Paginya, aku bertemu Dira dan Lintang di kafetaria kampus, membawa dokumen-dokumen yang kuperoleh dari arsip keluarga serta beberapa salinan foto yang telah kupindai semalam. Kami duduk di meja pojok, tempat biasa kami menghabiskan waktu untuk sekadar membicarakan tugas kuliah, atau hal-hal aneh yang menarik minat kami. Tapi pagi ini, suasananya berbeda. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara, seperti kami berada di ambang sesuatu yang besar.
Aku menyodorkan foto-foto dan salinan arsip itu ke mereka. Lintang langsung meraih lembaran-lembaran itu dan membacanya dengan saksama, matanya serius menyapu halaman demi halaman. Tangannya berhenti sejenak saat menemukan foto rumah besar bergaya kolonial itu—rumah yang muncul berulang kali dalam mimpiku.
“Kayaknya ini bukan kebetulan,” gumam Lintang. Pandangannya masih terpaku pada gambar rumah itu. “Kalau kamu merasa ada yang menarik, terhubung sama semuanya… mungkin kamu memang harus pergi ke sana.”
Dira mencondongkan badan ke arahku, matanya menyipit, dan senyumnya tipis tapi penuh arti. “Rumah tua seperti ini sering menyimpan lebih dari sekadar sejarah yang tertulis. Kadang, rahasia yang sesungguhnya... justru tersembunyi di balik dindingnya.”
Aku menatap mereka berdua, dan entah kenapa, ada nyala kecil yang perlahan tumbuh di dalam dadaku—bukan sekadar nostalgia, bukan hanya rindu yang samar, tapi harapan. Harapan yang sudah lama redup, tenggelam dalam keraguan dan keheningan masa lalu.
Aku terdiam sejenak, merasakan getaran aneh yang mengalir di seluruh tubuhku. Ini bukan kebetulan. Ini panggilan.
Perjalanan ke Cisarua Lama belum dimulai, tapi aku tahu, segalanya akan berubah. Seluruh hidupku, masa lalu yang kabur, dan mungkin… masa depan yang menunggu untuk kuungkap.
***
Setelah pertemuan itu, aku merasa semangatku menggelora lagi, seperti api yang lama terpendam tiba-tiba menyala. Namun, aku sadar, ini bukan perjalanan yang bisa kulakukan sendirian. Dira dan Lintang langsung menawarkan diri untuk membantuku. Mereka bukan hanya teman, tapi juga sekutu yang siap menyelami masa lalu bersamaku.
Kami bertiga menyusun rencana dengan serius. Dira, dengan jaringannya yang luas lewat organisasi mahasiswa sejarah, segera menghubungi salah satu kenalannya yang bekerja di arsip pemerintah daerah. Orang itu, katanya, punya akses ke dokumen tua yang tidak tersedia untuk umum. Sementara itu, Lintang menyibukkan diri mengumpulkan semua dokumen yang kubawa, mencatat detail kecil yang bisa jadi petunjuk penting. Ia bahkan membuat diagram silsilah kasar berdasarkan nama-nama yang muncul dalam dokumen.
Beberapa hari kemudian, kami duduk di ruang arsip yang dingin dan remang-remang, ruangan sempit yang berbau debu dan kertas tua. Tumpukan map dan berkas-berkas lawas berbaris rapi di depan kami. Di layar komputer, seorang petugas dengan ramah membantu menelusuri data keluarga Van Der Maes–Sutrisno.
Aku menahan napas saat kami membuka catatan silsilah keluarga yang tercatat secara resmi. Garis keturunan bermula dari Willem Van Der Maes dan Retno Sutrisno, menurun ke anak-anak mereka, hingga cucu-cucu yang disebutkan satu per satu. Nama-nama Belanda dan Jawa tercampur rapi di halaman itu, lengkap dengan tanggal lahir, pernikahan, bahkan kematian.
Tapi kemudian, sebuah keanehan muncul. Saat kami mencari nama Ethan—anak laki-laki yang selalu muncul dalam mimpiku dan foto lama—tidak ada satu pun catatan tentangnya. Nama terakhir yang tercatat adalah Ayunda Retma, wanita muda yang menurut dokumen itu adalah keturunan terakhir keluarga ini.
Kami bertiga menatap layar komputer dengan dahi berkerut. Tak percaya, kami meminta petugas mengulang pencarian. Ia mengetik ulang beberapa kata kunci, mengganti ejaan, memeriksa berkas manual yang disimpan dalam rak kayu besar di sudut ruangan.
“Tidak ada,” katanya akhirnya, suaranya datar namun simpatik. “Saya sudah cek database resmi serta salinan mikrofilm. Nama Ethan tidak pernah tercatat sebagai anggota keluarga Van Der Maes–Sutrisno.”
Dira dan Lintang saling pandang. Aku menggeser kursi mendekati petugas dan berkata dengan nada lebih mendesak, “Boleh tolong dicek kembali, terutama dari cabang keluarga Ayunda Retma?”
Petugas itu mengangguk dan mengetik beberapa saat, lalu menunjuk layar. “Ayunda Retma pernah menikah,” jelasnya. “Namun tidak ada catatan mengenai siapa suaminya. Di dokumen resmi, status pernikahannya hanya ditandai dengan catatan bahwa ia pernah menikah, tanpa keterangan pasangan. Dan... tidak ditemukan keturunan darinya.”
Kami kembali meminta pencarian lanjutan, kali ini mencakup dokumen nikah, surat pindah, bahkan laporan rumah sakit dan catatan baptis gereja setempat.
Namun hasilnya tetap sama.
“Ada kemungkinan,” lanjut petugas itu, “kalau memang ada anak dari Ayunda, bisa saja anak itu tidak dicatat secara resmi karena lahir di luar nikah atau ada sengketa keluarga. Tapi sejauh ini, dari dokumen resmi yang kami punya, tidak ada anak bernama Ethan.”
Aku menggeleng pelan, tidak percaya. “Tidak mungkin,” gumamku, nyaris tak terdengar. “Aku yakin Ethan ada. Aku melihatnya. Aku bermimpi tentangnya, bahkan fotonya ada di antara dokumen lama yang kami temukan.”
Petugas itu menatapku penuh empati, seolah memahami konflik yang berkecamuk dalam diriku. “Kadang, sejarah yang kita temukan di atas kertas bukanlah keseluruhan cerita. Bisa jadi ada anak yang tidak diakui, atau ada dokumen yang hilang karena alasan tertentu. Tapi secara hukum dan arsip resmi, nama Ethan tidak pernah tercantum bahkan di catatan keluarga-keluarga yang berhubungan dengan keluarga Van Der Maes-Sutrisno.”
Aku duduk terpaku, tubuhku terasa berat. Rasa sesak merayap dari dada ke tenggorokan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu hidup dalam ingatanku, begitu nyata dalam mimpiku, bisa begitu saja menghilang dari catatan sejarah?
“Bagaimana mungkin?” bisikku pelan. “Kalau dia bukan bagian resmi keluarga, lalu siapa dia sebenarnya?”
Lintang meletakkan tangannya di bahuku, suaranya lembut tapi tegas. “Ini bisa jadi celah besar, Rembulan. Entah dia memang tak pernah tercatat resmi, atau ada sesuatu yang sengaja disembunyikan.”
Dira mengangguk serius, matanya menatapku penuh pemahaman. “Keluarga besar seperti ini biasanya rapi urusannya. Ada dua kemungkinan: Ethan bukan bagian resmi keluarga, atau ada sesuatu yang terjadi sehingga namanya dihapus atau hilang dari arsip.”
Aku memandang mereka berdua, dada berdebar hebat. Misteri ini lebih dalam dari yang kukira. Dan kini, bukan hanya tugas kuliah yang menuntutku. Ada sesuatu yang harus aku ungkap—sesuatu tentang masa laluku, tentang keluarga ini, dan tentang Ethan.
Pikiran berputar tak karuan. Apakah selama ini aku hanya membayangkan sosok itu, bagian dari gangguan yang dulu sempat didiagnosis? Atau… adakah sesuatu yang sengaja disembunyikan dari masa laluku? Sebuah rahasia yang bahkan aku tak berani untuk mengingat?
Rasa bingung dan takut bercampur dalam dadaku. Aku mulai meragukan apa yang selama ini aku yakini—tentang keluarga, tentang mimpi-mimpi, tentang kenangan yang samar tapi menyesakkan.
Namun, di balik keraguan itu, ada dorongan kuat yang terus memanggil: aku harus tahu kebenarannya. Apa pun itu.
***
Hari-hari berikutnya kuisi dengan membongkar ulang dokumen bersama Dira dan Lintang. Kami membuat catatan, mengumpulkan setiap potongan yang bisa menjadi petunjuk. Mengamati dan menyusun kembali diagram silsilah yang semakin rumit secara manual, berharap menemukan potongan yang terlewat. Setiap potongan informasi terasa seperti puzzle yang belum lengkap. Aku bahkan mulai mengumpulkan peralatan untuk perjalanan ke Cisarua Lama: kamera, buku catatan, senter, peta lama yang kupinjam dari bagian arsip, dan rekaman wawancara singkat yang kudapat dari seorang pensiunan pegawai kecamatan yang pernah mendengar cerita soal keluarga itu.
Lalu pada suatu malam, setelah membaca ulang sebuah dokumen keluarga yang kutemukan di perpustakaan daerah, aku terhenti pada satu paragraf yang membuat jantungku berdebar kencang—Potongan berita yang diambil dari koran lama yang hampir tidak terbaca, tertempel di sudut salah satu lembaran dokumen:
“Anak laki-laki itu... meninggal pada usia tujuh tahun, setelah beberapa bulan tinggal di rumah kolonial di Cisarua Lama. Sebuah penyakit yang tak bisa dijelaskan membawa kehancuran bagi keluarga tersebut.”
Anak laki-laki itu. Nama yang tak disebutkan, wajah yang tak dijelaskan, tapi hatiku terasa ditarik kuat ke dalam kalimat itu. Di sudut benakku, bayangan Ethan muncul. Sosok anak laki-laki dalam foto keluarga itu—meski kabur—terlalu mirip dengan wajah yang sering hadir dalam mimpi-mimpiku.
Ini bukan kebetulan.
Malam itu, ketika akhirnya aku tertidur, mimpi kembali datang. Namun kali ini lebih jernih dari sebelumnya.
Aku berdiri di dalam sebuah ruang keluarga yang besar, langit-langitnya tinggi, jendela-jendela kayu memantulkan cahaya bulan. Tempat itu tak asing, meski aku tak pernah menginjaknya dalam dunia nyata. Di tengah ruangan, seorang anak laki-laki duduk diam di lantai. Rambutnya cokelat gelap, mata lembutnya menatapku dengan kesedihan yang dalam namun penuh pengertian. Ia mengenakan pakaian dari masa kolonial—pakaian yang hanya pernah kulihat dalam buku sejarah.
“Kenapa kau di sini?” tanyaku dalam mimpi, suaraku seperti menggema.
Anak itu tak menjawab. Tapi dari arah jendela, terdengar suara lain—suara yang lebih familier.
“Kau bukan hanya anak yang ditinggalkan. Kau adalah bagian dari mereka,” suara Ethan berbisik lembut, nyaris seperti doa. “Temukan jalanmu.”
Aku terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi pelipisku. Namun bukan rasa takut yang menguasai—melainkan keyakinan. Ada sesuatu dalam mimpi itu yang terasa nyata, terlalu nyata untuk diabaikan. Aku tahu, itu bukan hanya mimpi. Itu adalah serpihan ingatan. Tapi milik siapa?
Pagi berikutnya, aku duduk di tepi tempat tidur cukup lama, menggenggam catatan dan menatap foto tua itu. Apa pun yang terjadi di Cisarua Lama, aku tahu, jawabannya ada di sana.
Dan aku akan menemukannya.