Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Hari itu belum terlalu siang saat telepon berdering dan wajah Ibu berubah. Tangannya menggenggam ponsel lebih erat dari biasanya, dan matanya terfokus pada titik yang tidak terlihat oleh siapa pun.

“Ada apa?” tanyaku, pelan.

Ibu tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh ke Ayah, yang duduk tak jauh sambil menyortir buku-buku lama. Mereka saling bertatapan sebentar, seperti tengah membaca pikiran satu sama lain.

“Pakde Raka drop,” kata Ibu akhirnya. “Tadi pagi sempat demam tinggi dan agak linglung. Suster bilang lebih baik kita temani.”

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk membereskan barang-barang. Kunjungan ke rumah lama terputus begitu saja—seperti pita kaset yang tiba-tiba macet di tengah lagu. Ada rasa menggantung di dada, tapi tak sempat kuberi nama.

Saat kami meninggalkan rumah itu, aku menoleh sekali lagi ke arah ayunan di bawah pohon mangga. Anginnya tidak bergerak.

***

Malamnya, udara terasa berat. Rumah Pakde masih seperti kemarin, tapi suasananya berubah. Tak ada suara jangkrik, bahkan tiupan angin dari sela jendela pun seperti tertahan. Semuanya seolah memutuskan diam bersamaan.

Aku belum benar-benar tidur saat terdengar suara gaduh dari kamar Ibu dan Ayah. Suara seperti sesuatu jatuh—atau dilempar. Lalu hening. Diikuti suara napas terengah dan langkah tergesa.

Aku keluar kamar dengan hati-hati, kaki telanjang menyentuh lantai dingin. Koridor rumah Pakde panjang dan sempit, dengan cahaya kuning redup dari lampu temaram di dinding. Suara dari kamar orangtuaku teredam, tapi jelas—Ibu sedang bicara terbata, seperti habis bangun dari mimpi buruk.

Sesampainya di depan pintu kamar mereka, aku tidak masuk. Hanya berdiri dan mendengar.

“Aku lihat dia,” suara Ibu nyaris tak terdengar. “Dia bilang... jangan buka pintunya. Belum waktunya. Matanya... Bulan, matanya kosong.”

Ayah berusaha menenangkan. Suaranya pelan, tapi tegang. "Itu cuma mimpi. Mungkin karena kita ke rumah itu tadi siang. Bikin kamu... terseret kenangan."

Tapi aku tahu. Itu bukan hanya mimpi. Rumah itu membawa sesuatu pulang.

Aku berbalik, kembali menyusuri lorong. Rumah ini terasa asing. Dinginnya bukan dingin biasa. Dindingnya seperti menahan napas. Dan saat aku melewati ruang tengah, aku berhenti.

Jam dinding tua itu masih tergantung rapi di atas bufet, menghadap ke pintu belakang. Bingkainya emas kusam, kacanya sedikit retak di pojok kanan atas. Pendulum tembaga di dalamnya tak lagi bergerak. Jarum-jarumnya mati—terhenti tepat di antara angka dua dan tiga.

Pukul dua lewat dua menit.

Aku berdiri di bawahnya, pandangan terpaku. Ruang tengah sunyi. TV dibiarkan menyala tanpa suara, menampilkan berita tengah malam yang bergerak seperti mimpi buruk di latar belakang.

"Ayah," panggilku pelan ketika melihat Ayah lewat membawa selimut.

Ia berhenti, lalu ikut memandang ke arah jam. “Jam itu? Sudah lama rusak. Dari malam terakhir sebelum kita pindah dari Cisarua. Anehnya, jam di rumah lama juga berhenti di waktu yang sama.”

“Jam yang di rumah lama?” tanyaku, suara tercekat.

“Iya. Dua lewat dua. Ayah sempat ganti baterai berkali-kali, tapi tetap berhenti di waktu itu. Akhirnya dibiarkan saja.”

Aku menelan ludah. Hawa dingin tiba-tiba merambat di tengkukku. Jam itu terasa seperti... melihat balik. Bukan sekadar benda mati. Tapi penanda. Peringatan.

***

Malam pertama di rumah Pakde Raka terasa berat. Udara lembap menempel di kulit, dan kasur kecil di kamar belakang berdecit tiap kali aku bergerak. Aku menatap langit-langit, lalu menutup mata, berharap bisa tidur cepat.

Tapi yang datang bukan tidur.

Aku bermimpi.

Ethan berdiri di ladang lavender. Mulutnya bergerak, tapi tak bersuara. Di belakangnya, langit malam terbelah seperti kain, menyingkap kehampaan.

Aku tersentak.

Mataku terbuka.

Tapi aku tidak di kamar.

Aku berdiri di halaman.

Tanah di bawah kakiku basah. Ujung piyamaku kotor lumpur. Di hadapanku, ayunan besi tua itu bergoyang pelan meski tak ada angin. Suara jangkrik terdengar jauh, seakan tersembunyi di balik tembok dunia.

Aku menoleh ke sekeliling. Tak ada satu pun pintu terbuka. Tak ada suara langkah. Hanya sunyi yang terlalu sempurna.

Lalu aku menatap ke arah jendela kamar tempatku tidur tadi.

Dan di sana, bayanganku.

Tapi bayangan itu tidak mengikuti gerakku.

Ia berdiri diam, memandangi halaman. Matanya tertuju pada tempatku berdiri. Seolah yang di dalam ruangan bukan aku—melainkan sesuatu yang tertinggal.

Atau... sesuatu yang sedang menunggu.

Aku mundur perlahan, lalu menatap ke bawah. Di dekat kakiku, ada sepotong kertas kecil—lembab dan kotor, seperti terseret angin dari masa lalu. Aku memungutnya.

Gambar anak laki-laki. Berdiri di dekat ayunan.

Wajahnya tidak jelas. Kabur. Tapi matanya... aku kenal.

Untuk pertama kalinya sejak penyelidikan ini dimulai, aku merasa ini bukan hanya tentang misteri yang harus dipecahkan.

Tapi tentang diriku sendiri—yang perlahan ikut terpecah.

Pukul dua pagi. Dua dunia. Dua sosok.

Dan satu pintu yang belum dibuka.

***

Pagi datang tanpa benar-benar datang. Langit hanya berubah sedikit lebih terang, tapi tidak membawa kehangatan. Aku bangun dengan rasa lelah yang tak sempat kulari dari malam. Tanganku masih dingin. Masih bisa kurasakan tanah basah yang menempel di telapak kaki. Tapi ketika aku membuka selimut, piyamaku bersih.

Lalu kulihat ke laci.

Kertas itu masih ada.

Aku menatapnya dalam diam. Gambar anak laki-laki, digambar tangan dengan garis kasar. Berdiri di dekat ayunan. Wajahnya kabur, seperti terhapus sebagian. Tapi matanya... seolah mengenalku. Atau lebih buruk lagi, menungguku.

***

Selesai sarapan, aku mengurung diri di ruang kerja Pakde. Lemari arsipnya setengah terbuka sejak semalam. Aku mulai dari tumpukan paling bawah—berkas kasus, artikel lama, foto-foto yang nyaris pudar warnanya.

Aku mencari apa pun tentang anak laki-laki itu.

Kupindai nama-nama korban. Ridwan. Danu. Salsa. Rio. Tidak ada yang cocok. Tidak ada gambar ayunan. Tidak ada ilustrasi anak laki-laki dengan wajah buram. Bahkan tak ada satu pun catatan tentang seorang anak yang muncul dalam laporan tapi tak diketahui identitasnya.

Tak ada.

Seolah gambar itu datang dari tempat yang tidak pernah dicatat manusia.

Tengah hari, mataku perih dan tengkukku kaku. Aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi, membiarkan berkas-berkas itu jatuh dari pangkuanku. Ruangan mendadak sunyi. Hanya suara angin menyentuh kisi-kisi jendela.

"Aku gak gila..." bisikku. Tapi entah kenapa, kalimat itu malah terdengar seperti permohonan.

Aku kembali ke kamar. Duduk di pinggir ranjang dengan tangan gemetar. Di meja kecil, cermin bundar memantulkan wajahku. Dan entah kenapa, aku merasa seperti sedang melihat orang lain.

Bukan bayangan malam tadi.

Diriku sendiri. Tapi... bukan aku yang sekarang.

Aku menggenggam kertas itu erat-erat. Separuh diriku ingin merobeknya, membuangnya ke tempat sampah, lalu pura-pura tidak pernah melihatnya. Tapi aku tak bisa.

Rasanya seperti kertas itu juga menggenggamku balik.

Lalu satu pikiran melintas—tajam, membelah kepalaku seperti silet:

Bagaimana kalau ini semua bukan tentang Ethan? Bukan tentang anak laki-laki itu. Bukan tentang dendam atau misteri.

Bagaimana kalau semua ini tentang aku?

Aku mendadak sadar betapa sedikitnya yang kutahu tentang diriku sendiri. Tentang ingatanku yang bolong di bagian-bagian tertentu. Tentang mimpi-mimpi yang terlalu nyata. Tentang perasaan asing yang datang saat aku kembali ke desa ini.

Aku menunduk. Melihat tangan dan lututku. Mencoba mengingat apa saja yang benar-benar aku ingat—tanpa campur tangan cerita orang lain, tanpa memori pinjaman dari album foto.

Lalu aku bertanya:

Apa yang sebenarnya sedang kucari?

Dan yang lebih mengerikan dari pertanyaan itu adalah:

Apa yang akan kutemukan kalau aku terus menggali?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sendiri diantara kita
906      558     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Monday vs Sunday
111      96     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Kembali ke diri kakak yang dulu
823      629     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
FaraDigma
797      478     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Spektrum Amalia
706      485     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
The Call(er)
1254      754     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Metafora Dunia Djemima
85      70     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Ręver
7196      1958     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Premonition
531      336     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
Ada Apa Esok Hari
201      155     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...