Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Setelah berbulan-bulan menjalani terapi dan rutin menelan obat, aku mulai merasakan perubahan. Ethan tidak lagi muncul dalam mimpi-mimpiku. Tak ada lagi suara lembut yang memanggil dari balik tirai malam.

Tapi keheningan itu tidak pernah benar-benar sepi. Ada sesuatu yang lain—kehadiran samar yang tak bisa dijelaskan. Seperti napas hangat yang menyentuh tengkukku saat aku merasa terancam, atau desir angin di jendela ketika aku menangis diam-diam di kamar.

Kadang, saat pulang sekolah larut malam, angin malam menyapaku dengan cara yang berbeda. Seolah ada tangan tak terlihat yang memayungi dari hujan, atau tiba-tiba aroma bunga lavender kesukaanku muncul entah dari mana. Padahal, hanya Ethan yang tahu bunga itu favoritku.

Aku pernah hampir tertabrak motor saat menyeberang jalan. Langkahku terhenti di tengah, mataku kosong, pikiranku melayang karena efek obat. Dan sebelum aku sadar, tubuhku terseret mundur oleh sesuatu—bukan orang. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya semilir angin dan jantungku yang berdetak kencang. Aku berdiri di trotoar dengan lutut gemetar, mencoba mencari logika yang bisa menjelaskan hal itu.

Di lain waktu, aku terkunci di toilet sekolah. Anak-anak laki-laki iseng melakukannya. Aku tidak berteriak. Tidak menangis. Aku hanya duduk diam, pasrah. Tapi pintu itu tiba-tiba terbuka sendiri dengan suara keras, seperti didobrak. Anak-anak itu lari terbirit-birit. Aku berdiri terpaku, merasakan kehangatan aneh menyelubungi tubuhku. Seolah seseorang baru saja memelukku dan berkata, "Kamu aman."

Ethan memang tak bisa lagi menampakkan diri. Dunia kami telah terlalu jauh terpisah—digunting oleh terapi, pil penenang, dan penyangkalan. Tapi aku tahu, ia belum pergi. Ethan masih di sana. Diam. Setia. Menjaga dari kejauhan.

Setiap kali sesuatu yang tak bisa dijelaskan terjadi, aku menangis. Bukan karena takut. Tapi karena tahu Ethan belum sepenuhnya hilang. Mungkin aku tak bisa melihatnya, tak bisa mendengar suaranya, tapi sesuatu darinya masih menjangkauku—dan itu cukup untuk membuatku bertahan.

Tapi perasaan itu membuatku mulai mempertanyakan diagnosis yang selama ini kuterima. Apakah benar semua ini hanya halusinasi? Atau mungkinkah dunia spiritual memang nyata, hanya saja tidak bisa diukur dengan sains?

***

Jurnal harian yang dulu penuh gambar roh, simbol aneh, dan catatan mimpi kini berganti. Isinya kini dipenuhi kutipan dari buku psikologi, jadwal minum obat, dan renungan logis tentang hidup. Tapi di sela-sela itu, aku tetap menyelipkan puisi samar, simbol kecil, dan kata-kata yang hanya aku dan Ethan pahami. Aku tidak benar-benar menghapus duniaku. Aku hanya menyembunyikannya di balik logika yang bisa diterima orang lain.

Aku berusaha menyesuaikan diri agar diterima di dunia yang katanya "nyata." Tapi batinku terus memberontak. Setiap kali aku menelan pil dari psikiater, ada suara kecil yang bertanya, "Apakah kau sedang membunuh bagian dari dirimu sendiri?" Kadang aku merindukan Ethan, bukan sebagai teman imajiner, tapi sebagai bagian paling jujur dari diriku.

Namun dunia tidak menerima kejujuran itu. Dunia hanya menerima logika, statistik, dan norma. Dan dalam benturan batin itu, aku merasa seperti hidup di antara dua lapisan realitas: satu yang terlihat, satu lagi yang terasa.

Suatu malam, aku membuka kembali jurnal lamaku. Di sana, aku menulis: “Jika aku gila karena mencintai sesuatu yang tak bisa dilihat, maka biarlah aku tetap gila. Karena dalam kegilaan itu, aku merasa paling hidup.”

Aku mulai menyadari bahwa mungkin tidak semua orang akan mengerti jalanku. Tapi itu tidak membuatku salah. Dunia tempatku hidup mungkin tidak mengakui keberadaan Ethan, tapi hatiku tahu: ada dunia lain yang masih menungguku kembali, ketika aku siap menerima siapa diriku yang sebenarnya.

Aku belajar menjalani rutinitas sebagai remaja biasa. Aku belajar menahan ekspresi, menjaga sikap, menjawab pertanyaan guru tanpa terlihat aneh. Waktu berjalan, dan perlahan aku mulai terlihat normal—setidaknya di mata orang lain.

Tapi menjadi "normal" bukan hal yang mudah. Ia menuntut latihan, pengamatan, dan pengendalian diri yang terus-menerus. Aku mengamati bagaimana anak-anak lain tertawa, bagaimana mereka bergosip di kantin, bagaimana mereka duduk di bangku taman sambil membuka bekal. Semua itu kupelajari diam-diam.

Aku mulai membawa bekal sendiri seperti kebanyakan anak lain. Nasi putih, telur dadar, dan potongan apel. Tidak lagi salad buah dengan kelopak bunga kering dan madu manuka yang dulu sering kubuat karena Ethan bilang rasanya seperti musim semi. Aku bahkan berhenti menyelipkan kertas-kertas kecil berisi mantra dalam kotak makan siang. Sebagai gantinya, kutempelkan stiker lucu bergambar hewan agar terlihat biasa saja.

Di kelas, aku mencatat dengan rapi. Tidak lagi mencoret-coret tepi buku dengan simbol aneh atau wajah-wajah asing yang pernah muncul dalam mimpiku. Aku mulai meniru gaya tulisan teman-teman agar tak terlihat berbeda. Aku mengangkat tangan saat guru bertanya, tertawa secukupnya saat teman melontarkan lelucon, dan berhenti melamun menatap jendela terlalu lama.

Aku mulai mengikuti ekskul fotografi. Aku belajar bagaimana menangkap cahaya dan bayangan, bagaimana membingkai realitas lewat lensa. Mungkin itu caraku menyiasati kerinduan pada hal-hal yang tak kasatmata. Karena lewat foto, aku masih bisa berbicara dalam diam.

Aku juga mulai mengikuti percakapan tentang serial TV, game, dan gosip selebritas. Aku membuat daftar hal-hal yang harus ku cari tahu agar tidak dianggap asing. Kadang aku merasa seperti sedang memainkan peran dalam panggung besar yang disebut dunia nyata.

Lalu aku mulai berteman. Ada Dira dan Lintang, dua teman yang entah kenapa bisa menerimaku tanpa tanya-tanya soal masa laluku. Mereka tidak menganggapku aneh. Tidak pernah menertawakanku. Mungkin karena mereka juga membawa sesuatu dalam diri mereka sendiri yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya.

Pertemuan kami bukan kebetulan. Saat karyawisata ke luar kota, aku sempat mengalami kejadian aneh. Aku tiba-tiba tersesat di sebuah gang sempit yang tidak ada di peta. Dira dan Lintang-lah yang menemukanku. Dan sejak saat itu, kami tak lagi asing.

Dira suka membaca puisi Rumi dan Pramoedya. Suaranya lembut, caranya bicara penuh metafora. “Kadang, dunia ini terlalu keras untuk kebenaran yang lembut. Tapi bukan berarti kebenaran itu tidak ada,” katanya suatu sore saat kami duduk di bawah pohon ketapang.

Lintang lebih logis. Ia membaca jurnal psikologi, menyukai diskusi tentang konsep kesadaran dan persepsi. Tapi ia tidak menutup diri pada dunia spiritual. “Bukan soal percaya atau tidak,” katanya, “tapi bagaimana kita memahami bahwa manusia memang kompleks. Kadang, yang disebut gangguan itu hanya cara lain semesta bicara.”

Dira mengenalkanku pada konsep archetype dari Carl Jung. Lintang meminjamkanku buku-buku tentang pengalaman spiritual lintas budaya. Bagi mereka, dunia spiritual bukan sesuatu yang harus ditakuti—melainkan bagian dari manusia yang paling purba dan paling murni.

Bersama mereka, aku mulai menulis lagi. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai jembatan—antara masa lalu dan masa kini. Aku tidak lagi memusuhi diriku sendiri. Aku belajar: mungkin tidak semua orang harus mengerti. Tapi aku tak perlu menyangkal siapa diriku.

Kadang, saat senja menyelimuti halaman sekolah dan bayangan pepohonan memanjang seperti tangan panjang waktu, aku masih menoleh ke belakang. Mencari siluet Ethan di balik cahaya jingga. Tapi yang kulihat hanya angin yang menari di rerumputan.

Dan kali ini, aku tidak menangis karena itu. Aku tersenyum kecil. Lalu melanjutkan langkah.

Karena meski tak terlihat, aku percaya: Ethan masih ada. Dan aku—aku sedang belajar untuk utuh kembali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
93      85     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
Lepas SKS
179      156     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
My Private Driver Is My Ex
433      290     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Kacamata Monita
1249      554     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Semesta Berbicara
1340      783     10     
Romance
Suci Riganna Latief, petugas fasilitas di PT RumahWaktu, hanyalah wajah biasa di antara deretan profesional kelas atas di dunia restorasi gedung tua. Tak ada yang tahu, di balik seragam kerjanya yang lusuh, ia menyimpan luka, kecerdasan tersembunyi, dan masa lalu yang rumit. Dikhianati calon tunangannya sendiri, Tougo—teman masa kecil yang kini berkhianat bersama Anya, wanita ambisius dari k...
Heavenly Project
579      398     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...
SABTU
2904      1182     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Menanti Kepulangan
44      40     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Kembali ke diri kakak yang dulu
1030      719     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
69      60     1     
True Story