"Musuh terbesar adalah dirimu sendiri."
Warning!
Cerita ini mengandung kata-kata kasar dan adegan yang tidak boleh ditiru. Bijaklah dalam membaca.
Sangat berat. Sakit. Tidak mau bangun.
Kikan tidak mau bangun dari kesadarannya. Namun, dunia mimpi pun tak kalah buruknya. Mimpi yang sangat buruk, tidak ada tempat pelarian. Dunia buruk, mimpi pun buruk. Ke mana ia harus berlari?
Dengan kesadaran yang perlahan pulih, Kikan memaksa tubuhnya untuk bangun dari pembaringan. Memandang ke sekelilingnya, ruang UKS. Apa yang terjadi?
Seingatnya ia ditampar dengan sangat kuat oleh wali kelasnya. Harusnya ia terbaring di lantai sampai bangun sendiri. Namun, siapa yang bersikap sok peduli padanya dan membawanya ke UKS? Untuk pertama kalinya, ia masuk ke UKS. Biasanya, walaupun sudah terluka, ia akan membolos dan pulang. Di rumah, tepatnya di dalam kamar adalah tempat terbaik untuk mengobati lukanya sendiri.
Di saat ia kebingungan, seseorang masuk ke ruangan UKS. Seorang lelaki yang tidak asing bagi Kikan, tetapi seingatnya mereka tidak pernah berkomunikasi. Lelaki berseragam cokelat tua dipadu cokelat muda dengan itu datang menghampiri dengan membawa sebongkah es batu dan handuk kecil.
"Kamu jangan gerak dulu," ujar lelaki itu saat Kikan hendak menuruni ranjang. Kikan patuh dan memandang lelaki itu, matanya mengarah pada name tag di baju lelaki itu. Kaelan. Seperti nama sayuran.
Kikan masih bergeming, membiarkan Kaelan mengompres pipinya. Setelah selesai, lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebungkus roti. Ia menyodorkannya pada Kikan.
"Karena kamu belum makan, makanlah."
Kikan menaikkan alisnya, kebingungan karena tahu bahwa Kikan belum makan apa pun dari pagi. Walaupun sok dekat, Kikan tidak merasa risi. Memberanikan diri, ia bertanya, "Kita saling kenal?"
Lelaki itu tersenyum tipis. "Kalau gitu, kita kenalan ulang. Namaku Kaelan."
Kaelan menyodorkan tangannya. Walau agak ragu, Kikan menerima uluran tangan Kaelan. Dalam beberapa sisi, ia merasa mereka memang teman dekat. Namun, bagaimana bisa?
"Kamu mungkin enggak pernah perhatiin aku Tapi kita tetanggaan."
Kikan manggut-manggut, karena ia akhirnya ingat sesuatu. Ia memang tidak asing dengan wajah Kaelan karena mereka tetangga. Lagipula ia tidak terlalu peduli keadaan sekitar. Kompleks perumahan mereka hanya sekadar tempat tinggal, tidak ada komunikasi yang bersifat kekeluargaan. Kalaupun ada, mungkin hanyalah sekelompok ibu-ibu arisan yang memamerkan kekayaan atau membanggakan sesuatu yang kadang dilebih-lebihkan.
"Udah waktunya pulang. Mau bareng?"
Sepertinya Kikan pingsan terlalu lama hingga sudah waktunya pulang sekolah. Herannya, ia yang biasa tidak suka menerima orang asing, hari ini mengangguk ajakan pulang bersama. Ia merasa mereka memang dekat satu sama lain.
***
Prang! Prang! Prang!
Suara itu hampir setiap hari berdendang. Diiringi teriakan dan bentakan. Bagi Kikan, suara-suara itu seperti nyanyian kematian. Hendak dihentikan, takada yang kuasa. Percuma, sudah menjadi kebiasaan yang mengikis mental Kikan.
Di dalam kamar, gadis itu sedang mengoles salap di tangannya. Luka yang diakibatkan oleh air panas, hadiah ulang tahun dari Chelsea. Beruntungnya, beberapa Minggu telah terlewati. Selain bekas luka, takada lagi rasa sakit. Hanya saja, luka-luka baru sudah menanti.
Selesai mengobati, Kikan naik ke tempat tidur dan berbaring. Sebelum itu, ia mengambil botol obat tidur. Sudah lama sejak insomnia menyerangnya. Tanpa bantuan obat tidur, ia akan berjaga sepanjang malam dan mendengarkan suara tantrum di luar sana. Namun, belum sempat menelan obat, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Segera Kikan membuang obat di mulutnya ke tong sampah dan menyembunyikan botol obat tersebut di bawah bantal.
Sosok wanita dengan keadaan berantakan masuk ke kamarnya. Tiba-tiba tangannya ditarik paksa hingga harus turun dari kasur. Kikan sedikit ketakutan, ia tidak tahu apa yang merasuki ibunya. Apa ia dilibatkan dalam pertengkaran kedua orang tuanya?
Ia tersenyum miris. Benar juga, terkadang ia dilibatkan. Sejak ia kecil, melihat kedua orang tuanya bertengkar sudah menjadi makanan. Terkadang ia berpikir bagaiman dua orang yang keras kepala dan tampak membenci satu sama lain menikah dan memiliki anak? Mereka tidak hanya menghancurkan hidup sendiri, tetapi juga turut menghancurkan hidup anak-anaknya.
Keduanya memiliki otak yang berbeda. Sepatah kata bisa menjadi sumber masalah yang melebar. Lalu tiba-tiba Kikan—sebagai anak tertua dijadikan hakim. Mereka menyuruhnya menyalahkan salah satu, yang sebenarnya berniat mencari pendukung. Padahal ia tidak tahu apa pun dan tidak ingin memihak siapa pun. Hanya saja, ia punya keinginan baru akhir-akhir ini. Ia ingin berpisah dari mereka. Ia ingin hidup sendirian, tanpa suara-suara sumbang yang terus menganggunya. Melebarkan traumanya.
Seperti dugaan, Kikan dibawa ke ruang tamu. Pertengkaran terjadi lagi, kali ini diiringi dengan benda-benda yang tidak bersalah dilemparkan sana-sini. Sudut mata Kikan melirik ke salah satu kamar, di sana tampak kedua adik kembarnya yang masih kecil mengintip. Keduanya ketakutan dan menangis, tetapi tidak berani bersuara apalagi keluar.
Miris, Kikan sudah terbiasa dengan hal ini. Lalu bagaimana dengan kedua adiknya? Sebelumnya, kedua adiknya sering tinggal di rumah nenek, mereka jarang melihat pertengkaran. Ketika hari ini mereka melihat hal ini, bukankah mereka akan memunculkan trauma?
Kikan duduk di sofa, menutup kedua telinganya. Pertengkaran masih dengan tema yang sama setiap hari, uang dan perselingkuhan. Mama yang merasa selalu kekurangan harta, apalagi sejak perusahaan Papa bermasalah, serta Papa yang memiliki wanita lain—wali kelas Kikan sendiri. Dua orang dewasa ini, kapan matinya?
Kikan tersentak dengan pemikirannya. Namun, ia selalu berpikir alangkah baiknya jika mereka berdua tidak ada.
Kikan kaget saat tiba-tiba mamanya menarik tangannya dan berkata, "Kikan, apa kamu juga membantu Papa kamu untuk menemui Rona? Kamu juga mendukung perselingkuhan mereka?"
Anak gila mana yang mendukung keretakan keluarganya? Kenapa ia tiba-tiba disalahkan? Membantah pun percuma, tidak akan didengarkan.
"Ma, Kikan—"
"Rona ...."
"... Rona ...."
"Chelsea lebih baik ...."
Kikan tidak diberi kesempatan untuk berkata-kata, sementara kedua orang itu kembali bertengkar. Kali ini menyebut nama Rona dan Chelsea. Di akhir, ia bahkan mendengar papanya menyebutkan kebaikan Chelsea.
Kikan tidak tahan lagi.
"Cukup! Aku nggak tahan lagi! Berhenti!"
Kikan meraung, membuat kedua orang tuanya berhenti karena kaget. Ia menangis kencang, membuat kedua adiknya keluar dari kamar dan memeluknya.
"Papa jahat! Mama jahat!"
Kedua adiknya ikut menangis dan menyalahkan kedua orang tuanya. Lalu ruangan menjadi hening, hanya ada isakan Kikan yang terdengar.
"Ini semua karena kamu!" ujar Mama menyalahkan Papa.
Dan, perdebatan kembali terjadi. Kikan bahkan tidak bisa menangis lagi bahkan jika ia bisa. Ia hanya berbisik pada kedua adiknya untuk segera pergi ke rumah nenek. Setelah yakin kakaknya baik-baik saja, kedua anak berumur 13 tahun itu segera pergi dari rumah, tanpa disadari orang tuanya.
Kikan pun masuk ke kamarnya, tak mau mempedulikan kedua orang itu. Ia sangat lelah dan otaknya mulai tidak bisa berpikir jernih. Tahu bahwa orang tuanya bisa saja melibatkannya lagi, Kikan mengunci pintu kamar. Ia mematikan lampu kamarnya dan duduk dengan tatapan kosong menghadap cermin. Untungnya, ia tidak bisa melihat wajahnya yang menyedihkan. Keremangan hanya menyisakan wajah samar.
Beberapa menit kemudian, takada lagi suara ribut di luar. Namun, pintu kamarnya diketuk seseorang.
"Kikan ... maafin Mama."
Itu suara melirih dari Mama, wanita yang keras kepala, tetapi sangat rapuh di dalam. Tak jarang Kikan mendengar suara isakan di dapur tengah malam. Terkadang ia mendengar keluhan Mama yang menikah dengan orang yang salah. Sementara Papa, Kikan juga pernah tak sengaja mendengar obrolan Papa dan adik lelakinya—paman Kikan bahwa ia juga menyesali pernikahannya. Alasan mereka tidak bercerai, karena nenek. Dan, Kikan pernah menyesali kelahirannya sendiri. Namun, bagaimana cara ia mengubahnya? Tidak bisa.
Karena tak kunjung dibukakan pintu, Mama akhirnya pergi. Kikan masih bergeming. Namun, tiba-tiba smartphone-nya berbunyi dan layar hitamnya memunculkan sebuah notifikasi.
Ada fitur baru, mau coba?
Penasaran, Kikan meraih gawainya dan membuka aplikasi Tic Tac Toe.
Are you ready?
Sebelumnya, Kikan mengabaikan aplikasi aneh itu. Ia bahkan sudah menghapusnya. Namun, kenapa aplikasi itu muncul lagi? Apa gawainya dibajak? Tapi kenapa?
Ia mengotak-atik aplikasi itu hingga ditariklah sebuah kesimpulan; jika ia bermain tic tac toe dan menang, maka ia bisa membunuh seseorang. Menarik.
Agaknya aplikasi ini dibuat untuk bersenang-senang, sekalian melampiaskan kebencian terhadap seseorang lewat aplikasi ini. Lagipula, bagaimana mungkin bisa membunuh seseorang?
Setelah mengisi data; nama, umur, kesukaan, dan foto diri, Kikan akhirnya menekan 'yes' dan permainan dimulai.
Ia berhasil memenangkan satu ronde permainan. Apa hanya seperti ini saja? Begitu mudah.
Anda menang.
Masukkan nama orang yang Anda benci.
________
Rona.
Ia sangat membenci wanita ini. Pertengkaran orang tuanya malam ini, bukankah karena wanita itu? Tidak peduli seberapa baiknya Rona beberapa waktu sebelumnya. Bukankah pada akhirnya topeng aslinya terbuka? Ia menampar Kikan hingga pingsan hari ini.
Wanita itu berhak mati.
Andai saja, Rona benar-benar mati .....
Selamat!
Permintaan Anda sedang diproses.
Tunggu kabar baiknya.
Memangnya apa yang akan terjadi? Apa ia mendapatkan reward karena memenangkan permainan yang biasa itu?
Entahlah. Kikan mengantuk. Ia hanya menunggu esok hari.
Semoga benar-benar kabar baik.