"Aku berharap kamu datang walaupun terlambat." --Muhammad Raka Binaryadi.
∆∆∆∆∆
"Hai, Ta. Long time no see, ya. Apa kabar?"
Jelita tidak langsung menjawab, dia malah tersenyum seraya menggantung jawaban untuk Hadi yang menanyakan kabarnya.
Apa kabar katanya?
"Baik, kalau kamu?" tanya balik Jelita.
"Baik juga."
"Baik apa baik?" ledek Jelita.
Hadi tidak bisa menatap Jelita lama-lama. Dia memilih memperhatikan Bu Bidan saja. Gadis cerewet itu asik bermain air, seperti orang dari hutan lebat yang tidak pernah menyentuh air laut.
"Undangannya udah sampai di kamu, kan, Di? Raka bilang dia titipin ke Sita."
Hadi menganggukinya. "Sudah, congrats ya, Ta. Semoga kamu dan Raka berjodoh sampai surga."
"Aamiin..." ujar Jelita antusias.
"Itu... Sita ikut ke sini bareng kamu?" tanya Jelita.
"Ya, maksa banget."
Bu Bidan, atau yang bernama lengkap Andira Sita Grahaja, membalikkan badan ke arah Jelita dan Hadi. Seperti mendapat sinyal karena namanya disebut-sebut, ia pun berlari menghampiri.
Sita mengangkat alis saat melihat Hadi, bertanya lewat kode siapa gadis di antara mereka.
"Oh, Sita, kenalin ini Jelita."
Sita langsung ternganga. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, jangan sampai bersikap memalukan di depan perempuan cantik.
"Jelita?"
Hadi berdeham keras. "Jelita calon istrinya Raka."
"Owalah..." Ya, Sita akui si Jelita Jelita ini cantik juga orangnya. Baiklah, dia akan merelakan Raka bersama dia.
"Hai, Sita. Aku tau banyak tentang kamu dari Raka."
"Hai juga, Jelita kapan sampai? Sama siapa? Raka?" Sita menyerobot berbagai pertanyaan untuk Jelita.
"Kemarin sama Raka. Aku menginap di rumahnya untuk persiapan pernikahan."
"Raka mana?" serobot Sita.
Jelita tersenyum. "Di rumahnya, aku jalan-jalan sendirian. Sengaja mau lihat laut, eh gak sengaja ketemu kalian."
"Heh, buruan hubungi orangtua kamu, bilang kamu ikut aku ke Indramayu!" sembur Hadi.
Sita menciut. Dengan bersungut-sungut dia merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan benda pipih. Begitu sambungan terhubung, ia menunjukkan layar ponselnya pada Hadi.
"Halo, Papa..." Sita menerima panggilan dan menjauh dari jangkauan Hadi agar mengobrol lebih leluasa.
Jelita terkekeh menyaksikan adegan itu. Lucu sekali, Sita yang cerewet itu bisa nurut juga sama Hadi. Untung saja dia tidak bersama Raka, bisa-bisa calon suaminya itu digoda oleh Sita.
"Kamu bawa Sita ke sini bikin heboh satu desa, katanya si Hadi bawa calon istri. Sepanjang jalan aku menebak-nebak siapa, eh, taunya si Sita."
"Ya, kasihan juga dia kalau di Jakarta sendirian takutnya tantrum," kata Hadi.
Jelita tergelak mendengarnya. Tidak Hadi, tidak Raka, dua laki-laki itu suka sekali membuat Sita tantrum. Seperti kata mereka, gadis itu suka sekali bercanda. Siapa saja yang mengenalnya pasti tidak menyangka bahwa dia adalah seorang bidan. Entah bagaimana Sita membantu ibu-ibu melahirkan, sepertinya dia cerewet sekali.
Angin pantai berembus kencang, membuat rambut di kening Hadi terangkat. Wajahnya yang cerah membuat Sita yang baru saja kembali berjalan ke arahnya terpesona.
"Aku tidak pernah percaya ucapan Raka yang bilang kalau kamu dulu itu hitam," ujar Sita.
Jelita menunjuk wajah Hadi untuk membantah kalimat Sita. "Kamu saja yang belum pernah melihat fotonya dulu."
"Kamu sudah pernah melihatnya? Aku juga mau lihat, masa bentukan begini dulunya hitam sih," kata Sita tak percaya.
Hadi menoyor kepala Sita sambil terkekeh. "Sama aja, sekarang juga hitam begini."
Jelita menggeleng-geleng untuk meyakinkan Sita. "Please, dulu kamu beda banget."
"Berarti uang memang mengubah segalanya ya, hehe."
"Sialan!" maki Hadi.
Wah, ternyata Jelita dan Sita kalau dikombinasikan menjadi satu kesatuan yang sangat menyebalkan juga ya. Lihat saja, mereka tidak berhenti tertawa sejak tadi.
Hadi bukannya kesal karena masa lalunya ditertawakan, tetapi dia risih saja karena dipaksa mengingat masa lalu. Itu buruk sekali, bisa-bisa dia terjebak lagi di dalamnya.
Sepertinya memang begitu. Hadi kembali terjebak masa lalu. Dia mengenang lagi kejadian mengenaskan di masa-masa remajanya. Di masa-masa saat ia berlarian dengan ambisi, suka cita persahabatan, juga penyesalan terdalamnya.
Pandangan Hadi tertahan pada gulungan ombak nun jauh di sana. Laut biru membentang dia saksikan bersama dengan Jelita dan Sita, tidak sendirian. Akan tetapi entah sampai kapan, meskipun begitu dirinya tetap merasa kosong. Hadi selalu merasa sepi dan sendiri semenjak hari itu.
Hari dia kehilangan sahabatnya, Jelita.
"Hadi, kamu menangis?" Jelita panik, dia merogoh tas selempangnya dan mengambil selembar tisu.
"Kamu kenapa, Bapak Hadi?" Tak berbeda jauh dengan Jelita, Sita juga merasa begitu panik.
"Nggak, aku nggak nangis. Tadi mataku kemasukan pasir kayaknya," alibi Hadi.
"Pulang yuk, Bu Bidan. Aku duluan ya, Jelita."
Jelita mengangguk. Hadi melengos lebih dulu meninggalkan tempat. Sita yang tidak ingin tertinggal dari laki-laki itu pun segera berpamitan pada Jelita.
Sesampainya di rumah, Hadi melihat Ibu dan Bapak menunggunya di teras. Laki-laki itu berlari memeluk sang Ibu yang keheranan mendapati putranya menangis. Pun, Sita yang juga tak bisa berkata apa-apa menyaksikan Hadi yang benar-benar menangis.
Hadi menangis.
Hadi, menangis?
∆∆∆∆∆
Setelah pengumuman SBMPTN, malamnya Hadi pergi melaut bersama Bapak. Dia berencana menikmati pekerjaannya sebagai nelayan untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar pergi dari desa untuk kuliah. Dia berangkat pukul 02.00 WIB, berjalan dengan perasaan aneh yang malam itu tidak bisa ia deskripsikan. Rasa-rasanya seperti ada sesuatu yang menahannya.
Ternyata saat itu sesuatu terjadi pada Jelita. Gadis itu dengan rencana kaburnya ternyata gagal. Padahal Raka sudah menunggu di jalan raya depan SD. Raka seorang diri bersama motor besarnya menunggu Jelita sesuai janji mereka.
Kala itu tepat pukul 02.00 Jelita sudah siap dengan tas besar yang isinya pakaian dan juga beberapa uang hasilnya bekerja selama liburan. Sepelan mungkin Jelita keluar dari rumah. Semuanya berjalan lancar, ibunya tidak terbangun sama sekali.
Jelita sembunyi ketika melihat Hadi dan Pak Gugun yang berjalan ke arah laut. Dia termenung sambil memanggil nama Hadi dalam hati. "Aku pergi ya, Di..." lirihnya.
Dirasa Hadi dan Pak Gugun telah berlalu, Jelita menyembulkan diri dari balik pohon. Dia kembali melanjutkan perjalanan untuk menemui Raka. Semuanya masih berjalan sesuai rencana, sampai kemudian Jelita tidak menyangka dirinya bertemu dengan ayahnya.
"A-ayah..."
Jantung Jelita seperti lepas dari pengaitnya, melorot sampai perut. Napasnya susah diakses, Jelita gemetar menemukan perawakan tinggi ayahnya di depan mata.
Ya, Cawi sudah menghadang langkah putrinya. Pria kejam itu entah datang dari mana, tiba-tiba saja sudah berdiri dengan ekspresi marah di depan Jelita.
"Kamu... mau kabur?"
"Tidak, aku... aku cuma--"
"Anak tidak berguna!"
Cawi tidak sabar menunggu ucapan Jelita. Sepertinya pun dia tidak perlu menerima jawaban apa-apa dari putrinya. Melihat Jelita ketakutan saja itu sudah menjawab segala tanya di kepalanya. Jelas saja, Jelita hendak kabur dari rumah.
"Ayah, lepasin. Aku bisa jelasin, Ayah.." rengek Jelita.
Bugh!
Jelita tersungkur ke jalan menerima pukulan Cawi di kepalanya. Sakit sekali, seolah kepalanya akan pecah. Namun, Jelita tidak punya waktu untuk merasakan sakit dan mengeluh. Dia segera bangkit, menangkup kedua telapak tangan untuk memohon.
"Ayah, aku mohon... biarkan aku pergi."
Cawi mendadak tersenyum sinis. "Kamu berbohong diterima kuliah, kan?"
Air mata Jelita mengalir bersamaan dengan pertanyaan yang keluar dari mulut ayahnya. Ya, tebakan Cawi benar. Jika Jelita ketakutan dan ingin sekali pergi dari desa, itu berarti memang benar, Jelita berbohong soal tes SBMPTN.
Cawi sebenarnya tidak tahu Jelita akan kabur. Dia sudah berangkat untuk melaut bersama yang lain, seperti Hadi dan Gugun, akan tetapi bekalnya tertinggal. Cawi balik lagi hendak ke rumah untuk mengambil bekal, tetapi malah bertemu dengan putrinya yang keluar dari balik pohon dengan menggendong tas besar.
Kemarahan Cawi memuncak. Dia menarik lagi pergelangan tangan Jelita, membawa paksa gadis itu kembali ke rumah. Jelita meminta ampun sepanjang jalan, namun tidak digubris oleh ayahnya.
"Ayah, lepasin!"
"Ayah, aku mohon..."
"Aku tidak akan kabur kalau Ayah tidak memaksaku untuk menikah."
"Ayah!"
Cawi membuka pintu serampangan. Hal itu berhasil membuat Maryati dan Yuni terbangun dari tidurnya. Mereka melihat Cawi membawa Jelita, entah dari mana.
Jelita terus meminta pertolongan untuk dilepaskan, tetapi Cawi menulikan pendengarannya. Pria itu sudah marah besar, dia langsung mendorong Jelita masuk ke kamarnya. Jelita dikunci dari luar tanpa sempat menjelaskan apa-apa.
"Ada apa ini?" tanya Maryati.
"Anak itu kurang ajar sekali, dia membohongi kita semua!" sentak Cawi.
"Maksud Ayah?" kata Yuni tidak paham.
"Dia tidak lolos tes masuk kuliah. Dia berbohong supaya kita lengah, lalu dia mau kabur."
"Ya ampun..." desah Yuni. Diam-diam Yuni merasa iba melihat kondisi Jelita. Dia juga perempuan, pasti tidak menyenangkan dipaksa menikah dengan bapak-bapak yang tidak disukai. Yuni sih bersyukur bertemu dengan kakaknya Jelita, mereka menikah karena saling mencintai.
"Aku tidak jadi melaut. Aku akan menjaga anak itu sampai pagi. Kalian pergilah tidur lagi. Yuni, masuk kamar, nanti anak-anak bangun. Kamu, Mar, tidur sana, besok pagi-pagi datang ke rumah Joko, bilang Jelita siap dinikahkan." Cawi memerintah yang langsung dituruti oleh istri dan menantunya.
Pria itu duduk di depan pintu kamar Jelita. Ia mengambil rokok dari atas TV berukuran kecil, menyalakannya dengan korek api lalu menghisapnya. Malam itu dia berencana untuk tidak tidur dan melaut. Dia akan menjaga putrinya seorang diri.
Sementara di dalam kamarnya, Jelita menangis sesenggukan. Dia memeluk lututnya, menenggelamkan kepala sambil memikirkan Raka.
"Raka, maaf..."
Ya, Raka masih menunggu. Raka di depan SD seorang diri. Laki-laki itu mengecek gang di samping SD beberapa kali untuk memastikan kedatangan Jelita. Tetapi nihil, hingga fajar menyambut Jelita tidak juga keluar dari sana.
Suara adzan subuh mengharuskan Raka pergi ke masjid dan menunaikan kewajibannya sebentar. Ia kembali lagi ke gang samping SD, menanti Jelita. Menanti gadis itu hingga kesabarannya habis.
Raka menaiki motornya. Dia harus memastikan sendiri. Sudah pukul 6 pagi, Raka membawa motornya ke rumah Jelita. Di sana suasana ramailah yang ia lihat. Hanya dalam hitungan detik bagi Raka untuk memahami keadaan.
Rumah Jelita ramai. Gadis itu tidak datang ke jalan raya jam 2 pagi. Orang-orang sibuk menyiapkan ini-itu. Jawabannya hanya satu, Jelita akan menikah.
Raka berjalan lunglai memasuki rumah Jelita. Ia bertemu Maryati dan Yuni, mereka tidak melarang Raka masuk. Katanya biarkan saja, toh Jelita sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Maryati akan membiarkan Jelita berpisah dengan sahabatnya untuk terakhir kali.
Jelita mematut dirinya di depan cermin milik MUA yang sedang meriasnya. Gadis itu tidak tersenyum sama sekali saat orang-orang memujinya cantik.
Raka masuk setelah semua orang keluar. Jelita selesai berdandan, MUA keluar dari sana. Tersisa Raka dan Jelita di kamar sempit itu. Ini kedua kalinya Raka masuk ke kamar Jelita, dan di kondisi yang menyedihkan. Pertama, saat Jelita sakit. Kedua, saat Jelita akan menikah.
"Ta..." Raka memanggil pelan-pelan.
Jelita melihat ke arahnya. Raka duduk di depan Jelita, memperhatikan penampilan cantik sahabatnya.
"Raka, kamu... gak pergi?"
Raka menggeleng. "Aku nungguin kamu, Ta. Aku nunggu sejak jam dua. Aku berharap kamu datang walaupun terlambat."
"Maaf, ya, Raka... aku ketahuan. Aku..." Jelita tidak sanggup berkata-kata lagi. Air matanya lebih dulu menyerobot keluar. Dia tidak peduli dengan riasannya, Jelita bahkan mengusap pipinya kasar.
Raka menahan kedua lengan Jelita. Dia membatalkan Jelita yang akan merusak makeup-nya. "Aku mau pergi, jadi tolong biarkan aku melihatmu dengan keadaan cantik."
"Aku gak mau nikah, Raka. Aku gak mau..." Tangis Jelita semakin keras dan menyedihkan. Dia tidak mau menikah, dia mau ikut Raka.
"Maaf, Ta. Maaf... Aku gak bisa berbuat apa-apa."
"Bukan salahmu, Ka. Semua salahku, harusnya aku memang lebih baik mati saja."
"Hei!" Raka memasang telunjuknya di depan bibir Jelita. "Jangan berkata begitu. Tidak baik, ya..."
"Ekhem!" Seseorang berdeham keras. Raka melepaskan tangan Jelita saat mengenali bahwa suara itu berasal dari Cawi. "Keluar, pengantin laki-lakinya sudah datang."
"Sebentar, Pak." Raka membantu Jelita berdiri. Dia menarik tisu milik MUA dari barang-barang yang ada di tas makeup.
Raka membantu Jelita berjalan keluar kamar. Dia bahkan mengantar gadis itu sampai duduk di sebelah pengantin laki-lakinya. Jelita sesenggukan, tubuhnya bergetar hebat. Raka bisa merasakan bahwa gadis itu mencengkeram tangannya ketika digandeng keluar.
Jelita melihat Raka yang menyaksikan ijab qobulnya dengan mata yang semakin memerah. Lelehan air mata terus mengalir dari kedua mata cantik itu, membuat Raka tidak bisa untuk tidak ikut menangis.
Laki-laki itu menangis. Raka mendapati dirinya tidak bisa berhenti meneteskan air mata. Seorang Muhammad Raka Binaryadi yang dikenal cool dan bad boy di sekolah, hari itu untuk pertama kalinya dalam hidup, dia menangis.
Jelita menggeleng kecil pada Raka yang dibalas anggukan oleh laki-laki itu. Jelita memintanya untuk berhenti menangis, dan Raka mengiyakannya meski dengan air mata yang tidak bisa berhenti membentuk anak sungai.
"Saya terima nikah dan kawinnya Jelita binti Cawi dengan--"
Bruk.
Seluruh mata terbelalak melihat tubuh si pengantin perempuan ambruk begitu saja. Dari mulut Jelita keluar busa, tubuhnya kejang-kejang. Beberapa orang memilih keluar karena ketakutan, sisanya berkumpul karena ingin tahu.
Raka menegang di tempatnya beberapa detik, lalu dia berlari menerobos orang-orang untuk memangku kepala Jelita. Dia bahkan menggeser Maryati yang kala itu juga ikut panik dengan keadaan naas putrinya.
"Jelita!" teriak Raka.
Jelita pasti meminum sesuatu. Raka tahu persis ciri-ciri pada Jelita adalah ciri-ciri orang yang baru saja keracunan. "Ta, bangun, Ta!"
Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Jelita sudah tidak bisa lagi membuka matanya. Dia membuktikan perkataannya sendiri bahwa ia lebih baik mati daripada dipaksa menikah.
"Jelita!"
"Jelita, bangun, Ta!"
Raka berkali-kali mengecek nadi di pergelangan tangan Jelita yang sudah lemah, tetapi nihil. Hasilnya selalu sama, hasilnya mengatakan kalau Jelita sudah pergi jauh.
Jelita, sahabat baiknya, ia pergi jauh sekali. Tega sekali, Jelita melakukan perpisahan untuk terakhir kalinya sesuai dengan keinginan Raka. Dia akan diingat dalam keadaan cantik.
"Jelita!!!"
"Jangan pergi, Ta. Aku mohon..."
"Jelita!!!"