di tubuhnya, seakan Bapak belum berganti pakaian.
“Bapak, capek ya?”
Aku berlutut di samping Bapak. Tapi dia bahkan tak melihatku, karena mata lelah itu terus tertuju pada televisi, atau mungkin tempat lain.
"Bobo, Dek. Udah malem."
Gamang suaranya memerintahku. Tapi kali ini izinkan aku menjadi anak nakal, karena dengan keras kepala, aku tetap di sana, menyandarkan kepala di pundak Bapak.
"Bapak kemana aja? Kok, baru pulang sekarang?" tanyaku.
Tapi lidah itu seakan kelu. Bapak tak banyak bicara. Padahal aku ingin dia memelukku seperti saat aku takut di suntik. Aku ingin dibisiki kata-kata penyemangat, tapi tubuhnya kaku.
Bapak seperti enggan berapa di dekatku. Mungkinkah dia memang tidak sayang lagi pada anak yang merepotkan ini?!
Apa aku tidak lagi penting di matanya?
Malam itu, dengan menggenggam erat jaket usang Bapak, aku tertidur di pundaknya. Terasa nyaman tapi seperti tak nyata.
Apa aku sedang bermimpi karena terlalu merindukannya?
Bapak, maaf! Karena memiliki anak sepertiku, Bapak jadi susah. Jika ini Rumah Tanpa Dede... apa Bapak akan bahagia?