Katamu dia hanya bayangan, lantas mengapa aku menggigil tiap kali senyumnya kembali?
Katamu dia tidak pernah ada, lantas siapa yang memelukku dalam ingatan sebelum tidur?
Yang tidak nyata tak seharusnya menyisakan luka. Tapi Dia... terlalu ada untuk dilupakan, terlalu hilang untuk ditemukan.
***
Sejak mengetahui fakta tentang Ethan, aku merasa campur aduk antara penasaran dan ketakutan. Tapi aku tahu, kalau aku terus menghindar, jawabannya tak akan pernah datang. Aku harus pergi ke Cisarua Lama.
Dira dan Lintang langsung bergerak membantu. “Kamu harus siap fisik dan mental, Rembulan,” kata Dira sambil menyusun daftar barang yang harus kubawa: jaket tebal, senter, obat-obatan, serta kamera untuk dokumentasi.
Lintang menawarkan diri mengantar ke Cisarua Lama, sekaligus memastikan aku bisa mengakses dokumen-dokumen tambahan yang mungkin tersembunyi di kantor desa atau perpustakaan lokal.
Malam sebelum keberangkatan, aku mengepak perlengkapan dengan hati-hati, memastikan semua sudah siap. Suara angin di luar kamar membuatku teringat pada kabut yang selalu menyelimuti bukit di Cisarua Lama. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gugup yang tiba-tiba menguasai.
Dira datang berkunjung, membawa beberapa buku tua yang mungkin bisa membantu menambah wawasan tentang sejarah rumah itu.
“Ini mungkin akan berguna kalau kamu mau ngobrol dengan warga atau mencari petunjuk di lapangan,” katanya sambil menyerahkan satu map berisi catatan dan foto-foto tua.
Lintang mengirim pesan singkat, “Aku sudah kontak beberapa orang di desa. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aja. Kita siap bantu.”
Aku tersenyum tipis, merasa sedikit lebih kuat karena tahu aku tidak sendiri.
Saat pagi menjelang, aku berdiri di depan cermin, menatap bayangan diri sendiri. Ada keteguhan yang baru—bukan hanya ingin menguak misteri keluarga Van Der Maes–Sutrisno, tapi juga mencari potongan masa lalu yang selama ini hilang.
Perjalanan ke Cisarua Lama bukan hanya soal menemukan rumah tua. Ini tentang menemukan diriku sendiri.
Senja menggantung berat di langit Cisarua ketika mobil yang kutumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah rumah tua di atas bukit. Kabut turun pelan-pelan, menyelubungi pepohonan dan jalan setapak dengan kelembaban yang dingin. Siluet rumah besar itu muncul samar di balik selimut kabut, seperti bangunan dari mimpi yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku.
Aku turun perlahan, langkahku terasa ringan tapi hatiku berat. Setiap helaan napas membawa aroma lembab kayu tua, bercampur debu dan lumut—bau yang anehnya terasa familier. Udara di Cisarua Lama terasa berbeda. Lebih sunyi, lebih berat, seolah setiap daun yang berguguran membawa cerita yang belum selesai. Di kejauhan, rumah besar bergaya kolonial itu berdiri seakan menantikan kedatangan kami. Cat putihnya sudah mengelupas, jendela kayu terbuka sebagian, dan semak liar merambat di dindingnya. Namun dari kejauhan pun, aku tahu: ini rumahnya. Rumah dalam mimpi-mimpiku. Rumah Ethan.
Lantai depan berderit pelan di bawah sepatuku, menyambut seperti sahabat lama yang menunggu terlalu lama. Pagar besar, yang terlihat rapuh namun kokoh, ternyata tidak terkunci. Dengan sentuhan kecil, daun pintu itu terbuka perlahan, mengeluarkan decit rendah yang menggetarkan dadaku.
Seolah rumah ini memang menunggu kedatanganku.
Aku berdiri di depan rumah itu, dan seperti sebelumnya, rasa keterikatan itu menghantamnya dengan kuat. Seolah aku pernah berlari di halaman itu, pernah menyentuh gagang pintu kayu yang sekarang lapuk dimakan usia, pernah mendengar suara anak kecil tertawa dari lantai atas.
Aku menelan ludah. Langkahku melambat ketika kami mencapai gerbang kayu tua. Tanganku gemetar saat menyentuh pagar yang berderit ringan saat dibuka. Ada getaran aneh yang menjalar dari ujung jari hingga ke dada.
Begitu kakiku menyentuh tanah di dalam pekarangan, ada desir aneh yang terasa. Bukan rasa takut. Lebih seperti... rasa pulang.
Rumput liar menjalar ke mana-mana. Tapi jejak jalan setapak dari batu masih bisa kulihat. Aku mengikutinya, langkah demi langkah, sampai tiba di beranda rumah. Tanganku menyentuh pegangan pintu kayu besar yang mulai lapuk. Lalu aku mendorongnya perlahan.
Pintu itu terbuka dengan suara nyaring, seperti menguap setelah tidur panjang.
Udara di dalam rumah lebih hangat dari luar. Aneh. Sinar pagi menerobos lewat jendela-jendela besar yang kaca-kacanya sebagian retak. Debu beterbangan dalam cahaya. Aku berdiri di ruang tamu luas yang dindingnya dipenuhi lukisan tua. Salah satunya... aku pernah lihat di dokumen yang kutemukan. Lukisan seorang wanita dengan mata sedih dan rambut disanggul. Ayunda Retma. Aku tahu tanpa perlu membaca plakat di bawahnya.
Interiornya gelap dan dingin, tapi tak menyeramkan. Ada aura kesepian yang kental, seperti tempat ini pernah ditinggalkan terlalu lama namun menyimpan harapan bahwa seseorang akan kembali. Langit-langit tinggi, panel kayu kusam, dan tirai tebal yang menjuntai sampai lantai. Aku berdiri di ambang pintu cukup lama, menatap sekeliling seperti mencari bayangan masa lalu yang belum sempat menyelesaikan kisahnya.
Lorong panjang membentang di depan, dindingnya dihiasi lukisan-lukisan tua dalam bingkai emas kusam. Sorot mata para tokoh di lukisan itu seakan mengikuti setiap gerakanku, diam tapi sadar. Ada perasaan tertusuk di ulu hati, seperti aku pernah berjalan di sini. Seperti aku pernah menjadi bagian dari tempat ini. Setiap langkah yang kuambil, setiap napas yang kutarik, seolah diawasi. Aku menahan diri untuk tidak menatap terlalu lama—ada sesuatu di sana, tapi belum waktunya untuk tahu.
Tangga besar di tengah rumah menggoda mataku. Tangga spiral yang mengarah ke lantai dua berdiri di ujung lorong, melingkar bagaikan lilitan waktu yang tak putus. Saat kakiku menjejak anak tangga pertama, jantungku tiba-tiba berdebar keras. Ada getaran naluriah dalam tubuhku yang menolak naik ke sana. Sesuatu yang menyimpan trauma yang belum bernama. Sebuah sensasi jatuh yang terpatri, tapi tak kuingat dari mana.
Apakah itu kenangan atau hanya imajinasi? Aku tidak tahu.
Aku naik perlahan, lantai kayu berderit pelan. Di lantai atas, lorong panjang menyambut. Ada pintu-pintu tua di kedua sisi, semuanya tertutup kecuali satu.
Aku mendekat. Ruangan itu tampak seperti kamar anak-anak. Dindingnya dihiasi kertas dinding pudar bergambar awan. Di sudut ruangan, ada tempat tidur kecil dengan seprei biru muda. Ada lemari besar menjulang sampai langit-langit, penuh dengan buku, boneka beruang berkacamata yang kacanya retak dan berdebu, Di sebelahnya, mainan kayu kecil berbentuk kuda, dengan huruf “E” terukir di bagian perutnya.
Aku terdiam.
Sesuatu dalam diriku pecah perlahan.
Aku mengambil mainan itu. Ringan, namun terasa seperti mengangkat serpihan waktu. Sejenak, dunia terasa diam. Seakan rumah ini berhenti bernapas hanya untuk mendengarkan detak jantungku.
Lalu datanglah kilasan itu.
***
Saat tanganku menyentuh mainan kecil itu, sebuah bayangan tiba-tiba meledak di kepala—terlalu cepat, terlalu tajam. Aku melihat diriku sendiri—lebih muda, lebih kecil, duduk bersila di lantai, tertawa bersama seorang anak laki-laki. Kami menggambar sesuatu. Kertas kusut, warna-warni tak teratur, tapi senyum kami jelas. Dan suara itu...
"Cepat, Bulan, warnai langitnya ungu! Langit ungu itu ajaib!"
Aku tercekat. Suara itu... aku mengenalnya.
Bayangan itu lenyap secepat datangnya. Nafasku memburu. Aku berdiri sempoyongan, menyusuri rumah dengan jantung yang terus menabuh dadaku.
Aku masuk ke ruang tamu, dan menemukan piano kecil yang sebagian tuts-nya rusak. Tanpa sadar, jariku menekan satu tombol. Nada lembut mengalun—dan dari udara, terdengar gema samar: nyanyian perempuan. Suaranya tenang, menenangkan, menyanyikan lagu pengantar tidur dalam bahasa yang hampir kulupa.
“...bintang turun, bulan pulang, anak kecil dalam peluk sayang…”
Aku menutup mata. Dan aku melihatnya. Seorang perempuan dewasa duduk di depan piano, rambutnya gelap dan ikal, senyumnya lembut seperti senja. Di sampingnya—anak laki-laki itu lagi. Ethan. Ia menepuk tangan mengikuti irama, tertawa kecil.
Gemetar menjalari seluruh tubuhku. Itu bukan imajinasi. Itu adalah memori.
Langkah kaki kecil terdengar dari lantai atas. Pelan, seperti berlari di karpet usang. Aku mematung, menajamkan telinga. Langkah itu berhenti. Aku berlari ke atas, membuka setiap pintu—tapi kosong. Tidak ada siapa-siapa. Hanya debu dan keheningan.
Namun saat aku menatap cermin besar di ujung lorong atas, aku kembali terpaku.
Aku melihat diriku—tapi di sampingku, ada seorang anak kecil berdiri diam. Ia memandangku dari pantulan, tapi tidak ada di dunia nyata. Wajahnya lembut, matanya besar dan sendu. Ia tidak menakutkan. Hanya... sangat sunyi.
Aku membalikkan badan. Tidak ada siapa-siapa.
Tapi aku tahu.
Dia ada.
Lalu tiba-tiba—
Dunia bergetar.
Dalam sekejap aku jatuh terduduk, ada sesuatu yang meledak seperti petir dalam kepalaku. Tanpa peringatan. Tanpa ruang untuk menolak.
Dan seperti pintu yang dibuka paksa dari dalam, semuanya menghantamku dalam satu tarikan waktu.
Aku tidak lagi berada di kamar itu. Aku berdiri di sebuah taman kecil—terang oleh sinar matahari yang tak pernah kulihat di dunia nyata. Rumput hijau menyentuh mata kaki. Terdengar suara tawa... tawaku. Dan tawa Ethan.
Kami duduk di bawah pohon flamboyan besar, dikelilingi kertas gambar dan krayon-krayon yang mencoret tanah. Aku menggambar rumah. Ia menggambar langit.
“Langitnya harus biru tua,” katanya, mengerutkan kening. “Biar seperti malam terakhir kita di sini.”
Dalam satu versi, aku berdiri di halaman belakang rumah itu, bunga-bunga bermekaran, suara burung-burung kecil, dan tawa anak-anak yang melayang di udara. Sinar matahari menyinari rerumputan, dan di tengahnya, aku—masih kecil, berlari dengan rok putih yang berkibar.
Ethan berlari di sampingku, membawa baling-baling kertas di tangannya. Kami tertawa, memanggil satu sama lain. Suara kami... begitu jelas.
“Bulan, jangan ke sana! Nanti jatuh!” serunya.
Tapi aku terus berlari, tak takut. Kami mengejar kupu-kupu, melintasi semak, hingga akhirnya bersembunyi di balik pohon besar dekat pagar belakang. Ethan meraih tanganku, menggenggamnya kuat.
Matanya menatap mataku. “Kalau nanti aku harus pergi... kamu harus ingat. Jangan lupakan aku, ya?”
Aku mengangguk waktu itu. Mengerti. Menerima.
“Kalau kita harus pergi,” ucapku lirih, “kita akan ke mana?”
Ethan tersenyum—senyum yang belum pernah kulihat di dunia nyata, tapi begitu akrab. “Kita nggak akan pergi ke mana-mana. Kita akan tetap di sini. Selamanya.”
Selamanya. Kata itu menusuk di dadaku, seperti janji yang patah.
Tiba-tiba kilasan berganti.
Taman runtuh.
Langit gelap.
Aku berlari menuruni tangga spiral sambil menangis, memanggil nama Ethan. Kertas-kertas gambar terbang di udara seperti daun-daun gugur.
“Ethan! Di mana kamu?!”
Di balik pintu ruangan kecil, aku menemukannya. Aku melihat tubuh kecil Ethan terbaring di kasur besi dengan sprei putih, wajahnya pucat, napasnya berat. Matanya setengah terbuka. Tangannya kurus dan dingin.
Di sekelilingnya, suara orang dewasa bertengkar dalam bisikan panik. Seorang wanita menangis histeris. Seorang pria membanting pintu dan pergi.
“Dia sakit karena tempat ini. Kita seharusnya tidak tinggal di sini!” suara wanita itu meraung. Wanita itu menoleh ke arahku, matanya berkilat ketakutan. “Anak ini... dia tahu terlalu banyak...”
Aku berjongkok di samping tempat tidur. Menggenggam tangan Ethan. Terlalu kecil, terlalu takut.
“Jangan pergi... kamu janji... kamu bilang...”
Ethan menoleh. Wajahnya pucat. Matanya basah.
“Aku... maaf, Bulan. Aku nggak kuat lagi... tapi kamu harus ingat aku...”
Ia menatapku dengan tatapan penuh permintaan maaf—dan dalam sekejap, tubuhnya mulai retak. Seperti patung keramik, tubuh Ethan pecah dari dada, merekah perlahan—sinar putih menyembur dari dalam dirinya, lalu serpihan itu… melayang. Hilang. Satu persatu.
“Aku harus pergi, Bulan... tapi kamu nggak boleh lupa aku... meski semua orang bilang aku cuma bayangan.”
Tanganku mencoba meraih wajahnya yang mulai transparan, tapi jemariku hanya menangkap udara kosong.
“Tunggu... TUNGGU! ETHAAANNNN!”
Lalu ia menatapku terakhir kali, dan tersenyum. Senyum yang bahkan tak sempat penuh. Lalu… lenyap. Udara menjadi vakum. Aku menjerit—tapi tidak ada suara keluar. Hanya isak yang tenggelam di ruang yang terlalu sunyi untuk mendengar.
***
Seketika itu juga, aku terlempar kembali ke kamar. Napasku tercekat. Tubuhku gemetar hebat.
Tapi semuanya belum selesai.
Di cermin, aku melihat diriku—tapi bukan aku yang sekarang. Gadis kecil dengan rok putih itu menatapku, berdiri di samping Ethan yang wajahnya setengah terang, setengah gelap. Tangan mereka saling menggenggam. Tapi saat aku mendekat...
CRACK.
Cermin itu pecah, tanpa sebab. Retakan menjalar seperti urat hitam, membelah tepat di antara mata Ethan. Dari celah itu, bukan darah—melainkan tinta hitam—mengalir deras ke lantai, mencoret wajah kami, menutupi kaki kami, hingga seluruh pantulan berubah menjadi gelap.
Suara-suara menghantam:
“Itu hanya imajinasimu.”
“Kamu dulu sering bicara sendiri.”
“Ethan hanya teman khayalan.”
“Kamu terlalu lama di rumah itu—terlalu lama sendiri.”
Aku memeluk kepala, menjerit pelan, mencoba mengusir suara-suara itu.
Lalu... suara Ethan terdengar di balik retakan:
“Kalau kamu lupa... aku mati dua kali.”
Tidak. Aku tahu dia nyata. Aku tahu. Aku INGAT.
Kepalaku terasa seperti meledak. Mataku panas. Pandanganku buram.
Langkah kakiku goyah.
Dunia mulai memutar.
Ruangan itu memanjang... melintir... seperti lorong tanpa ujung.
Boneka-boneka tertawa. Gambar-gambar di dinding meneteskan air mata.
Rumah itu runtuh. Lantainya retak, temboknya roboh. Dunia menarikku ke bawah seperti pusaran air.
Aku tidak bisa lari. Kakiku menancap ke lantai seperti ditanam.
Semua yang kupijak mulai tenggelam. Aku menjerit, memanggil nama Ethan, tapi hanya gema bisikannya yang menjawab:
“Aku di sini, tapi kamu menolak percaya.”
“Kamu yang menghapusku.”
“Kamu...”
Dan aku jatuh.
Tubuhku menghantam lantai dengan bunyi yang tak kudengar. Lalu semuanya gelap. Dingin. Kosong.
***
Dunia nyata kembali dengan sunyi yang menggigit. Cahaya matahari pagi menyusup pelan melalui jendela pecah, menari di antara debu yang melayang. Di lantai kamar, tubuh Rembulan tergeletak miring, menggigil hebat. Napasnya tersengal, mata terbuka tapi tak fokus—penuh air mata yang tak pernah jatuh, hanya menggantung.
Di tangannya, mainan kayu berbentuk kuda kecil tergenggam erat seolah benda itu adalah satu-satunya penghubung ke dunia.
Langkah kaki pelan terdengar. Seorang wanita tua dengan kain selendang lusuh berdiri di ambang pintu. Matanya terbelalak saat melihat sosok muda itu terkapar di lantai kayu tua yang dingin.
“Ya Allah…” bisiknya, terguncang.
Ia mendekat cepat, lututnya gemetar saat berlutut di samping tubuh Rembulan. Tubuh gadis itu kejang pelan, seperti menahan petir dari dalam.
“Dek? Dek, kamu dengar saya?”
Tapi Rembulan tak menjawab.
Hanya satu kata yang keluar dari bibirnya, lirih dan patah-patah—diulang berkali-kali dengan suara yang nyaris tak terdengar:
“…Ethan… Ethan… Ethan…”
Wanita tua itu menatap mainan kayu di tangan Rembulan. Ia mengenal bentuk itu. Sangat mengenalnya.
Dan saat ia menyentuh bahu Rembulan dengan hati-hati, matanya basah—bukan karena takut.
Tapi karena sesuatu yang telah lama dikubur… kini mungkin bangkit kembali.