Italia menyambutku dengan langit biru dan udara musim semi yang hangat. Bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan—tulip, camelia, dan tentu saja lavender yang aromanya menyeruak lembut dari taman-taman tersembunyi di balik pagar batu. Ini bukan Italia yang dipromosikan brosur wisata; ini adalah Italia yang hidup dan menyimpan rahasia dalam dinding-dinding tua dan lorong-lorong sempitnya.
Semuanya tampak terang, terlalu terang untukku yang terbiasa hidup dalam pelukan kabut Cisarua. Di sana, kenangan berbisik lembut lewat suara burung dan embun pagi. Tapi di sini, kenangan menyerbu seperti bunga liar yang tak bisa dihentikan. Tak ada tempat untuk sembunyi, bahkan aroma tanah pun terasa seperti mengajak bicara.
"Tempat ini... terlalu hidup," gumam Dira sambil memandang bunga-bunga yang bergoyang pelan. "Cantik, tapi kayak nggak ngasih ruang buat sembunyi dari luka."
Lintang mengangguk pelan. "Di Cisarua, luka bisa tetap tersembunyi. Tapi di sini... semua dipaksa mekar."
Aku diam saja. Mataku menyusuri lanskap asing yang terasa mencengkeram. Aku mencium lavender, tanah basah, matahari, dan sejarah. Semua aroma itu menyatu, menusuk bagian dalam diriku yang belum siap, tapi harus menerima.
Aku tidak sendiri di rumah keluarga Alviano. Dira dan Lintang datang bersamaku, masing-masing membawa alasan yang berbeda, tapi tujuan kami sama: menghadapi kebenaran.
Lintang, yang selama ini selalu rasional dan tenang, ternyata menyimpan beban sendiri. Dalam perjalanan kami menelusuri sejarah keluarga Van Der Maes-Sutrisno, ia menemukan sesuatu yang mengguncangnya: keluarganya ternyata punya hubungan bisnis yang erat dengan mereka. Rasa bersalah itu perlahan menyusup ke dalam dirinya—ia memang bukan pelaku, tapi merasa ikut terlibat. Ia takut aku menganggapnya pengkhianat. Tapi bagiku, kehadirannya justru adalah bentuk tanggung jawab dan keberanian.
Dira datang dengan alasan sederhana—tak tega membiarkanku pergi sendirian. Tapi aku tahu, ia pun sedang mencoba melarikan diri. Perceraian orang tuanya, kepergian kakaknya, semua itu mengguncang fondasi hidupnya. Ia skeptis tentang hal-hal gaib, tapi sejak kejadian aneh di rumah tua Cisarua dan perubahan dalam diriku, rasa ingin tahunya tumbuh. Italia menjadi pelariannya—dan mungkin juga, panggilan jiwanya.
Kami disambut oleh Dr. Sora di rumah batu tua yang diselimuti tanaman merambat berbunga. Rumah keluarga Alviano. Senyumnya lembut, matanya menyimpan beban yang telah lama dipikul. Meski tubuhnya tampak rapuh, ada kekuatan yang tak terlihat memancar dari dalam dirinya—seperti langit musim semi: cerah namun penuh keteguhan. Ia menyuguhkan teh herbal dan kue lemon, menyelimuti kami dalam kehangatan yang tenang, namun sarat luka yang telah lama berdamai.
Hari-hari pertama kami dipenuhi dengan penelusuran dokumen. Foto pernikahan Ayunda dan Travis, surat nikah yang tersimpan rapi, akta kelahiran Ethan, hasil pemeriksaan medis Ethan, surat-surat cinta yang disembunyikan dalam kotak besi kecil—semuanya kini menjadi bukti nyata. Setiap lembar terasa seperti suara kecil dari masa lalu. Aku sering tercekat, dan setiap kali itu terjadi, Lintang menggenggam tanganku diam-diam.
Kami bekerja dalam diam. Dira memindai dokumen, Lintang membuat bagan garis waktu. Aku, dengan tangan gemetar, membuka jurnal harian Ayunda, melihat kembali foto-foto masa kecil Ethan. Sebagian dokumen dalam bahasa Italia, sebagian dalam tulisan tangan yang nyaris tak terbaca. Di antaranya, kami temukan catatan medis Ethan: pneumonia akut, kelainan neurologis langka, trauma berat, dan mimpi buruk yang berulang—tentang saudara laki-laki yang hilang, tentang suara-suara dari balik dinding. Dalam jurnal itu tertulis kata-kata yang membuat bulu kudukku berdiri: "bayangan lain" dan "selain aku."
Beberapa hari kemudian, Dr. Sora memberikan sebuah kotak kayu tua padaku. "Ethan ingin kau memilikinya," katanya.
Di dalam kotak itu, aku menemukan beberapa peninggalan pribadi Ethan: buku catatan kecil yang penuh coretan puisi dan mimpi, kalung kecil yang pernah kulihat dipakai Ethan semasa hidup, dan lembaran surat yang ditulis tangan. Semuanya adalah potongan yang selama ini kucari—bukti nyata keberadaan Ethan, cinta yang pernah ada, dan sejarah yang selama ini tersembunyi.
Aku membuka salah satu surat. Surat itu bertanggal beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang kesembilan, yang tak pernah sempat dirayakan.
"Untuk Rembulan, kalau suatu saat kamu membaca ini… artinya aku mungkin sudah tidak bisa menepati janji itu dengan cara biasa. Tapi aku akan tetap di sini. Entah sebagai angin, cahaya, atau bunga liar di halaman. Aku akan tetap di sini… dan menjagamu."
Aku menggenggam kertas itu erat. Air mata menggenang, tetapi aku tak ingin jatuh dalam duka. Justru kini, dengan surat itu, aku merasa semakin utuh.
Di dalam kotak itu juga terdapat sebuah kamera yang menyimpan satu video. Video itu menampilkan Ethan kecil, dengan senyum cerahnya, mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah menjadi temannya. Ia tahu bahwa suatu hari nanti kami tak akan bisa bertemu lagi, tapi ia ingin aku tahu bahwa aku sangat berarti baginya.
Kotak itu tidak hanya berisi video dan surat wasiat, tetapi juga menyimpan serangkaian hadiah kecil, masing-masing dibungkus dengan rapi dan diberi label tahun. Ada kotak musik kecil berukir bunga liar untuk ulang tahun ke-12, yang memainkan lagu kesukaanku. Sebuah buku catatan kulit untuk ulang tahun ke-15, penuh dengan sketsa-sketsa Ethan—termasuk puluhan gambar diriku dalam berbagai pose, mulai dari menari di padang ilalang, hingga tertawa sambil memegang segenggam bunga.
Ada juga kalung sederhana yang terbuat dari batu akik dan benang wol untuk ulang tahun ke-18, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan: "Supaya kamu tidak lupa bumi dan langit pernah bersatu di hadapan kita."
Dan pada bagian paling bawah kotak itu, hadiah terakhir: sebuah amplop tertutup dengan kunci kecil di dalamnya, dan secarik kertas bertuliskan: "Untuk hari ketika kamu benar-benar tahu siapa dirimu."
Aku membuka semua warisan itu perlahan. Satu demi satu, potongan puzzle itu menyatu. Kami berhasil mendapatkan bukti yang cukup untuk mengungkap segalanya. Keberadaan Ethan dibuktikan. Sejarah keluarga diluruskan, dilengkapi dengan utuh. Tidak hanya keluarga Van Der Maes-Sutrisno namun juga Alviano.
Bersama Lintang, aku menyusun ulang laporan penelitianku dengan versi final. Kali ini, bukan sekadar kisah personal. Tapi sejarah. Sejarah yang selama ini terhapus.
Aku mengirimkan draf laporan itu melalui email ke dosenku. Beberapa hari kemudian, balasan singkat datang:
“Ini… bisa dipertanggungjawabkan.”
Aku menunduk pada layar laptopku. Beban yang lama mengimpit pundakku mulai terangkat. Aku telah memperbaiki namaku. Aku telah melengkapi sejarah.
***
Hari-hari terakhir kami di Italia tiba. Besok kami sudah harus kembali ke Indonesia, bersiap untuk menyerahkan laporan penelitian untuk kemudian dipertanggungjawabkan.
Sebagai kejutan dan hadiah terbesar, Dr. Sora mengajak kami berjalan-jalan ke luar rumah untuk terakhir kalinya.
“Masih ada satu tempat yang ingin kutunjukkan sebelum kalian pulang,” ucapnya pelan.
Kami melintasi taman belakang rumah sakit keluarga, menyusuri lorong-lorong sunyi hingga tiba di taman lavender yang selama ini hanya disebut dalam catatan dan surat cinta. Harumnya masih sama. Hangat, lembut, dan menyembuhkan.Di bawah sinar matahari Italia yang hangat, taman itu tampak seperti potongan kecil dari dunia lain.
“Ini taman kesukaan Ayunda,” kata Dr. Sora. “Dia sangat menyukai lavender. Kami membangunnya untuknya. Agar ia bisa merasa damai.”
Di sudut taman itu, berdiri tiga makam kecil berjajar rapi. Nisan batu putih dengan ukiran yang terlihat bersahaja namun sederhana berdiri tenang. Dikelilingi semak-semak bunga liar yang tumbuh bebas. Lavender di sekitarnya tampak lebih pekat, seolah tahu mereka sedang mengawal sesuatu yang suci.
“Travis, Ayunda… dan Ethan,” ujar Dr. Sora, suaranya mengendap.
“Ethan sempat dirawat di Jakarta,” lanjutnya. “Tapi fasilitas di sana tak memadai. Kami terpaksa membawanya kembali ke Italia, meski dia menolak keras. Dia tidak ingin meninggalkanmu, Rembulan.”
Air mataku jatuh begitu saja. “Aku… aku nggak tahu…”
Ia menggenggam bahuku dengan tangan tuanya. “Maafkan aku. Kami membuat keputusan yang salah. Seandainya aku menuruti permintaan terakhir cucuku, mungkin keadaannya akan berbeda. Aku tahu kau kehilangan tanpa sempat berpamitan. Aku tahu betapa sulitnya hidupmu setelah itu. Sungguh maafkan aku.”
Tangis itu akhirnya pecah, bukan hanya karena duka, tapi karena ada bagian dari diriku yang akhirnya merasa dikenali. Di antara bunga lavender dan cahaya musim semi, aku menemukan kedamaian yang aneh—sebuah kebenaran yang akhirnya berakar di tempat yang tepat.
Dira menahan napas di belakangku, sementara Lintang hanya menunduk. Musim semi ini terlalu jujur. Ia tidak memberi tempat bagi kenangan untuk sembunyi.
***
Malam harinya, setelah selesai berkemas untuk pulang ke Indonesia, aku berjalan sendiri menyusuri lorong gelap yang sudah tak asing. Dira dan Lintang sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Langkahku membawa ke taman kecil di belakang rumah sakit, tempat di mana lavender tumbuh subur di antara bebatuan, dan tiga nisan berdiri dalam diam yang khusyuk.
Aku berjongkok di depan batu nisan Ethan.
ETHAN SORIENE ALVIANO
29 Februari 2003 – 24 Januari 2012
“Kita cuma punya satu sama lain, dan itu cukup.”
Ukiran sederhana itu tampak bersahaja, tapi justru di situlah letak kekuatannya. Seperti Ethan, tak pernah berusaha menjadi siapa pun selain dirinya sendiri. Aku mengeja namanya perlahan, berharap menemukan keberanian dari tiap huruf yang terukir.
Semilir angin pagi membawa harum bunga lavender, mengelus pipiku seperti belaian lembut dari tangan yang pernah kutahu—hangat, menenangkan, tak menghakimi. Dalam momen itu, aku merasakannya: kehadiran Ethan. Nyata, utuh, seperti pelukan yang tak perlu dijelaskan.
Aku menaruh bunga liar yang kupetik sepanjang jalan. Bukan mawar, lavender, atau anggrek. Tapi bunga yang tumbuh tanpa izin, tanpa rekayasa. Seperti rasa ini, seperti ingatan yang tak bisa dikubur.
Lalu aku berbisik pelan, "Sekarang aku tahu siapa aku. Dan kenapa kamu memilihku. Aku akan selalu ingat, Ethan. Akan aku pastikan seluruh dunia tahu kamu ada."
Aku terdiam. Kali ini, tanpa air mata. Hanya keheningan yang dalam. Aku menatap nama yang terukir, bukan sebagai kehilangan, tapi sebagai bagian dari sejarah yang kini telah kujaga dan kukembalikan.
Di hadapan nisan itu, aku berbisik dalam hati.
“Aku sudah tahu, Ethan. Dan aku akan terus hidup, seperti yang kamu minta.”
Lavender bergoyang pelan ditiup angin. Dan untuk sesaat, dunia terasa damai.
Sesaat sebelum aku beranjak, terdengar suara yang amat familier. Tidak terlalu jelas, hanya serupa bisikan di antara desir malam.
"Ethan?" aku berseru, melihat sekeliling. Nihil. Namun aku yakin itu adalah suara Ethan dan aku tahu dia ada di sini meski tak terlihat.
"Masih banyak yang harus kamu lakukan. Tapi aku tenang sekarang. Kamu sudah tahu… dan percaya."
"Ethan… apa aku boleh terus mengingatmu?" tanyaku lagi.
"Selama kamu ingin. Tapi kamu juga harus hidup, Rembulan. Sepenuhnya."
Malam itu aku menyelesaikan laporan tugas akhirnya. Aku tidak hanya mengumpulkan sejarah keluarga Van Der Maes-Sutrisno dan Alviano, tetapi juga menulis satu bab khusus yang kuberi judul "Janji yang Tak Pernah Padam".
Wasiat Ethan telah sampai. Bukan dalam bentuk harta atau warisan. Tapi dalam bentuk keberanian—untuk tetap mencintai meski tak terlihat, untuk menjaga janji di luar batas dunia, dan untuk terus hidup meski ditinggal yang terkasih.
***
Namun tepat saat semua jejak mulai tuntas dan terang, bayangan lain kembali datang. Sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.
Di antara tumpukan arsip dan foto lawas yang belum seluruhnya terbaca, mimpi-mimpi itu kembali. Tak lagi sekadar pengulangan kenangan Ethan, melainkan kehadiran baru yang menekan kesadaranku setiap malam.
Seorang anak laki-laki muncul. Wajahnya samar, nyaris seperti Ethan—tapi ada yang berbeda. Tatapannya lebih tajam, langkahnya lebih berat, dan di matanya… menyala sesuatu yang bukan sekadar kesedihan. Tapi dendam.
Dalam mimpi terakhir sebelum keberangkatan kami, anak itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya datar namun menggema.
"Namaku bukan Daniel."
Aku terbangun dengan peluh dingin dan detak jantung yang memburu. Aku terduduk lama dalam gelap, napasku terputus-putus, sementara kata-kata itu terus terngiang—bukan sebagai pertanyaan, melainkan peringatan.
Sesuatu belum selesai.
Dan ini… bukan sekadar kisah yang telah berlalu.