Sudah seminggu sejak aku menemukan kotak kayu berukir itu—terkubur dalam tanah liat dan diam, di bawah tugu kecil yang dulu kupikir hanya batu tua. Tempat yang dulu dianggap mati, kini bicara dalam bisikan yang hanya bisa didengar oleh mereka yang bersedia sabar.
Tempat itu tidak pernah benar-benar kosong. Ia hanya menunggu waktu untuk bicara. Dan aku... baru sekarang cukup hening untuk mendengarnya.
Aku tidak bisa tidur sejak hari itu. Kalung liontin giok hazel yang kutemukan dalam kotak itu kini selalu tergantung di leherku. Warnanya hangat, hampir seperti matahari yang merunduk malu di sore hari. Atau... seperti mata Eden. Mata yang selama ini hadir dalam bayangan dan ingatan yang tak lengkap.
Setiap malam aku membaca ulang surat itu. Kata demi kata, seperti mantra yang menyayat dan menyembuhkan di saat bersamaan. Merilyn Dianne Solita. Nama yang hanya pernah kudengar dalam bisik dan rumor. Sekarang, ia bukan sekadar hantu. Ia ibu. Ibu dari Eden. Seseorang yang sempat merasa tak punya siapa-siapa.
Aku tahu aku tidak bisa berhenti di sini. Surat itu... bukan hanya permintaan. Itu adalah suara yang minta didengar. Aku tidak bisa menjadi kuburan kedua bagi suara itu. Maka aku menemui satu-satunya orang yang mungkin bisa membantuku: Pakde Raka.
Aku menemuinya diam-diam, di taman belakang rumah sakit. Tangannya gemetar saat melihat surat itu.
"Aku mengenal tulisan ini," katanya, nyaris seperti gumaman. "Mari."
Aku hanya mengangguk, karena hatiku juga sedang bergetar.
"Kami pernah... muda. Penuh percaya diri. Kami pikir, kami bisa menyusup ke dalam sistem, lalu mengubahnya dari dalam. Tapi sistem itu menelan kami, satu per satu."
Aku memohon padanya. Bukan dengan suara tinggi, tapi dengan seluruh tubuhku yang menolak menyerah. Dan ia mengangguk. Memberiku akses. Memberiku kesempatan.
***
Lorong bawah tanah itu menyambutku dengan dingin yang menusuk sampai ke tulang. Bukan dingin biasa—melainkan dingin yang menyimpan sejarah. Seolah udara itu telah menyerap napas-napas terakhir dari mereka yang tak pernah kembali.
Dinding-dinding beton kasar menjulang bisu, retak-retak dan berjamur. Bau kapur barus, karat, dan debu tua bercampur dalam setiap helaan napas. Lampu neon tua berpendar di langit-langit, beberapa berkedip pelan seperti sedang sekarat. Namun sebagian besar sudah mati. Maka aku menyalakan senter dari ponselku—cahaya putih tipis yang memotong kegelapan seperti jarum.
Setiap langkahku memantul di lantai keramik yang mengelupas. Gemanya terasa terlalu keras, seolah lorong ini sedang mengingat kembali suara-suara yang dulu dikubur hidup-hidup.
Di tanganku, kartu akses milik Pakde Raka—diberikan diam-diam di balik cengkeraman yang tak sanggup berbohong—bergetar ringan. Tapi bukan karena mesin. Karena tanganku sendiri. Karena sesuatu dalam diriku tahu: aku tidak akan keluar dari tempat ini sebagai orang yang sama.
Kupindai kartu di pemindai logam di samping pintu besar berkarat. Lampunya berkedip hijau—klik.
Pintu logam terbuka perlahan, menggeram seperti hewan tua yang terpaksa bangun dari tidur panjangnya.
Aku melangkah masuk.
Ruangan di baliknya seperti perut dari sebuah kapal karam. Barisan lemari arsip besi menjulang dalam bayangan. Beberapa rusak. Beberapa terkunci. Label di masing-masing terlihat pudar—huruf-hurufnya hampir lenyap digerus waktu.
“Program Khusus 1980–2001”
“Rekam Medis Non-Publik”
“Subjek Donor Tak Teridentifikasi”
Aku terhenti di depan label terakhir. Jantungku berdetak tak teratur, seperti mencari ritme yang hilang.
Laci demi laci kutarik. Beberapa macet, beberapa terlalu berat. Kertas-kertas di dalamnya bau jamur dan sejarah. Banyak yang disensor. Hitam pekat menutupi nama, tanggal, bahkan wajah.
Tanganku mulai bergetar. Bukan karena takut, tapi karena ada rasa: sesuatu sedang menatap balik dari dalam lemari-lemari itu. Entah kenapa aku yakin... mereka tahu aku datang.
Hingga akhirnya, aku melihatnya.
Sebuah folder abu-abu, paling bawah, terselip di antara dua laci yang nyaris tak bisa dibuka. Tak ada nama. Hanya satu baris tulisan tangan dengan tinta hitam, sudah memudar di beberapa bagian:
DONOR #04 — STATUS: Objek Pribadi- Tidak Terverifikasi
Aku menariknya perlahan. Debu menari di udara. Jari-jariku terasa berat, seperti menyingkap luka lama dunia.
Saat kubuka, bau tinta tua dan plastik film usang menyembur. Isinya:
Formulir medikal tanpa nama pasien, hanya kode: “D.04”
Catatan kelahiran: prematur, usia lahir tak pasti, 3 hari inkubator
Kolom “Keterangan Orang Tua”: kosong
Kolom “Tujuan Program”: Donor Cadangan untuk Proyek Rahasia
Aku membaca setiap kalimat seperti orang menggenggam pecahan kaca—tajam, menyakitkan, tapi tak bisa dilepas.
Tanganku berhenti pada satu lembar film foto. Polaroid medis. Hitam putih. Sudutnya sobek, tapi yang tersisa...
...sepasang mata.
Hazel. Separuh terbuka. Mata bayi itu tidak melihat ke arah kamera. Ia melihat ke arahku. Langsung. Lurus. Seolah menunggu sejak lama.
Dan di bawahnya, samar:
Solita: Identitas ibu biologis (tidak terverifikasi, tidak sah secara administratif)
Tanganku gemetar. Perutku mual. Rasanya seperti mendengar seseorang memanggil namaku dari dalam tanah. Dunia terlalu kejam untuk anak yang belum sempat punya pilihan.
Aku hampir menutup folder itu, tapi ada satu lembar terselip—terlipat sangat rapi, nyaris seperti disembunyikan.
Kertas tua. Tulisan tangan terburu-buru.
Catatan Pribadi Dr. R. S.
“Saya tahu ini salah. Saya menulis ini dengan tangan yang takut dan hati yang gemetar. Tapi saya tidak bisa mati tanpa mengakuinya, walau hanya pada kertas. Anak ini tidak seharusnya berada di sini. Saya hanya bisa menyelamatkannya sedikit—dengan menghapus namanya dari daftar donor aktif. Saya... tidak berani lebih dari itu. Sistem ini menelan kami semua. Jika ada yang membaca ini suatu hari nanti: Maafkan aku. Aku pengecut. Tapi aku berdoa, semoga ada seseorang yang lebih berani dariku.”
Aku membaca kalimat itu berulang-ulang. Hurufnya bergetar di mataku, seperti ingin menangis.
Di luar, dunia mungkin tetap sama. Tapi di dalam lorong itu, waktu runtuh.
Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri diam. Tapi tubuhku terasa berat. Seolah aku bukan hanya membawa folder ini—aku membawa Eden. Dan mereka semua.
Dan untuk sesaat, aku mendengar—entah nyata atau tidak—suara langkah kecil di belakangku. Seperti anak-anak yang berjalan bersamaku dalam diam.
***
Langit sudah berubah warna ketika aku melangkah keluar dari ruang bawah tanah. Langkahku berat saat meninggalkan lorong itu. Seperti tubuhku membawa bukan hanya folder, tapi beban dari seluruh dunia yang selama ini bungkam.
Dan di sana, di ujung lorong yang mengarah ke taman belakang rumah sakit lama—dia berdiri.
Lintang.
Bayangannya menyatu dengan cahaya lampu taman yang kekuningan, seperti seseorang yang tak sepenuhnya ingin terlihat. Tapi aku tahu. Dari cara rahangnya mengeras. Dari caranya menatapku.
Kami saling diam beberapa detik. Tak ada suara, selain gemerisik daun dan bunyi napasku yang tak stabil.
"Aku tahu kau akan ke sini," katanya akhirnya, pelan.
Tanganku menggenggam erat folder abu-abu itu, seolah jika aku melepasnya, semua kenyataan akan buyar kembali menjadi kabut.
"Jangan lakukan ini," katanya lagi, suaranya lebih dalam.
Aku menggenggam folder di tanganku lebih erat. "Aku harus."
"Rembulan, dengarkan aku—"
"Tidak!" potongku, nadaku naik, hampir pecah. "Kau yang dengarkan aku! Ini tentang Eden. Tentang anak-anak lain sepertinya. Tentang tubuh yang dijadikan properti, jiwa yang dikorbankan untuk proyek mengerikan yang melanggar kemanusiaan."
Lintang melangkah maju. "Kau pikir aku tidak peduli? Aku juga muak! Tapi kebenaran ini... ini bukan hanya bom. Ini hujan api. Kau akan membakar segalanya, bahkan yang tak bersalah."
Aku menatapnya, amarahku mulai berubah bentuk. Bukan menjadi dingin, tapi menjadi lebih jernih.
"Kau takut aku menyentuh keluargamu?"
Lintang menunduk. Tak menjawab. Tapi diamnya adalah jawaban.
"Salah satu dari mereka terlibat, ya?"
Dia akhirnya mengangguk pelan. " “Kakekku. Dan mungkin... pamanku. Tapi kami... kami tumbuh mencintai mereka, tanpa tahu siapa mereka sebenarnya. Itu... lebih menyakitkan dari kebencian. Aku bersumpah. Kami tumbuh di bawah nama yang dibangun dari kebohongan, tapi tak tahu kebohongan itu."
Air mataku jatuh, dan aku tak tahu untuk siapa. Untuk Eden. Untuk Lintang. Untuk dunia yang mencuri masa depan dan menyebutnya pengorbanan.
"Lintang, aku tidak ingin menghancurkanmu," kataku lirih. "Tapi aku tidak bisa membiarkan Eden dikubur dua kali."
Lintang berjalan lebih dekat. Napasnya hangat di antara jarak kami.
"Aku mengerti. Tapi coba kau pikir: kalau kau beberkan ini ke publik, apa yang akan terjadi?"
Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku sadar... aku tak tahu. Membuka ini ke publik berarti perang. Tapi menyimpannya... berarti mengkhianati suara yang sudah bersusah payah ditemukan.
Lintang menatapku lama. Sorot matanya tak lagi sekadar cemas—ia sedang menimbang masa depan yang bisa hancur dalam sekejap. Lalu ia bicara, pelan, tapi tajam.
"Meski kau buka ini, dunia tidak akan berubah."
Ia menarik napas, seperti menyusun kalimat yang sudah lama ingin ia katakan.
"Mereka akan menyangkal. Akan memutar balik semuanya. Akan bilang kau berhalusinasi, atau menyimpan dendam pribadi. Mereka akan merobek reputasimu, menyebar dokumen tandingan, memalsukan jejak, menciptakan narasi bahwa kaulah yang tak stabil."
Lintang mendekat, matanya menyala bukan karena marah, tapi karena takut. Bukan untuk dirinya—untukku.
"Orang-orang yang kita lawan bukan hanya jahat—mereka berkuasa. Sudah terlalu dalam. Terlalu lama. Ini bukan sekadar rahasia lama. Ini sejarah yang didesain agar tak bisa disentuh. Bahkan jika kau punya bukti, bahkan jika suaramu murni, mereka tetap bisa menghapusmu."
Suara Lintang mulai bergetar, meski ia berusaha tetap tegar.
"Dan andai pun publik percaya, lalu apa? Siapa yang akan jatuh? Tidak ada. Siapa yang akan bertanggung jawab? Tidak ada. Tapi kau... kau akan jadi api yang dibakar perlahan. Perlahan. Dan Eden... Eden akan ikut terbakar. Bukan sebagai korban, tapi sebagai bayangan—dengan stigma baru. Nama yang kembali hilang, tapi kali ini... sebagai aib."
Aku menatapnya. Ada bagian dalam diriku yang tahu—ia tak sedang menghindar. Ia sedang melindungi. Dengan cara yang hanya dimengerti oleh seseorang yang pernah menyentuh jantung dari mesin besar bernama sistem.
"Apa yang harus kulakukan, Lintang? Diam? Simpan ini dan pura-pura semua baik-baik saja?"
Lintang menggeleng perlahan. "Tidak. Tapi mungkin... kebenaran tak selalu butuh panggung. Mungkin cukup satu hati yang menjaga. Satu janji yang hidup. Agar suara mereka tak benar-benar hilang."
Aku tak menjawab. Aku tak bisa.
Aku hanya pergi.