Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Sejak kecil, aku tahu dunia yang kulihat tidak sama dengan dunia yang dilihat orang lain. Ketika anak-anak lain takut akan gelap karena cerita hantu di televisi, aku takut karena gelap membuat bayangan-bayangan itu lebih jelas. Mereka tidak datang dengan suara atau teriakan, tapi dengan diam yang panjang. Diam yang membekukan.

Bayangan itu muncul di pantulan kaca, di permukaan air sumur, di sudut langit-langit kamar. Kadang hanya sekelebat, kadang diam mematung hingga aku menoleh. Tapi yang paling mengganggu adalah bahwa mereka tidak selalu menyeramkan. Justru itu yang membuat segalanya lebih rumit. Karena ketika mereka menatapku, aku merasa... kasihan. Seolah mereka hanya ingin didengar. Dilihat. Diakui.

Ibuku bilang, “Jangan ditatap terlalu lama, Bulan. Dunia mereka bukan tempat bermain.”

Aku mencoba menurut. Tapi bagaimana bisa menghindari sesuatu yang hadir di mana-mana? Di sela jendela saat hujan deras. Di pantulan sendok makan. Di bayangan tubuhku sendiri. Aku mulai mengerti bahwa apa yang kulihat bukan sekadar halusinasi. Tapi juga bagian dari diriku. Seperti dunia kedua yang hidup berdampingan dengan dunia yang dianggap normal.

Aku tak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Sekali waktu aku bercerita tentang anak kecil yang duduk di bawah pohon mangga tiap pagi. Ibuku hanya mengusap rambutku dan mengganti topik. Lain kali, aku ceritakan tentang sosok perempuan bergaun putih yang berdiri di balik jendela saat kami sarapan. Ibuku menutup jendela dan berkata, "Fokus saja ke makananmu."

Sejak itu, aku belajar diam.

Di sekolah, aku seperti tembok. Tak ada yang menyapaku. Aku jarang bicara, dan ketika melakukannya, kata-kataku selalu terasa seperti tidak pas. Aku tidak pandai bermain. Tidak mengerti permainan sosial. Saat anak-anak tertawa, aku kadang hanya menatap, tak mengerti bagian mana yang lucu. Aku menjadi seseorang yang hadir tanpa kehadiran. Seperti bayangan di sudut ruangan.

Sampai aku bertemu Ethan.

***

Kabut turun lebih cepat dari biasanya sore itu. Sekolah baru saja selesai, dan bukannya pulang, kakiku membawaku ke tempat yang tak pernah gagal menenangkan pikiranku: pohon flamboyan di tepi hutan. Tempat itu seperti muncul dari mimpiku yang berulang-ulang—pohon besar dengan akar terbuka seperti lengan yang mengundang pelukan. Tempat itu selalu sepi, tapi tak pernah membuatku takut.

Aku duduk di akar pohon, menatap tanah yang basah. Dadaku sesak, tanpa sebab. Lalu aku menangis. Tanpa suara. Seperti biasa.

Lalu dari balik kabut, seseorang muncul.

Anak laki-laki. Bajunya lusuh tapi rapi. Rambutnya sedikit ikal, jatuh ke dahi. Wajahnya pucat, tapi tidak seperti orang sakit. Lebih seperti... cahaya yang menipis. Namun matanya yang membuatku terpaku—mata hijau kecokelatan yang terasa seperti musim hujan. Tenang, dalam, dan... mengenaliku.

Dia tidak bicara segera. Hanya duduk perlahan di sampingku, menjaga jarak.

"Jangan menangis," katanya akhirnya. Suaranya seperti bisikan angin melewati daun.

Aku ingin lari. Tapi tubuhku tak bergerak. Seolah aku mengenalnya—meski aku yakin aku belum pernah bertemu dengannya.

"Siapa kamu?" tanyaku. Suaraku lebih kecil dari biasanya.

Ia mengulurkan tangan. "Aku Ethan. Kalau kamu mau... aku bisa jadi temanmu."

Tangannya menggantung di udara. Aku tak langsung menjabatnya. Tapi aku juga tak menolak. Ada sesuatu dalam caranya bicara, dalam caranya diam, yang terasa familier. Seperti suara lagu yang pernah kau dengar di masa kecil, tapi tak tahu dari mana asalnya.

Saat akhirnya aku menyentuh tangannya, rasanya hangat. Nyata. Tapi seperti menyentuh bayangan matahari di permukaan air.

***

Hari-hari setelah itu berubah.

Kami bertemu hampir setiap sore. Di bawah pohon flamboyan. Kadang hanya duduk. Kadang bercerita. Tapi selalu tenang. Ethan tak pernah menertawakanku. Ia tidak takut saat aku bercerita tentang perempuan tanpa wajah atau anak kecil yang berdiri di ujung dapur.

"Mungkin mereka hanya ingin kau tahu bahwa mereka ada," katanya suatu kali.

Sederhana. Tapi rasanya seperti angin sejuk yang menyentuh luka lama.

Ethan tinggal di rumah besar di atas bukit. Rumah tua, sudah kosong lama, yang katanya angker, bekas nyonya Belanda mengasingkan anak-anak pesakitan atau yang tidak diakui keberadaannya. Rumah yang selalu gagal ditinggali siapa pun lebih dari setahun. Begitu ceritanya, tapi aku tidak pernah percaya. Buktinya Ethan tinggal di sana bersama keluarganya, meski aku tak pernah melihat mereka.

"Kenapa kamu tinggal di sana?" tanyaku.

Ethan mengangkat bahu. "Ayah suka tempat tinggi. Katanya, di kota terlalu banyak suara."

Aku ingin bertanya apakah ia punya ibu. Tapi kutahan. Ada kesedihan samar dalam senyumnya.

"Kenapa kamu nggak sekolah?" tanyaku di hari lain.

"Ayah bilang, pelajaran bisa datang dari mana saja," jawabnya.

Dan itu cukup bagiku.

Kami mulai berbagi cerita. Tentang kupu-kupu hitam sebelum hujan. Tentang suara gamelan di tengah malam. Tentang mimpi buruk yang terasa nyata. Saat aku menunjukkan gambar-gambarku—makhluk-makhluk dari sisi lain dunia—Ethan melihatnya seperti melihat lukisan indah.

"Gambarmu jujur," katanya. "Tidak semua orang bisa menggambar sesuatu yang tak terlihat."

“Seperti aku?” tanyaku saat dia bilang opanya suka hal-hal yang tak terlihat.

Ethan tersenyum. “Seperti kita.”

Ia bahkan membawakanku buku-buku tua dari perpustakaan rumahnya. Buku dengan huruf aneh, penuh simbol. Kami membolak-balik halaman, menebak artinya. Dunia kami tumbuh pelan-pelan, diam-diam, seperti jamur di bawah hujan.

Kami menciptakan permainan sendiri. Menamai angin yang bertiup dari arah barat dengan nama-nama kuno. Menggambar peta dunia imajinasi kami di atas daun pisang. Di salah satu peta itu, Ethan menulis: "Untuk Bulan, yang berani melihat."

***

Sejak bertemu Ethan, dunia yang dulu sunyi kini penuh gema. Bayangan-bayangan di rumah berhenti mengganggu. Sosok di dapur tak lagi muncul. Seolah semuanya tenang. Seolah Ethan membawa semacam keseimbangan yang tidak pernah kupunya sebelumnya.

Namun, saat malam terlalu dingin dan kabut datang terlalu cepat, aku merasa Ethan mulai menjauh. Bukan menghilang. Tapi seperti sesuatu menariknya pergi pelan-pelan. Tatapannya menjadi lebih sayu. Kalimatnya lebih pendek. Kadang ia datang terlambat. Kadang tidak datang sama sekali.

Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.

Tapi yang paling menakutkan bukan saat Ethan tidak datang. Yang paling menakutkan adalah... saat aku mulai merasa bahwa aku mulai menghilang.

Saat aku melihat diriku di cermin, dan mata yang menatap balik terasa bukan milikku. Tanganku dingin. Suaraku pelan. Langkahku ringan. Seolah aku mulai menjadi seperti makhluk-makhluk itu—yang hanya ingin dilihat, didengar, diakui keberadaannya.

Aku mulai menulis surat untuk Ethan. Surat yang tak pernah kukirim. Kadang hanya satu kalimat: "Aku di sini." Kadang hanya namanya. Kadang aku menggambar peta tempat-tempat yang kami ciptakan, berharap ia membaca dari jauh.

Ibuku mulai curiga.

"Siapa Ethan?" tanyanya.

"Temanku," jawabku.

"Yang mana? Ibu nggak pernah dengar ada anak bernama Ethan di sekolahmu."

Aku hanya menatap meja. "Dia nggak sekolah di sana. Dia tinggal di rumah besar di atas bukit."

Ibuku diam lama. Tatapannya seperti mencoba melihat ke balik kata-kataku.

"Kalau kamu bisa melihat sesuatu, pastikan itu tidak menyakitimu," katanya akhirnya. Suaranya lembut, tapi ada rasa takut di baliknya.

Aku mengangguk. Tapi aku tahu—aku tak mungkin mundur.

Karena hanya Ethan yang bisa melihatku seperti aku. Hanya Ethan yang tak menatapku seperti makhluk asing. Ia tidak menyuruhku diam. Tidak menyuruhku berubah. Ia hanya duduk di sampingku dan bilang, "Aku di sini."

Meski aku tahu, kabut akan mengambilnya kembali.

***

Suatu sore, aku memberanikan diri bertanya, "Mau ikut ke rumahku? Ada pohon rambutan besar di halaman. Ibu suka buat teh hangat."

Ethan menggeleng cepat, wajahnya mendadak muram. "Aku nggak bisa ke rumahmu."

"Kenapa?" tanyaku pelan, kecewa.

Dia menunduk, mencabuti rumput di tanah. "Ada sesuatu di rumahmu. Energi yang menolak aku. Terlalu terang. Terlalu... penuh."

Aku terdiam. Mencoba memahami maksudnya. "Kamu takut?"

Ethan mengangkat bahu. "Bukan takut. Tapi kalau aku terlalu dekat... aku bisa hilang lebih cepat."

Kata-katanya seperti kabut yang menyelinap ke dalam dada. Dingin, tapi tak bisa ditolak.

Sejak itu, aku tak pernah memintanya lagi. Aku hanya menemuinya di pohon flamboyan, tempat di antara dunia, tempat kami bisa menjadi siapa saja tanpa takut dibentuk ulang oleh kenyataan.

Dan untuk pertama kalinya, dunia terasa cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Halo Benalu
1060      491     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
My Private Driver Is My Ex
433      290     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Andai Kita Bicara
670      516     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
My First love Is Dad Dead
55      52     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Sendiri diantara kita
1246      719     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Lepas SKS
179      156     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Ręver
7288      1978     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Temu Yang Di Tunggu (up)
19567      4076     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Sweet Punishment
208      136     10     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
Batas Sunyi
1960      893     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...