Aku ingin mati.
Kalimat yang selalu Kikan ucapkan di dalam hati ketika matanya memerah dengan pipi yang basah. Keinginan yang sangat kuat, tetapi kontradiksi saat melakukannya. Bagaikan hidup dengan dua sisi, satu yang ingin mati dan lainnya ingin hidup. Terkadang ia merasa, tubuhnya telah terbagi, bukan miliknya lagi.
Kikan menggesekkan ujung lengan bajunya ke pipi, mengusap bekas air mata yang membanjiri. Namun, seberapa banyak pun ia menghapus jejak itu, air matanya kembali keluar dan pastinya kedua mata itu membengkak.
Bruk! Bruk! Bruk!
Jantungnya berdebar kencang. Diremasnya ujung rok dengan kuat, digigitnya bibir bawah hingga dirasanya asin dari luka akibat gesekan yang terlalu kuat. Ia ketakutan dan menahan isakannya agar tidak terdengar.
Bruk! Bruk!
Pintu di depannya kembali bersuara. Seseorang memang sengaja menendangnya dari luar, untuk membuat Kikan semakin ketakutan. Terdengar cekikikan beberapa gadis sesaat kemudian. Itu mereka. Para iblis.
"Woi, Kikan! Masih di dalam, kan, lo? Udah mati belom?" teriak seseorang dari luar diikuti tawa yang menggelegar.
Kikan memundurkan langkahnya, sehingga menubruk kloset di belakangnya. Ia sadar bahwa takada ruang untuk berlari. Toilet begitu sempit sehingga, ia tidak bisa bersembunyi. Napasnya tidak beraturan, bahkan hampir lupa mengembuskannya. Mati sekarang lebih baik, pikirnya.
"Kikan! Jawab gue! Udah bisu lo? Gue tau Lo di dalam!" teriak orang luar lagi.
Kikan meletakkan kedua tangannya di pintu, menahannya. Walaupun ia tahu, sepertinya sia-sia.
Gedubrak!
Benar saja, pintu akhirnya terbuka menampilkan seringai jahat dari ketiga wanita iblis itu. Hampir saja pintu itu mengenai wajahnya jika Kikan tidak segera berpindah tempat. Kikan masih mencoba bersembunyi di balik tembok sebelah pintu, berharap tidak ditemukan. Namun, itu hanyalah asa yang tidak mungkin. Dalam sekejap, rambutnya yang berantakan berada di dalam genggaman seorang gadis.
"Akh!"
Percuma bagi Kikan untuk mengerang ataupun meminta pertolongan, tak akan ada yang mendengar. Jikalau pun ada, mereka tidak akan peduli.
Rasa nyeri menyerang kepalanya, tarikan itu benar-benar membuatnya merasa bahwa rambutnya akan terlepas dari kepala. Ia pusing, tetapi masih dipaksa oleh gadis yang menjambaknya untuk mengarahkan pandangan ke mereka. Mau tak mau, Kikan harus memandang mereka-yang sebenarnya tak ingin dilihat.
"Berani lo kabur?!" tanya Siska-sang penjambak yang memelototi Kikan dengan tatapan iblis.
Kikan tidak berani menjawab. Bagaimana bisa ia memberi mereka alasan? Tentu saja, ia tidak ingin di-bully. Setiap harinya, ia akan menjadi umpan dengan dicemooh, dipukuli, diperbudak dan dijadikan anjing percobaan, seolah ia bukan manusia. Jika dulu sekolah adalah rumah kedua, sekarang menjadi neraka kedua. Tidak lagi menjadi tempat mencari ilmu, apalagi tempat teraman. Jika bisa, mungkin ia akan memilih berhenti sekolah. Namun, bagaimana tanggapan orang tuanya di rumah?
Hari ini ia nekad kabur dari mereka, setelah diguyur air selokan yang bau dan diceburkan ke kolam ikan di belakang sekolah. Dengan alasan, "Hari ini Kikan ulang tahun."
Benar, ia berulang tahun hari ini. Hari yang paling buruk dan tersial. Hari yang membuatnya terlahir di dunia yang kejam. Sehingga ia sangat benci hari ini sama seperti membenci dirinya sendiri. Sejak dulu, hari ulang tahunnya memang tidak pernah normal. Jangankan hadiah, bahkan ucapan selamat yang tulus pun tak ada. Lagipula tidak masalah, ia merasa ketika ada seseorang yang merayakan itu pertanda mengolok-oloknya. Bukankah buktinya sudah terlihat jelas?
Entah dari mana Siska dan teman-teman sekelasnya tahu, yang penting mereka telah menyiapkan kejutan besar jauh-jauh hari untuk hari ini. Pantas saja Kikan merasa aneh sejak dua hari yang lalu, takada yang merundung, bahkan mereka memberi senyuman yang penuh arti. Berpura-pura baik hanya untuk membunuhnya di hari ini.
"Berani lo nangis?!" teriak Sena yang tiba-tiba menendang betis Kikan hingga gadis itu mengerang. Tendangan Sena bukanlah tendangan biasa. Gadis bertubuh besar itu adalah juara provinsi pencak silat. Kekuatan yang dikerahkan tidaklah main-main. Kikan merasa kakinya akan dipatahkan.
Kikan mengigit bibir bawahnya lagi, berusaha untuk menahan tangisan. Bahkan tangisan pun dilarang, ia sepenuhnya dikendalikan oleh manusia-manusia amoral tersebut. HAM seolah tidak berlaku baginya.
"Kikan, Kikan, kan udah gue bilang jangan nakal. Kita semua rayain ulang tahun lo, kenapa lo malah kabur? Gak suka sama hadiah kita? Lo belum tiup lilinnya, loh." Kali ini Chelsea-gadis bersuara lembut dan bertampang polos. Namun, siapa sangka wajah lugunya hanyalah topeng yang menyembunyikan kekejamannya.
"Argh! Ampun! Ampun!"
Kikan tidak bisa berhenti berteriak saat tiba-tiba sebelah tangannya dimasukkan ke dalam ember yang ternyata berisi air panas oleh Chelsea. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Mencoba memberontak pun percuma, mereka tidak akan membiarkannya hingga puas.
Beberapa detik kemudian, tangan Kikan dikeluarkan dari air panas. Sekarang, tangan kirinya melepuh dan memerah. Bukannya iba, ketiga gadis itu tertawa puas seolah melihat pertunjukan yang lucu.
"Ini baru hadiah dari Chelsea, temen-temen lain belom, loh."
Kikan menggeleng kuat, tetapi Sena malah tersenyum miring. Ia menyeret Kikan keluar dari toilet menuju tempat eksekusi selanjutnya. Kikan benar-benar lemah, tidak punya kekuatan sama sekali untuk melawan. Tak hanya tangannya, ia juga merasakan sakit di sekujur tubuh. Ia berharap langsung mati sebelum mendapat penyiksaan lagi.
Rumah kosong tua di belakang sekolah selalu menjadi tempat permainan mereka dan Kikan adalah objek mainannya. Kikan tahu, bahwa penyiksaan yang sebenarnya baru saja dimulai. Padahal ia berharap bisa pulang dan segera tidur-seperti anak normal lainnya. Namun, teman-temannya juga tidak normal, sehingga ia tidak bisa menghindar.
Hingga kakinya menyentuh ruang tamu rumah tua itu, beberapa pasang mata langsung mengarah padanya. Seringai mengerikan yang ditunjukkan padanya membuatnya ciut. Tubuh Kikan dilempar hingga jatuh di lantai. Ditatapnya beberapa orang yang mulai mengelilinginya. Mereka semua adalah teman sekelasnya, tanpa terkecuali.
"Yang ulang tahun udah datang."
Entah suara siapa itu, Kikan tidak tahu. Ia merunduk, memandang lantai kotor dengan jantung yang berdegup tidak keruan. Ia tidak berani memandang mereka yang membencinya. Sejujurnya ia tidak tahu mengapa mereka membencinya. Apakah karena ia lemah? Atau karena ia bodoh? Yang jelas, alasan utama mereka adalah untuk menyalurkan kesenangan.
Mereka begitu bahagia melihat tangisan Kikan, tidak membiarkannya tersenyum sedikit pun. Awalnya, mereka mengucilkan Kikan di setiap acara kelas, menganggapnya tidak ada. Lalu tiba-tiba mendekatinya, menyuruhnya ini-itu bak budak. Hingga lama-kelamaan, mereka mulai bertindak kasar. Menyiksanya di berbagai kesempatan.
Kikan tidak pernah berpikir bahwa siswa-siswa di kelasnya adalah monster. Padahal mereka adalah murid kebanggaan sekolah. Setiap dari mereka memiliki bakat yang berhasil mengharumkan nama sekolah. Mereka juga berasal dari orang-orang kaya yang tidak akan kekurangan apa pun, kecuali kasih sayang, tampaknya. Ia pun sama, seperti mereka. Memiliki keluarga yang tak kekurangan harta, tetapi dari luar keluarganya tampak harmonis. Mungkin itulah sebabnya mereka membenci Kikan.
Padahal, mereka tidak tahu apa-apa tentang kehidupan Kikan yang sebenarnya lebih mengerikan dari mereka. Takada tempat baginya untuk menenangkan diri, semuanya tampak seperti neraka. Dan, anehnya ia tetap hidup walaupun mengalami berbagai penyiksaan lahir dan batin.
"Kikan, happy birth-die!"
Argh!
***