"Tidak ada seorang ayah satupun yang bahagia atas kepergian anaknya." --Pak Cawi.
∆∆∆∆∆
Hadi melompat turun dari kapal besar. Hari terakhirnya sebagai nelayan membuahkan hasil yang luar biasa. Sepertinya ikan-ikan ingin mengucapkan perpisahan dengan laki-laki itu.
Pak Gugun menyusul turun, dibantu oleh Hadi yang mengulurkan tangannya. Senang rasanya melaut dengan putra tercintanya itu, tetapi Pak Gugun jauh lebih bahagia jika Hadi bekerja yang ringan-ringan saja.
"Lautnya perpisahan sama Hadi, jadi ngirimin banyak ikan, gacor uy!"
Hadi tertawa mendapati namanya dielu-elukan rekannya. "Gacor Kang, bikin gak bisa berhenti ngelaut aja nih."
"Jangan, Di." Seorang laki-laki berusia 30 tahunan datang, mengalungi leher Hadi. "Kamu ini sudah jadi contoh di desa kita. Anak nelayan yang bisa kuliah dan sukses, buktikan kamu bisa. Biar dunia menilai sendiri kalau orang gak punya juga bisa sukses asal mau berusaha."
"Pak Gugun keren banget. Apa Pak Gugun nanti berhenti jadi nelayan?" sahut yang lainnya.
Pak Gugun menatap Hadi sembari menjawab pertanyaan dari rekannya. "Tidak, aku akan terus menjadi nelayan. Hadi sukses pun, aku akan tetap menjadi nelayan untuk menghidupi istri tercinta."
"Kiw kiw!"
Hadi tertawa mendengar gombalan ayahnya. Harusnya ibunya mendengarkan kalimat tadi agar Hadi bisa melihat wajah malu-malu ibunya yang cantik kalau sedang salah tingkah.
"Eh, kok banyak orang-orang bawa beras. Emang ada yang meninggal?" tanya salah satu rekan nelayan Hadi sambil menunjuk gerombolan ibu-ibu yang berjalan membawa beras. Ada yang membawanya dengan ember kecil, tas anyaman, hingga plastik.
Benar sekali, hari ini desa juga tidak seperti biasanya. Langit mendadak mendung, padahal subuh tadi cerah sekali. Hadi kembali merasakan firasat buruk, perasaannya tidak tenang. Apa yang terjadi? Kenapa perasaan sedih tiba-tiba menyelimutinya?
"Ayo pulang, Di!" ajak Pak Gugun.
Hadi menurut. Dengan perasaan aneh yang tiba-tiba menyelimutinya, dia berjalan mengekori Bapak. Sepanjang langkahnya, Hadi berdoa agar tidak terjadi hal buruk padanya, Bapak, Ibu, Azka, dan Salsa.
Namun Hadi lupa mendoakan untuk nama sahabatnya, barangkali begitu sampai-sampai dia tidak bisa mencegah Jelita pergi. Langkah Hadi terhenti, telinganya berdengung mendengar suara dari masjid yang mengalunkan berita duka.
"Telah berpulang ke Rahmatullah, Jelita binti Cawi..."
Hadi menjatuhkan plastik berisi ikan yang akan ia berikan untuk sang ibu. Pak Gugun langsung membalik badan, menatap putranya. Badan Hadi menegang seperti kayu, tidak bisa bergerak sama sekali. Matanya tiba-tiba memanas, jantungnya berdetak kencang sekali, udara seperti berhenti berembus di sekitarnya hingga dia sulit bernapas.
Jelita, katanya? Jelita sahabatnya? Kenapa Jelita?
"Hadi..." lirih Pak Gugun mencoba menyadarkan anaknya.
Para rekan nelayan Hadi yang juga hendak pulang berlarian menyusul Hadi. Mereka berkerumun mengabari Hadi bahwa benar nama Jelita yang tadi diumumkan. Seolah Hadi tidak bisa mendengar, mereka mengulang terus kalimat-kalimat menyakitkan itu.
"Jelita meninggal." Begitu kata mereka. Tidak hanya satu orang, semuanya mengatakan itu, mengabari Hadi.
Masih dengan tubuh kakunya, Hadi berjalan dengan tatapan kosong menyusuri jalanan. Dia melewati pantai seorang diri untuk sampai di rumah Jelita. Akan dia buktikan bahwa apa yang didengarnya adalah salah. Bukan Jelita, bukan.
"Mereka pasti bohong..." ucap Hadi menenangkan dirinya.
Pak Gugun melarang siapapun untuk mengikuti Hadi. Dia akan membiarkan Hadi melihat Jelita seorang diri. Hadi akan mengerti dengan sendirinya jika sudah melihat kenyataan itu, pikir Pak Gugun.
Sepanjang jalannya yang terasa jauh itu, Hadi terus merapalkan kata-kata penenang bahwa Jelita ada di rumahnya dalam keadaan sehat. Jelita pasti sedang menyapu rumah, atau menyuapi keponakannya bersama Mbak Yuni.
Harusnya begitu. Harusnya Hadi melihat Mbak Yuni dan Jelita, tetapi sesampainya di rumah itu ia hanya mendapati orang-orang keluar masuk. Mereka datang dan pergi sambil berbisik-bisik.
"Minum racun itu."
"Katanya minum cairan buat nyamuk itu."
"Serem banget, bibirnya biru, busanya keluar terus dari mulutnya."
"Udah ah, ayo pulang. Takut, ih."
Hadi melangkah terus lebih dekat. Ia membuat orang-orang memberinya jalan lantaran tidak ingin tersenggol, sebab Hadi bau amis. Hal itu membuat Hadi melangkah lebih mudah. Dia berhenti di depan pintu rumah Jelita, disambut kain yang menutupi tubuh gadis itu.
"Jelita..." panggil Hadi.
Raka ada di sana, menoleh pada Hadi. Dia berhenti mengaji dan mendekati Hadi. "Kita sudah kehilangan Jelita, Di."
Hadi menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, dia tidak akan percaya kalimat itu. Jelita tidak mungkin meninggalkan dirinya. Jelita itu tahan banting, Jelita tidak mungkin semudah itu menyerah.
"Kamu harus melihat wajahnya untuk terakhir kali."
Hadi mendorong dada Raka. Dia mendekati jasad Jelita. Dibukanya kain penutup di bagian kepala Jelita dengan tangan gemetar, Hadi kembali mengempasnya. Dia tidak sanggup, tidak akan pernah sanggup. Hadi mengulanginya sampai tiga kali untuk bisa menyaksikan wajah Jelita.
"Jelita, bangun..." bisik Hadi.
"Ta, ini aku. Bangun, Ta..."
Raka kembali menangis. Dia tidak sanggup membaca surat yasin kembali. Lututnya ditekuk untuk menyetarakan tubuh dengan Hadi. "Jelita sudah pergi, Di."
"Nggak, dia bohong. Dia pasti cuma ngeprank kita, Ka."
"Jelita tidak bisa bangun lagi, dia sudah meninggalkan kita."
Demi mendengar kalimat itu, Hadi mengempas tangannya yang masih menahan kain penutup tubuh Jelita. Dia memukul-mukul lantai dengan tangan terkepal, keras sekali.
"Jelita... Bangun, Ta! Aku tau kamu bohong! Jelita!"
"Kamu janji mau kuliah bareng-bareng sama aku, bangun!"
"Kita akan sukses bareng-bareng, Ta. Kenapa kamu begini? Kenapa, Ta?"
"Bangun, Jelita!"
Hadi meraung-raung di depan jasad sahabatnya. Disaksikan orang-orang yang sedang mengaji, merangkai bunga, atau yang sekedar takziah biasa.
Semuanya bagaikan mimpi buruk, Hadi tidak bisa langsung mempercayai semua ini. Demi Tuhan, tidak bisa, dia tidak bisa merelakan semuanya.
Amarahnya memuncak. Emosi Hadi telah sampai di ubun-ubun. Dia menegakkan duduknya, lalu mencengkeram kerah kemeja Raka. Rahangnya mengetat bersamaan dengan kuatnya cengkeraman untuk Raka.
"Kenapa ini bisa terjadi? Katakan, kenapa, Ka?" bentak Hadi.
"Jelita... dia sebenarnya tidak lolos SBMPTN. Aku dan dia sengaja berbohong sama kamu."
"Sinting!"
Bugh!
Raka terjerembab karena pukulan Hadi yang kuat. Orang-orang datang memisahkan. Dua orang laki-laki yang tidak Raka kenali sudah mencengkeram lengan Hadi yang saat itu akan menerjang kembali tubuh Raka.
"Maaf, Di... Jelita yang minta supaya kamu tidak usah tau."
"Kenapa? Kalian nggak anggap aku teman? Hah?!" Hadi terus memberontak ingin dilepaskan. Dia marah sekali pada Raka. Selama ini dia anggap Raka adalah teman terbaik, tetapi dia malah menusuknya dari belakang. Dia menyimpan seorang diri rahasia Jelita. Hadi tidak diperbolehkan tahu, sampai-sampai dia hanya melihat jasadnya saja.
"Dia takut kamu gak mau kuliah kalau tau--"
"Sekarang gimana, Ka? Menurutmu aku akan kuliah? Menurutmu aku akan sejahat itu? Hah?!"
"Dia menyerah dan mau kabur. Dia minta ikut sama aku, pergi diam-diam dari rumah jam dua pagi. Aku menunggunya seorang diri di depan jalan raya, sampai pagi. Aku tidak tau... Aku tidak tau kalau dia ternyata ketahuan dan dipaksa menikah." Raka berhenti sejenak karena menangis. Oksigennya seolah habis, dia harus mengatur napasnya sejenak. "Semuanya salahku yang tidak langsung datang ke rumahnya dan memilih menunggu. Salahku, Di... Salahku..."
"Kamu harusnya bilang, Ka. Aku bisa bantu dia buat kabur!" Setidaknya kalau Hadi yang membawa Jelita, mereka pasti bisa keluar dari desa tanpa ketahuan.
"Jelita gak mau kamu tau, Di."
"Akh, bodoh!"
"Jangan marah-marah, Di. Semuanya udah kejadian, tenangin diri kamu," pinta Raka. Dia juga merasa terpukul, kehilangan, tidak rela, tetapi mau bagaimana lagi. "Jelita udah pergi, gak ada yang bisa menghidupkannya lagi. Kita cuma bisa mendoakan, Di..."
"Nggak, Jelita gak mungkin meninggal. Nggak, Raka..." lirih Hadi terisak.
Demi Tuhan, hatinya sakit sekali. Dia ingin mengamuk saat ini juga. Tangannya terus berontak ingin menghancurkan apapun. Termasuk Raka di depannya yang sudah sangat lancang membohonginya.
Pak Cawi datang, meminta dua orang yang menyandera tangan Hadi membawa laki-laki itu keluar. Hadi diseret keluar dari rumah Jelita, Raka pun mengikuti.
"Kamu mau ngamuk-ngamuk pun percuma, Jelita sudah meninggal. Kalau tidak bisa tenang, pulang saja sana!"
Hadi berdiri, hendak meninju Pak Cawi. Dia sudah gelap mata. Siapa saja di depannya akan habis saat itu juga. Apalagi ini Pak Cawi, ayahnya Jelita, orang yang jelas-jelas menjadi penyebab kenapa Jelita meminum racun dan meninggal.
"Di, tahan." Raka menahan Hadi sekuat tenaga saat tahu apa yang mungkin dilakukan sahabatnya itu.
"Bapak sudah buat Jelita meninggal. Apa sekarang Bapak senang? Hah?" teriak Hadi di depan wajah Cawi.
"Tidak ada seorang ayah satupun yang bahagia atas kepergian anaknya."
"Tapi ada satu orang ayah yang tega membiarkan anaknya sampai bunuh diri," tekan Hadi.
"Hadiiiii!" Pak Cawi teriak sekuat tenaga. Dia berhasil membuat orang-orang terdiam. Tidak ada yang berani bersuara, hanya suara orang-orang yang mengaji yasin saja yang terdengar.
"Bapak pasti puas, kan? Puas sekali melihat Jelita sudah tidak ada, kan?" Hadi serampangan melepas tangan Raka. Dia mengangguk pelan untuk meyakinkan Raka bahwa dirinya tidak akan memukul Pak Cawi. Raka menurut, dia meluruhkan tangannya. "Jelita pasti sangat tertekan hingga dia memilih untuk mengakhiri hidupnya."
"Semua salahku. Kamu benar, Hadi. Semua itu salahku sebagai ayahnya. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu, karena semuanya salahku sendiri!" Pak Cawi mengucapkan kalimat itu dengan ribuan penyesalan dalam dadanya. Orang-orang mungkin tidak melihat itu dari ekspresi Pak Cawi, karena dia menahannya sekuat tenaga. Cawi sudah menyesal, dia bersalah atas kepergian putrinya, tetapi dia tidak ingin menangis di depan siapapun.
"Pergi, pulang sana. Kalau cuma mau mengamuk, jangan di sini. Aku tidak mau putriku pergi dengan tangisanmu."
Pak Cawi pergi dari hadapan Hadi, meninggalkan laki-laki itu bersama Raka saja. Dia masuk kembali ke dalam rumah, menyiapkan segala sesuatu untuk pemakaman putrinya.
Hadi ambruk lagi. Dia terduduk di tanah, menangis dengan pilu. Hadi sesenggukan melihat pemandangan rumah Jelita. Rumah yang selalu dia datangi untuk menjemput gadis itu berangkat sekolah bersama, bermain, merayakan ulang tahun. Sekarang dia justru mendatanginya untuk melakukan perpisahan.
Siapa yang tidak hancur ketika melihat sahabatnya sudah menjadi jasad.
Siapa yang tidak mengamuk ketika melihat sahabatnya terbujur kaku.
Siapa yang tidak sakit melihat sahabatnya telah tiada secara tiba-tiba.
"Jelita..." Kini dia tidak bisa mendapatkan jawaban cerewet dari Jelita lagi saat dia panggil namanya.
Raka ikut berjongkok. Dia menepuk bahu sebelah kiri Hadi beberapa kali. "Kamu harus kuat, Di. Aku tau ini berat, aku tau ini menghancurkanmu, tapi... Jelita tidak suka kamu seperti ini. Dia pasti ingin kita menyaksikan kepergiannya dengan damai."
Damai?
Seperti apa itu perpisahan yang damai, Raka?
Hadi memeluk Raka. Mereka saling menangis di bahu satu sama lain. Tidak peduli hari itu Hadi bau amis, Raka tetap memeluknya. Mereka sama-sama saling menguatkan.
Sudah tidak ada lagi Jelita. Mereka sudah tinggal berdua saja. Kalau di antara mereka saling bertengkar, siapa yang bisa dijadikan sahabat lagi?
Langit tiba-tiba menurunkan tetes-tetes air hujan. Semesta sedang ikut berduka dengan kepergian gadis baik hati bernama Jekita. Hanya gerimis, tetapi mampu membasahi hati Raka dan Hadi yang sedang berjalan menggotong keranda. Mereka membawa sahabat baik mereka berpulang kembali ke tempat asal, pulang ke rumah Tuhan.
Hadi mengusap kedua matanya saat pandangannya mengabur karena air mata. Begitu tangannya kembali luruh ke sisi tubuh, ia merasakan sentuhan dingin. Hadi menoleh, di sebelahnya ada Jelita.
Demi Tuhan, Hadi melihat sosok Jelita. Gadis itu tidak bilang apa-apa, hanya tersenyum. Tidak lama, Jelita menghilang dalam sepuluh detik. Di pemakaman juga sama, ketika jasadnya dimasukkan ke dalam liang kubur, Hadi menemukan sosok Jelita berdiri beberapa meter dari tempatnya. Dia tidak melakukan apapun, hanya diam dan tersenyum.
Hanya dengan melihat itu saja Hadi menangis kembali. Kali ini dia menangis tanpa suara, hanya air matanya yang mengalir, dan suara napasnya yang tidak beraturan.
Setelah Pak Ustadz memberikan doa terakhir, orang-orang pergi dari kuburan Jelita. Cawi dan Maryati tertahan lima menit lebih lama untuk sekedar menyesali perbuatan mereka selama putrinya hidup, setelahnya mereka pergi dari sana.
Hadi dan Raka jadi yang paling terakhir. Mereka berhadapan di depan makam Jelita. Dengan kedua tangan yang menengadah ke langit, Hadi dan Raka sama-sama mendoakan sahabat mereka agar damai di akhirat sana.
Jelita sudah benar-benar tidak bisa mereka lihat lagi. Hadi dan Raka kehilangan gadis itu. Mereka kehilangan sosok ceria dan ambisius sekuat Jelita.
"Jelita kayaknya nulis ini buat kamu, Di." Raka mengeluarkan buku catatan dari tasnya. Dia mengambil itu dari kamar Jelita saat orang-orang sibuk menyiapkan ini-itu. Saat dibuka dan dibaca isinya, ada satu tulisan yang sepertinya ditujukan untuk Hadi.
"Dan ini cincin sama gelang manik-maniknya, terjatuh saat aku menutup buku itu." Raka mengulurkan telapak tangannya, menyerahkan cicin dan gelang milik Jelita pada Hadi.
"Aku sudah tidak bisa bermain dengan Jelita lagi ya, Ka?" tanya Hadi dengan sesenggukan.
"Aku juga."
"Aku sudah tidak bisa menjahilinya lagi ya, Ka?"
"Aku juga."
"Aku pasti akan sangat merindukan Jelita."
"Aku juga."
Hadi dan Raka bersamaan mengusap nisan bertuliskan nama sahabat mereka di sana. Selamat tinggal Jelita, ucap Raka dan Hadi dalam hati mereka.