Semester baru dimulai tanpa banyak perubahan dalam diriku. Salah satu mata kuliah antropologi sosial yang kuambil mewajibkan kami menyusun tugas akhir tentang sejarah keluarga-keluarga campuran yang pernah berpengaruh di Indonesia. Awalnya, aku mengira ini hanya akan menjadi proyek biasa—mencari nama, menelusuri arsip, menulis laporan. Tapi semua berubah ketika aku menemukan sebuah artikel koran dari tahun 1980-an.
Di lembar yang mulai menguning itu, tertera foto dan nama sebuah keluarga Belanda-Indonesia yang pernah dikenal sebagai filantropis di wilayah Jawa Barat. Van Der Maes–Sutrisno. Nama itu seperti lonceng tua yang tiba-tiba berdentang dalam kepalaku. Aku menatap tulisan itu lama, mencoba mengingat di mana aku pernah mendengarnya.
Rasa penasaran membawaku menyusuri jejak digital. Di situs museum lokal, aku menemukan foto lawas keluarga tersebut. Ada seorang anak kecil berdiri di tengah, rambut cokelat gelap dan mata yang... lembut. Wajahnya kabur, tetapi cukup jelas untuk membuat dadaku berdebar. Sosok itu... entah mengapa, mengingatkanku pada anak laki-laki yang kerap muncul dalam mimpiku sejak kecil.
Sejak saat itu, aku menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan kampus, menelusuri arsip digital dan fisik. Di antara dokumen-dokumen yang nyaris dilupakan, aku menemukan sebuah catatan menarik: di atas bukit tertinggi di Cisarua Lama, tersembunyi di balik pepohonan pinus dan kabut yang tak pernah benar-benar surut, berdiri sebuah rumah besar bergaya kolonial. Rumah itu dulunya menjadi tempat persinggahan musim liburan keluarga Van Der Maes–Sutrisno.
Konon, rumah itu tak hanya megah, tetapi juga menyimpan banyak cerita. Termasuk kisah tentang seorang anak yang sering sakit dan, entah bagaimana, tak pernah benar-benar meninggalkan tempat itu. Ada yang bilang rumah itu berhantu. Tapi warga sekitar juga menghormatinya, sebagai warisan masa lalu yang membentuk desa-desa kecil di sekitarnya.
Aku tak tahu apa yang mendorongku—apakah ini sekadar dorongan akademis, atau ada sesuatu yang lebih dalam. Yang kutahu, hatiku seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat, tapi nyata.
***
Hari itu, aku menemukan diriku di sebuah toko buku tua di pinggiran kota. Di sudut ruangan berdebu, aku membalik halaman dokumen lusuh yang berbau kayu lapuk. Saat sebuah foto hitam-putih muncul di bawah jariku, dunia seolah berhenti berputar.
Foto itu menampilkan rumah besar bergaya kolonial, berdiri megah di atas perbukitan. Kabut tipis menggantung di latar belakang. Di bawah foto itu, ada tulisan tangan pudar: "Rumah Keluarga Van Der Maes-Sutrisno, Cisarua Lama."
Dadaku terasa sesak. Cisarua Lama bukan tempat asing bagiku. Aku tumbuh di sana. Bermain di sungai kecilnya, memanjat pohon jambu, berlari di jalanan berbatu sambil tertawa bersama teman-teman masa kecil. Tapi rumah ini... mengapa aku tak pernah melihatnya? Atau mungkin... pernah?
Ada kenangan samar—tentang seorang perempuan tua yang memberiku permen di beranda luas bercat putih. Tentang tangga kayu berderit, dan suara piano yang sayup-sayup terdengar dari balik pintu tertutup. Tentang bau khas kayu tua yang bercampur dengan aroma bunga melati. Tapi bisa saja itu hanya imajinasi. Atau mimpi yang menyusup ke dalam pikiranku karena terlalu banyak membaca.
Sejak kecil aku memang kerap mengalami mimpi yang terasa seperti potongan kehidupan lain. Namun semua ingatan masa kecilku tak pernah benar-benar utuh. Aku pernah didiagnosis mengidap skizofrenia ringan saat berusia enam belas tahun—dokter menyebutnya sebagai gangguan persepsi awal. Sejak itu, aku harus rutin minum obat penenang dan antipsikotik dari psikiater. Katanya untuk mencegah delusi yang lebih parah.
Ibu tak pernah menjelaskan banyak. Hanya bilang aku sempat sangat gelisah, sering menangis dan bicara sendiri. Setelah itu... sebagian memoriku seperti terhapus. Ada lubang-lubang kosong dalam masa kecilku, seperti kepingan puzzle yang hilang entah ke mana.
Aku merapatkan jaketku. Meski udara di dalam toko lebih pengap daripada dingin, tubuhku menggigil. Pemilik toko masih sibuk dengan rak-raknya, tak menyadari aku berdiri mematung dengan mata terpaku pada sebuah foto. Dokumen-dokumen ini seharusnya hanya menjadi bahan penelitian. Tapi kini, semuanya terasa terlalu dekat. Terlalu nyata.
Di halaman berikutnya, aku menemukan pohon silsilah. Nama-nama Belanda dan Jawa terjalin dalam garis-garis yang rumit. Willem Van Der Maes. Retno Sutrisno. Anak-anak mereka. Cucu. Cicit. Lalu satu nama berhenti tepat di mataku: Ayunda Retma.
Nama itu... aku pernah mendengarnya. Dari Ibu. Dalam bisikan, saat aku kecil. Saat kutanya siapa dia, Ibu hanya menjawab pelan, "Orang lama. Sudah tak tinggal di sini."
Tapi sekarang, semua potongan itu mulai menyatu. Rumah di bukit. Nama-nama asing tapi akrab. Dan ingatan yang terasa bukan sekadar kenangan orang lain, melainkan milikku sendiri.
Tanganku gemetar saat kupotret halaman itu dengan ponsel. Lalu, hampir tanpa sadar, aku bertanya pada pemilik toko, "Pak, rumah ini... masih ada, nggak? Yang di foto ini?"
Ia menatap foto, mengangguk pelan. "Masih. Tapi kosong. Udah lama. Nggak ada yang berani masuk. Katanya sih, angker."
Aku mengangguk, walau mulutku terasa kering. Bukan karena takut. Tapi karena sesuatu di dalam dadaku seperti mendesak keluar, meminta jawaban.
Aku harus ke sana. Ke rumah itu. Ke tempat di mana semuanya mungkin bermula. Karena aku yakin, ini bukan sekadar tugas kuliah. Ini... sesuatu yang lain.
Dan mungkin, hanya rumah itu yang tahu siapa aku sebenarnya.
***
Malamnya, mimpi-mimpi itu kembali menghantuiku. Aku berdiri di tengah jembatan gantung tua yang berderit di setiap hembusan angin. Di bawahnya, jurang yang dalam menganga. Lalu, perlahan, jembatan itu mulai terbakar dari ujung-ujungnya. Api menjalar seperti ular, mendesis, mendekat ke arahku.
Di seberang jembatan, berdiri seorang anak laki-laki. Wajahnya tersamar kabut, tapi aku tahu itu dia—anak dari foto itu. Anak yang selalu muncul dalam mimpiku. Ia berteriak putus asa, "Jangan tinggalin aku!"
Aku ingin melangkah, tapi kakiku seolah tertanam. Kayu jembatan mulai hangus di bawahku. Asap memenuhi paru-paruku. Api membelah kami. Suaranya memekakkan, tapi yang lebih menusuk adalah suara bocah itu—suara yang seolah pernah kudengar entah kapan. Aku menjerit memanggil namanya, tapi tak ada nama yang keluar dari bibirku.
Dalam mimpi lain, aku melihatnya terkurung di balik dinding kaca. Ia memukul-mukul kaca itu dengan panik, mulutnya bergerak tanpa suara. Aku mencoba mendekat, tapi kakiku seperti menapak lumpur. Kabut dingin merayap dari segala arah, menyelimutiku. Kabut itu tebal, menggigit kulitku. Dalam setiap langkah yang kutempuh, anak itu semakin jauh, seolah menunggu tapi tak bisa kujangkau.
Setiap kali aku terbangun, jantungku berdegup liar. Punggungku basah oleh keringat, dan dunia nyata terasa lebih asing daripada mimpi. Aku menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan napas. Tapi suara anak itu—teriakan, tatapan, ketukan dari balik kaca—tetap bergema di telingaku.
Aku tahu, ini bukan mimpi biasa. Ada sesuatu yang tertinggal di masa lalu. Dan kini, ia mencariku.
Beberapa hari setelahnya, aku tak bisa menahan diri lagi. Aku kembali membuka semua catatan yang kupunya, memeriksa ulang setiap nama, setiap lokasi, bahkan coretan tangan yang nyaris tak terbaca. Tapi bukan tulisan yang menarik perhatianku—melainkan satu foto yang semula luput dari pengamatanku.
Di sudut kanan bawah sebuah potret keluarga besar, berdiri seorang anak laki-laki sedikit terpisah dari yang lain. Wajahnya agak tertutup bayangan pohon, tapi postur tubuhnya... ekspresi matanya... dia mirip dengan anak di mimpiku. Bocah yang berteriak dari ujung jembatan. Yang memukul kaca dalam kabut. Sosok yang kusebut Ethan dalam benakku—nama yang muncul begitu saja sejak lama, seolah ditanamkan di kepalaku.
Ethan.
Nama itu menempel di lidahku seperti rasa yang tak mau hilang. Saat kecil, aku sering berbicara sendiri, begitu kata Ibu. Dan nama itulah yang katanya paling sering kuucapkan dalam tidur. Ethan, Ethan, Ethan.
Aku mengira dia hanya bagian dari penyakitku. Sebuah halusinasi yang kubentuk untuk melarikan diri dari sesuatu. Tapi sekarang, setelah melihat foto itu... aku tak yakin lagi. Bagaimana mungkin khayalanku punya wajah yang sama dengan seseorang dari masa lalu yang nyata?
Aku mulai mengingat permainan-permainan aneh di hutan pinus, obrolan di bawah pohon flamboyan besar, dan suara tawa yang selalu datang dari arah belakangku. Dulu, aku tak pernah benar-benar melihat wajahnya dalam kenangan. Hanya suara. Hanya perasaan bahwa aku tidak sendirian.
Dan kini, ingatan itu perlahan menjelma bayangan yang lebih nyata dari sebelumnya.
Ethan mungkin bukan imajinasi. Mungkin dia pernah benar-benar ada. Mungkin dia bagian dari masa kecilku yang hilang. Bagian yang berusaha kembali—lewat mimpi, lewat kenangan yang mulai retak.
Dan aku tahu ke mana harus mencari jawabannya.
Ke rumah itu.
Tempat di mana semuanya dimulai.