Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Sejak Ethan menghilang, rasanya seperti semua warna ditarik keluar dari dunia. Segalanya tampak pudar, seperti lukisan tua yang ditinggalkan di loteng berdebu. Tertawa menjadi hal langka—seperti benda antik yang hanya bisa dilihat, bukan dirasakan. Bahkan suara angin, yang biasanya membawa kesejukan, kini terdengar seperti bisikan dari masa lalu, samar dan jauh. Aku berubah, menjadi lebih diam— lebih dari biasanya, dan semua orang bisa melihatnya. Tapi tidak ada yang benar-benar mau mengerti. Tidak sepenuhnya.

Di sekolah, aku hanya bicara kalau perlu—sebuah jawaban pendek, sepatah dua patah kata. Selebihnya, aku membiarkan suara-suara lain mengisi ruang. Aku menjadi penonton dalam hidupku sendiri. Di rumah pun sama. Aku mengerjakan tugas tanpa suara, tanpa keluhan… tapi juga tanpa semangat. Hampa. Seperti hidup hanya sebuah siklus tanpa jiwa: bangun, diam, tidur, ulangi. Hari-hari berlalu tanpa makna yang jelas, hanya terasa seperti lembaran kosong yang disusun bertumpuk, menunggu untuk diisi, tapi tidak pernah benar-benar dimulai.

Beberapa hari setelah Ethan hilang, aku mendengar anak-anak di belakang kelas tertawa pelan. Mereka tidak tahu aku mendengar, atau mungkin mereka tahu tapi tidak peduli. Suara-suara mereka seperti gemeresik daun kering yang dipijak: ringan, tapi melukai.

“Kamu tahu nggak? Ethan itu kayak temen imajinasi. Cuma ada pas Rembulan sendirian.”

Aku menunduk. Seolah kata-kata itu biasa saja. Seolah tidak menancap apa-apa. Tapi tidak. Kata-kata itu seperti duri kecil yang menyusup ke dalam pikiranku. Mereka tidak mencolok, tapi terus menusuk, perlahan, diam-diam, dan tumbuh seperti akar yang tak bisa dicabut.

***

“Apa Ethan benar-benar ada?”

Pertanyaan itu menempel di dinding pikiranku, menggantung di antara kesadaran dan penyangkalan. Setiap malam terasa lebih dingin. Bahkan selimut pun tak mampu menahan rasa sepi yang menyelusup sampai ke tulang. Aku sering duduk di jendela, memandangi langit yang pekat.

Bintang itu masih di sana—bintang yang dulu kami sebut Mentari Malam. Bintang yang kami pilih sebagai "punya kita". Tapi sekarang, tak ada suara yang memanggilnya. Ia hanya menggantung, diam, seperti sisa kenangan yang tak berani menyapa.

Kadang aku bermimpi tentang Ethan. Mimpi yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba. Tawa lembutnya, kalimat-kalimat yang sederhana namun mengisi ruang kosong di hatiku. Tangannya yang menggapai—tapi tak pernah bisa kugapai balik. Saat aku terbangun, tidak ada air mata. Hanya rongga di dada yang makin kosong. Seperti batu yang perlahan hancur dari dalam, runtuh tanpa suara.

Aku kembali ke pohon flamboyan di dekat rumah tua. Tempat kami dulu sering duduk berdua, membuat cerita, membagi rahasia, dan menulis dunia kecil milik kami sendiri. Kukeluarkan pisau kecil dari sakuku dan mengukir namanya sekali lagi di batang pohon. Huruf demi huruf, dengan hati-hati, seolah itu bisa memanggilnya kembali. Di bawahnya, aku menulis:

Aku tidak akan lupa.

***

Ibuku biasanya akan marah kalau melihat aku melamun terlalu lama. Tapi akhir-akhir ini... dia hanya diam. Pandangannya panjang, seperti seseorang yang menatap laut, ingin bertanya tapi takut akan jawabannya. Suatu malam, ketika rumah terlalu sunyi untuk anak sembilan tahun, dia duduk di sampingku dan bertanya pelan:

“Ada apa denganmu, Rembulan?”

Aku hanya menggeleng. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang? Seperti kain yang robek dan tak bisa dijahit kembali. Aku tidak menangis. Tidak juga marah. Aku hanya… menatap langit, berharap ada bintang yang bisa menjawab. Tapi bintang pun tak berbicara malam itu.

Aku berhenti ke sungai. Tak lagi lewat jalan kebun teh. Tak lagi menoleh ke arah batang pohon flamboyan tempat nama kami terukir. Tidak sanggup aku sentuh. Tapi kadang—saat malam purnama dan udara Cisarua terlalu sunyi untuk ditahan—aku mengintip dari balik semak-semak. Hanya untuk memastikan tempat-tempat itu masih ada. Seolah kalau mereka hilang juga, maka kenangan kami benar-benar akan lenyap.

Namun ada satu tempat yang tak pernah lagi aku datangi: sungai.

Itu tempat terakhir aku melihat Ethan. Hari itu kami terlalu dekat dengan arus yang deras setelah hujan semalaman. Aku tergelincir duluan. Ethan mencoba menarikku—dan malah ikut terseret. Aku masih ingat suara air yang menelan kami, jeritanku, dan tangannya yang nyaris tak pernah melepas... sampai akhirnya benar-benar lepas.

Aku diselamatkan. Tapi Ethan? Ia lenyap sejak saat itu. Seolah ditelan oleh dunia yang tak mau memberinya kembali. Diam-diam aku bertanya-tanya: apakah Ethan pergi karena merasa bersalah? Apa dia tak sanggup melihatku karena merasa gagal menjaga?

“Mungkin dia pikir semua ini salah dia,” bisikku suatu malam.

Dan karena itu… aku tidak bisa marah. Tidak bisa membenci. Hanya... merindukannya. Pelan-pelan, rasa itu memakan bagian terdalam dari diriku. Rasa rindu yang bukan sekadar ingin bertemu, tapi rindu yang tidak tahu harus mencari ke mana.

***

Lalu, datanglah mimpi itu.

Malam setelah ulang tahunku yang kesepuluh, aku bermimpi sedang berjalan di hutan. Kabut tipis menggantung di antara pohon-pohon tinggi seperti tirai dari dunia lain. Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat aku kenal—Ethan. Tubuhnya kurus. Rambut cokelatnya berantakan. Ketika ia menoleh, matanya menatapku dengan kelembutan yang dulu selalu aku ingat.

Tapi... wajahnya pucat. Senyumnya manis, tapi... kosong. Ia tak bicara. Ia hanya menunjuk ke arah sumur tua di belakang rumah kosong—tempat kami dulu bermain sebelum dia hilang.

Aku terbangun. Nafasku terengah. Tapi yang paling aneh—di saku jaketku, ada daun pisang kecil. Di atasnya tertulis samar:

“Bunga awan tak pernah layu.”

Kalimat itu... hanya kami berdua yang tahu. Hanya Ethan yang bisa menuliskannya. Tulisannya pun khas, sedikit miring ke kanan. Jadi, apakah dia benar-benar pergi?

Atau... apakah dia memang bukan anak biasa sejak awal?

Sejak malam itu, suara-suara aneh muncul. Ketukan di jendela. Langkah pelan di atap. Bayangan yang melintas di sudut mata. Tapi aku tidak takut. Justru... aku merasa damai. Seolah Ethan ada di sini. Dekat.

***

Sore itu, tanpa sadar kakiku membawaku ke padang ilalang di balik bukit—tempat favorit kami. Dan di sana, berdiri seorang anak laki-laki. Rambutnya rapi, tubuhnya tampak sedikit lebih tinggi. Kemeja putihnya tertekuk bersih, celana panjangnya tidak berdebu.

“Ethan?” bisikku.

Ia menoleh. “Aku kembali,” katanya.

Aku terbelalak tidak percaya, jantungku nyaris melompat saking senangnya. Aku berlari memeluknya. Tubuhnya terasa dingin. Tapi nyata.

“Aku pikir kamu... kamu udah nggak tinggal di sini,” suaraku bergetar.

“Aku sempat... sakit,” jawab Ethan pelan.

“Sakit?”

“Iya... Sakit.”

Aku melepaskan pelukanku dan menatap wajah Ethan. Ia tampak... utuh. Bahkan terlalu sempurna. Tidak ada luka, tidak ada tanda-tanda lelah. Tapi sesuatu dalam matanya berbeda. Kosong.

Tapi sepertinya aku terlalu bahagia untuk merasa khawatir, atau hanya tidak ingin memikirkannya.

Sejak hari itu, aku hidup untuk Ethan. Setiap sore aku menyelinap pergi. Kami bicara, tertawa kecil. Tapi... Ethan tidak pernah mau ikut ke rumahku. “Belum waktunya,” katanya, selalu begitu.

Tapi makin hari, aku tahu... ada yang tidak biasa.

Ia jarang menyentuhku. Bayangannya tak selalu terlihat. Kadang, daun-daun tak bergeming saat ia lewat. Dan satu sore, seekor kucing mendesis tajam ke arahnya—lalu lari seperti ketakutan. Seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada.

Aku mulai bertanya-tanya. Tapi Ethan hanya tersenyum.

“Kucing itu instingnya terlalu tajam.”

Meski rasanya ada yang tidak beres, aku tetap tinggal. Aku tak mau kehilangan dia—lagi. Aku lebih memilih keanehan ini daripada kesepian yang telah lama menggerogoti jiwaku.

Sampai akhirnya... ibuku mulai menangis dalam diam. Guruku memanggilku lebih sering. Bahkan ketika ejekan anak-anak di sekolah semakin tajam, aku tetap bicara tentang Ethan.

***

“Dia kembali, Bu. Aku tahu ibu nggak ingat dia. Itu loh anak yang dulu tinggal di atas bukit.”

Ibuku menarik napas dalam, lalu duduk di sisi tempat tidur. Lama ia terdiam, menatap wajah anaknya yang pucat oleh rindu dan keyakinan.

Ia menggenggam tanganku erat.

“Rembulan... kamu ingat, dulu kamu sering cerita tentang teman laki-laki? Tapi kami... nggak pernah lihat dia. Nggak ada orang tua yang pernah jemput. Nggak ada guru yang tahu.”

“Itu Ethan, Bu,” kataku. “Dia sakit.”

“Rembulan,” suaranya bergetar. “Kadang... kamu lihat hal-hal yang orang lain nggak bisa. Kamu tahu itu, kan?”

Aku diam. Lalu ia menambahkan:

“Mungkin... Ethan cuma teman khayalanmu waktu kecil. Dan sekarang, karena kamu kesepian... dia kembali.”

“Tapi Ethan beda, Bu,” jawabku.

“Dia... dia nyata. Aku bisa menyentuhnya. Kami ngobrol. Dia nggak kayak yang lain.”

Aku menepis kata-kata itu. Tapi di lubuk hatiku... keraguan mulai tumbuh seperti kabut yang tak bisa aku usir.

Aku menatap jendela. Di luar hanya senja dan padang kosong. Ethan tak datang sore itu.

Ibuku memelukku, tubuhnya bergetar. “Jangan hilang, ya, Bulan...”

Aku memejamkan mata. Tapi aku tahu, aku sudah mulai pergi.

Ke tempat yang hanya bisa aku jamah. Tempat di antara mimpi, rindu, dan sesuatu yang belum aku mengerti.

Mungkin itu persahabatan, cinta.

Mungkin itu kehilangan.

Atau... mungkin itu kebenaran—yang selama ini tak ingin kuakui.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Metanoia
50      43     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Gue Mau Hidup Lagi
440      290     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Lost & Found Club
415      347     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
Sweet Seventeen
1231      839     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Kertas Remuk
139      112     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
FaraDigma
1328      662     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Fusion Taste
162      149     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
The DARK SWEET
705      502     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
My Private Driver Is My Ex
433      290     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Tanda Tangan Takdir
206      173     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...