"Cari uang yang banyak buat jajanin aku!" --Azka.
∆∆∆∆∆
Pagi ini Hadi tidak ketiduran di ruang kerjanya lagi. Kemarin dia pulang normal di bawah jam 18.00 WIB. Begitu selesai membuat sketsa terbaru, dia pulang, makan dulu di luar sendirian, membersihkan diri, dan tidur di kamar. Maka dari itu ketika dia bangun, badannya terasa begitu fresh.
Drrt... Drrt...
Baru saja hendak menuju dapur, ponselnya berbunyi. Hadi membalikkan badannya lagi menuju kamar, mengambil ponsel. Ternyata ada panggilan masuk dari adiknya, ia pun menyalakan panggilan itu dan menekan loud speaker sambil berjalan menuju lemari pendingin untuk mengambil air minum.
"Abang!" sapa Azka riang di seberang sana.
Hadi tersenyum mendapat panggilan menggemaskan itu. "How's Australia?"
"Menyenangkan. Tapi aku bukan mau ngomongin itu!"
"Apa?"
"Kayaknya aku gak bisa wisuda tahun ini, tesisku harus rombak lagi dari awal."
"Tidak apa-apa, nikmati saja, ya. Uang jajan masih?"
Percayalah, Azka yang mendengarnya di seberang sana mendadak merasa tubuhnya begitu hangat. "Masih, Bang. Tapi kalau Abang mau nambahin, boleh, hehe."
"Oke, nanti Abang kasih ya. Sudah telepon Bapak sama Ibu?"
"Belum, dari kemarin HP mereka gak aktif."
"Oh ya? Ya sudah, nanti Abang cari tau."
"Abang mau pulang?"
"Ya, kangen rumah."
"Oke, Abang. Udah dulu ya, Bang. Aku mau ke kampus."
"Ya, kamu semangat kuliahnya ya, Azka!"
"Siap, Abang juga yang semangat kerjanya ya. Cari uang yang banyak buat jajanin aku!"
Panggilan diputus oleh Azka di seberang sana. Adiknya yang pertama itu tetaplah masih anak-anak di mata Hadi, walaupun sekarang sudah dewasa dan sedang menempuh pendidikan S2 di Australia.
Mengingat dirinya ingin pulang ke kampung halaman, Hadi segera menelepon sekretarisnya. Ponselnya ia nyalakan mode loud speaker kembali untuk memudahkannya berbicara sembari membuat roti selai.
"Halo, Win," sapa Hadi begitu sambungan telepon terhubung.
Winda--sekretarisnya yang sigap pun segera membalas sapaan Hadi. "Ya, Pak? Ada yang bisa dibantu?"
"Undur semua jadwal saya satu minggu ke belakang ya. Kalau semisalnya perlu meeting mendadak bisa dialihkan lewat zoom. Untuk design yang memang sudah masuk akan saya usahakan selesai minggu ini, nanti saya kirim blueprint-nya."
"Baik, Bapak. Ngomong-ngomong, Bapak mau pergi ke mana satu minggu ini, Pak?" tanya Winda. Tidak biasanya atasannya itu minta cuti selama ini. Sehari-dua hari saja Hadi hampir tidak pernah absen, tetapi kali ini mendadak langsung seminggu berencana cuti.
"Saya mau ke kampung menemui orangtua saya."
"Oh, baik, Bapak. Jangan khawatir, saya akan menjadwalkan ulang dengan baik, Pak. Salam untuk orangtua Bapak ya."
"Siap, terima kasih ya, Winda."
"Sama-sama, Pak."
Panggilan kemudian diakhiri oleh Hadi. Dia selesai membuat roti lapis selai kacang. Minuman dingin juga sudah tersaji di atas meja, laki-laki itu pun segera memakannya dengan perlahan.
Sudah sejak lima tahun lalu Hadi tinggal seorang diri di apartemen miliknya. Hasil dari jerih payahnya membangun karir di dunia arsitektur berhasil membuatnya hidup lebih baik dari zaman dia remaja dulu. Semua ini tidak luput dari perjuangan Jelita dan Bu Fida, mereka yang sudah membuat Hadi akhirnya mau lanjut SMA dan kuliah.
Maka dari itu, ia akan pergi ke kampung halamannya. Dia sudah sangat merindukan orangtuanya, sekalian menanyakan kabar apa yang terjadi karena Azka mengabari dia tidak bisa menghubungi mereka. Juga untuk bertemu dengan Bu Fida, gurunya yang amat berjasa itu.
Bu Fida masih mengajar di sekolahnya. Hadi sering datang untuk menemui beliau. Tak tanggung-tanggung Hadi memberikan hadiah pada Bu Fida sebagai tanda terima kasih. Bu Fida bangga sekali melihat perubahan hidup Hadi yang sekarang. Semua perjuangannya dulu tidak sia-sia, Hadi sudah sukses.
Laki-laki itu menyudahi sarapan dan nostalgianya. Dia bangkit dari meja makan, hendak kembali ke kamar dan bersiap-siap. Baru saja kakinya menapaki anak tangga menuju lantai dua, suara bel pintu menggagalkan niatnya.
Hadi berjalan menuju pintu utama. Tidak langsung dia buka, melainkan ia cek dulu tamunya lewat layar interkom. Helaan napas menguar dari bibirnya melihat siapa yang datang.
"Lama banget sih buka pintunya?" sentak si tamu.
Hadi mendengus kesal. "Ngapain sih ke sini, Ta?"
"Kamu bilang, kan, mau pulang kampung, aku ikut ya?"
"Ogah!"
Gadis itu mengekori Hadi hingga menarik-narik lengan laki-laki itu untuk membujuknya. "Aku mau ikut, Di!"
"Kamu emangnya gak ada kerjaan apa? Bidan kayak kamu kok santai banget?"
"Ya emang, aku mah fleksibel aja. Ya, ya, ikut ya, Di..." bujuk gadis itu dengan menunjukkan mata yang berbinar.
"Ya, oke, deh. Tapi ingat ya, sampai di desa kamu harus bilang Ayah sama Ibumu."
"Oke, janji!"
Janjinya saja, padahal Hadi tahu sekali gadis itu tidak akan mau melakukan hal itu. Dasar menyebalkan, entah sampai kapan dia mau berdamai dengan kedua orangtuanya.
∆∆∆∆∆
Gadis yang berprofesi sebagai bidan itu sangat bahagia bisa ikut pulang ke kampungnya Hadi. Ah, rasanya sudah lama sekali dia tidak bertemu kedua orangtuanya walaupun hubungannya dengan mereka sedang tidak baik, tetapi Hadi ada benarnya juga. Dia harus segera meminta maaf pada mereka.
Sepanjang perjalanan, gadis itu menyembulkan wajah melalui jendela di sampingnya. Ia merasakan angin menerpa wajahnya, sejuk sekali.
"Tutup, pakai AC saja!" pinta Hadi.
"Ya," katanya menurut. Untuk sekarang dan seminggu ke depan lebih baik dia menuruti kemauan Hadi saja, takut nanti ditinggalkan di tengah jalan, seram.
"Kenapa sih mau ikut segala?" tanya Hadi penasaran.
"Bosanlah kalau di Jakarta tidak ada Bapak Hadi Ardian, hehe..."
Hadi tersenyum menerima jawaban dari gadis menyebalkan di sebelahnya. Walaupun dia harus segera mencari ide untuk menjawab pertanyaan ayah dan ibunya nanti jika dia pulang membawa si Ibu Bidan ini.
"Kalau kamu capek nyetir bilang ya, nanti gantian sama aku."
"Emang kamu bisa?"
Ditanya begitu ragu oleh si lawan bicara, gadis itu ringan sekali menggeplak bahu Hadi. "Bisa dong, makanya aku menawarkan diri buat gantian. Sembarangan aja, aku tuh punya mobil, suka bawa sendiri juga, tapi sayang jarang dipakai."
"Gak usah, Ta. Biar aku aja, kuat kok sampai Indramayu mah."
Yang dipanggil Ta mengangguk-angguk senang. Tidak apa-apa, dia malah suka tidak menyetir. Memandangi Hadi yang tengah fokus dengan stir kemudi adalah pemandangan indah yang langka didapatkan.
"Ada tisu gak, Di?"
"Cari aja di dashboard. Eh, di sini kayaknya." Hadi menunjuk penyimpanan di sela-sela tempat duduk dia dan gadis itu.
Gadis yang dipanggil Bu Bidan pun membukanya segera, ia menemukan tisu yang tinggal satu lembar itu. Setelah menariknya keluar, ia terpaku melihat manik-manik gelang berbentuk hewan laut ada di sana.
Seketika raut sedih menyelimuti wajahnya. Ya Tuhan, dia ingat gelang itu. Gelang persahabatan yang akhirnya rusak karena ulahnya. "Duh, Di... Gelangnya gak dibuang aja? Kok disimpan terus?"
"Oh itu? Biarin, Ta. Masa dibuang, itu kan gelang penuh kenangan."
"Maaf, rusak karena aku..."
"Ya, gak apa-apa. Itu masih bisa diperbaiki, tapi aku lupa terus."
"Buang juga padahal gak apa-apa, Di. Itu kan udah sebelas tahun lalu waktu ulangtahun kamu ke tujuh belas."
"Gelang itu penuh kenangan, Ta. Gak mungkin begitu aja aku buang!" seru Hadi. Nada suaranya naik satu oktaf. Dia bahkan sudah menghentikan mobil di tepi jalan. Takut kalau-kalau emosinya naik dan mereka menabrak pengendara lain.
"Maaf..."
"Ya, it's ok. Aku juga minta maaf jadi marah-marah, ya."
Si gadis mengangguk pelan. "Iya, yuk lanjut."
Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Hadi melupakan sejenak emosinya yang tadi mendera hingga bisa kembali tenang. Saat dirinya uring-uringan memikirkan gelang istimewa itu, entah bagaimana bisa gadis di sebelahnya malah santai memberikan ide untuk membuang benda itu.
Dasar, nenek lampir!
"Di, nanti kita ke pantai dulu aja ya. Wah, aku kangen banget sama pantai!"
"Ya, aku juga kangen banget," lirih Hadi tanpa didengar oleh gadis di sebelahnya.
5 jam perjalanan dari Jakarta ke kampung halaman Hadi terbayar sudah ketika mereka akhirnya menapakkan kaki di atas pasir pantai. Mereka beruntung sekali karena hari ini cuaca sedang panas, pantainya jadi terlihat indah sekali.
"Yuhuuu!" Ibu Bidan berlarian ke sana- kemari seorang diri.
Hadi hanya diam saja. Dia berdiri mematung di tempatnya sambil memandangi air laut yang berwarna kehijauan. Siang hari di pantai seperti ini, sungguh membangkitkan memori masa kecilnya di mana setiap kehidupannya dulu selalu ada bersama laut.
"Hadi, kita ke perahu kecil yuk!" ajak Bu Bidan.
"Panas, Ta. Nanti saja. Kita ke rumahku dulu saja yuk. Memangnya kamu tidak lapar?"
Gadis itu menggeleng pelan. "Belum, hehe."
"Aku lapar."
"Ya sudah, kita ke rumahmu. Eh, tapi lima menit lagi ya."
"Oke," final Hadi. Dasar, apa gadis itu sungguhan tidak pernah melihat laut?
Walaupun dulu Hadi sering panas-panasan di laut, kini dia tidak begitu suka melihat laut. Melakukan hal itu sama saja membuka luka lama di hatinya. Ia akan langsung teringat kedua sahabatnya, terutama dia.
Ketika asik memandangi Bu Bidan yang bermain air di bibir pantai, seseorang mendekat. Dia berhenti di samping tubuh Hadi. Ketika Hadi menyadari kehadiran orang lain, ia pun menoleh.
Ditemukannya seorang gadis bersurai panjang yang kini tengah memperlihatkan senyum cantiknya pada Hadi. "Hai, Di. Apa kabar? Sudah lupa ya sama aku?"
"Hai, Ta. Long time no see, ya. Apa kabar?"
Jelita tidak langsung menjawab, dia malah tersenyum seraya menggantung jawaban untuk Hadi yang menanyakan kabarnya.
Apa kabar katanya?
"Baik, kalau kamu?" tanya balik Jelita.
"Baik juga."
Baik. Owalah, jawaban yang template sekali ya.