Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Ketika punggung bukit Cisarua Lama menghilang di balik cangkokan kabut, aku menatap layar ponsel dengan jemari yang sedikit gemetar. Hari itu, aku dan keluargaku berkemas untuk pindah ke Temanggung, tempat keluarga kami sebenarnya berasal. Bukan karena pekerjaan, tetapi untuk merawat nenek dari pihak ibuku yang mulai renta. Rumah tua kami di Cisarua Lama pun dijual, menyisakan ruang kosong di hatiku yang belum sepenuhnya siap melepas.

Meski keluargaku menetap di Temanggung, aku sendiri diterima di sebuah universitas di Yogyakarta. Aku merantau sendiri, tinggal di asrama, dan memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa. Pilihan jurusan Sastra dan Budaya membawaku pada banyak perjumpaan dengan dunia imajinasi—namun dalam ruang yang lebih terstruktur dan aman.

Hari-hariku berjalan tenang dan teratur. Aku terbiasa duduk di taman kampus dengan novel atau jurnal kecil. Sering kali aku ditemani Lintang, sahabat sekaligus teman diskusi yang kritis namun penuh perhatian, dan Dira, teman ekskul fotografi yang sering memotretku diam-diam lalu mengirim hasilnya lewat pesan singkat, menyelipkan pujian aneh-aneh seperti "cahayamu pas sekali" atau "punggungmu punya cerita."

Kami bertiga sering berbagi senja di kantin belakang kampus, saling mengejek puisi masing-masing, menertawakan makna yang terlalu rumit atau terlalu jujur. Aku tertawa lepas tanpa rasa takut ditatap aneh. Untuk pertama kalinya, aku merasa utuh.

Kadang-kadang aku berpikir: mungkin ini yang disebut bahagia. Tapi ada momen tertentu—di sela gelak tawa, atau saat pulang malam dan mendapati lampu kamar menyala sendiri—yang membuatku berhenti sejenak. Seperti ketika mendengarkan lagu lama dan menemukan satu nada yang sedikit miring. Bukan cukup kuat untuk disebut gangguan, tapi cukup terasa untuk membuat alis terangkat barang sedetik.

Tentang Ethan? Sudah lama tak melintas dalam benakku. Tak ada lagi suara bisik dalam kabut, tak ada lagi rasa bersalah yang menusuk diam-diam. Aku telah menempatkan Ethan di tempat yang damai dalam diriku—sebagai bagian dari masa kecil, sebagai sosok hantu seperti banyak lainnya yang dulu pernah kulihat, tanpa ikatan personal. Tidak kutolak, tapi juga tidak lagi kutunggu.

Malam-malamku diisi dengan menulis esai, menonton film dokumenter bersama Lintang, atau berburu langit malam bersama Dira. Kadang-kadang, salah satu dari mereka akan membuka obrolan ringan tentang hal-hal magis seperti lintasan mimpi, perasaan deja vu, atau cerita rakyat yang mereka baca di jurnal kampus.

Dulu aku mungkin akan menanggapi dengan gelisah atau terhanyut terlalu dalam, tapi sekarang aku hanya mengangguk, tersenyum, dan merespons dengan cara yang lebih rasional. Seolah aku adalah peneliti yang mempelajari cerita lama dengan kepala dingin, bukan lagi anak kecil yang tenggelam dalamnya.

Kadang, aku menyelipkan sesi konsultasi daring singkat dengan psikolog kampus—bukan lagi terapi intensif, hanya ruang kecil untuk menjaga kewarasan tetap selaras. Obat yang dulu sempat rutin diminum kini hanya tinggal catatan dalam riwayat medis. Dokter terakhir yang kutemui bahkan menyebutku "stabil dan adaptif". Kata-kata yang dulu terasa asing, kini mulai kupahami sebagai bentuk baru dari sembuh.

Sesekali, saat mengedit foto atau menyalin puisi, aku menyentuh jurnal lamaku, tapi tak merasa perlu membuka halaman yang lama. Namun entah kenapa, setiap kali tanganku menyentuh kulit sampulnya, selalu ada jeda singkat—seolah jari-jariku mengenali sesuatu yang belum rampung. Seolah bagian kecil dalam diriku masih menunggu sesuatu, meski aku tak tahu apa. Aku tak sedang menyangkal, hanya merasa tak perlu kembali.

Pada suatu sore, saat menunggu kelas dimulai, aku membuka galeri ponsel dan menemukan foto lama pohon flamboyan yang masih berdiri di tengah halaman rumah tua itu, sendirian. Aku tersenyum pelan. "Kadang, melihat saja sudah cukup," bisikku, sebelum layar ponsel padam dan suara dosen memanggil masuk.

Hari itu langit di Yogyakarta cerah, tapi dedaunan di taman depan fakultas bergerak seolah ada angin yang datang dari arah yang tak biasa. Dira sempat menoleh dan berkata, "Kok merinding ya, tiba-tiba." Aku hanya tertawa, padahal bulu kudukku sendiri berdiri sejenak tanpa sebab yang jelas. Kutepis.

Dalam mimpi singkat malam itu, kabut berbaur suara tawa seorang anak laki-laki. Aku terjaga, jantung berdebar, menatap langit-langit asrama. Sebuah rasa rindu samar menetes di hatiku—sebuah bisik bahwa masa lalu belum sepenuhnya pergi.

Aku tidak langsung memikirkannya. Aku menyibukkan diri keesokan harinya, menyapu gangguan itu ke bawah permadani aktivitas: kelas pagi, diskusi puisi, latihan fotografi. Tapi saat senja turun dan angin menerobos sela jendela kamar, bayangan pohon flamboyan itu kembali hadir. Bukan dalam bentuk trauma, hanya sebagai getar kecil dalam dada.

Beberapa tahun terakhir, sejak masa-masa akhir SMA hingga menjelang kepindahan ke Temanggung, aku memang sudah tidak lagi mengunjungi Danau Diam atau pondok bambu itu. Tidak lagi berdiri di bawah flamboyan sambil memanggil-manggil namanya. Aku tak merasa perlu. Bahkan ketika aku tahu rumah kami akan dijual, aku hanya sekali mampir ke halaman belakang untuk mengambil satu foto pohon flamboyan itu. Kupotret dengan tenang, tanpa air mata.

Aku rasa itu momen pertamaku menyadari bahwa aku telah mulai memindahkan Ethan dari ruang luka ke ruang damai. Ia bukan lagi sosok yang membelenggu, bukan sosok yang kurindukan dengan getir. Ethan tetap ada, tapi seperti potongan puisi yang sudah tak kubaca lantang—hanya kupeluk dalam hati sebagai bagian dari siapa diriku hari ini.

Penerimaan itu tidak terjadi dalam semalam. Ia tumbuh pelan, seperti kabut pagi yang mundur perlahan saat matahari naik. Awalnya terasa seperti pengkhianatan: bagaimana bisa aku melanjutkan hidup tanpa terus memanggilnya? Tapi kemudian aku sadar, aku tidak meninggalkan Ethan. Aku hanya meletakkan dia di tempat yang lebih layak—bukan di altar kesedihan, melainkan dalam bingkai kenangan yang sunyi dan hangat.

Jadi ketika mimpi itu datang—suara tawa dalam kabut—aku tidak merasa terseret. Aku hanya menatap langit-langit dan tersenyum kecil. Lalu kembali tidur. Besok masih ada kelas, dan aku ingin bangun dengan pikiran ringan.

Meski di balik kelopak tidurku, masih tersisa sesuatu seperti embun tipis—tidak dingin, tidak menusuk, hanya cukup untuk mengingatkan bahwa tidak semua yang telah selesai benar-benar hilang.

Beberapa hari kemudian, saat merapikan buku dan berkas di rak kamar, jari-jariku tanpa sengaja menyentuh jurnal lamaku. Sampulnya yang mulai lusuh masih terasa hangat di telapak tangan. Entah dorongan dari mana, aku membukanya ke halaman yang tak terkunci.

Di sana, tertulis puisi yang tidak kuingat kapan aku menulisnya:

"Ada yang tinggal di antara pagi dan kabut, Tak bersuara tapi tak pernah pergi. Bukan bayangan, bukan juga mimpi. Hanya gema yang tahu kapan harus kembali."

Aku membacanya tanpa sesak. Bahkan ada sedikit senyum yang muncul di ujung bibirku. Aku menutup jurnal itu dengan pelan, lalu meletakkannya kembali. Kali ini, tidak dalam laci, tidak di balik buku tebal lain. Tapi di meja kecil dekat jendela, di tempat yang bisa kusapa setiap hari tanpa harus membukanya lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Surat yang Tak Kunjung Usai
454      300     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Lepas SKS
114      102     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
OF THE STRANGE
1081      589     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
93      74     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Konfigurasi Hati
325      232     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Suara yang Tak Pernah Didengar
188      93     6     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Mimpi & Co.
492      326     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Arsya (The lost Memory)
270      245     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
The Unbreakable Love
27      26     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Ruman Tengah Jalan
730      435     3     
Horror