"Life is must go on. Hidup itu terus berlanjut, maju, tau kan alur maju? Orang-orang mah hidup untuk memikirkan masa depan. Ini kenapa kamu malah mikirnya yang di masa lalu?" --Ibu Bidan.
∆∆∆∆∆
Untuk Laut
Oleh kupu-kupu hitam
Untuk laut yang selalu menyaksikan
Aku datang untuk merasakan
Bersama sejuknya angin kau hantarkan
Terdiam lama membuat aku nyaman
Untuk laut tempatku berkeluh kesah
Aku datang untuk pasrah
Berlari tanpa kenal arah
Hanya tahu harapan akan indah
Untuk lautku di sore hari
Aku datang untuk menepi
Dari banyaknya kekecewaaan dalam diri
Berhenti melangkah untuk mengakhiri
Untuk lautku ketika bahagia
Engkau penuhi hidupku dengan tawa
Merentangkan tangan memeluk luka
Reda segala beban yang bernyawa
Untuk laut
Untuk orangtuaku
Untuk sahabatku
Untuk diriku
Laut, terima kasih
Laut, aku akan pergi
Laut, sampaikan rindu untuk kekasih
Aku pamit tak akan pulang lagi
Seorang laki-laki dewasa tinggi dengan balutan jas biru gelap dan celana bahan hitam membuka matanya. Pandangannya yang masih buram lambat laun jernih kembali. Dirinya teringat buku catatan dalam pelukannya yang semalam dia baca. Buku berisi satu-satunya puisi tentang laut yang suka sekali jadi pengantar tidurnya.
Pandangannya mengedar ke kalender kecil di atas meja. Telah ditunjukkan hari ini adalah hari ke-18 di bulan September tahun 2028. Sudah berapa lama dia terbalut rasa rindu ya?
Dia bangkit dari duduknya, menutup buku catatan itu, lalu mendorong kursi untuk masuk ke dalam meja kerjanya. Ya Tuhan, jadi semalam dia tidur di ruang kerja lagi, tanpa membersihkan diri dan berganti pakaian kerja.
Sudah pukul 05.30. WIB dan subuh sudah lewat. Laki-laki itu segera keluar dari ruang kerjanya untuk masuk ke kamar dan menunaikan sholat. Begitu selesai, ia tersadarkan oleh ponselnya yang tertinggal di ruang kerja. Alhasil, ia pun kembali masuk ke ruang kerja, tertegun tanpa pergerakan. Sebelum benar-benar bergerak dari tempatnya di ruangan yang sepertinya jadi ruangan favoritnya itu, si laki-laki dewasa itu termenung lama melihat bingkai foto kecil berisi gambar tiga orang sahabat dengan; dua laki-laki dan satu perempuan.
"Morning, guys." Seperti biasa, seolah itu adalah rutinitas paginya setiap melihat figura itu. Laki-laki tersebut menyematkan senyum bak orang gila, mulai mengobrol dengan orang-orang dalam foto tersebut.
"Kemarin aku dapat klien dari pasangan terkenal. Mereka youtuber ternama, akan menikah tahun depan. H dan J--"
H dan J.
Dirinya terdiam lama hanya karena mengatakan dua inisial itu. Akh, sialan, dia jadi teringat teman-temannya dalam foto itu. "Bukan kalian, maksudku H dan J untuk Harris dan Jennifer. Youtuber yang suka ngonten di luar negeri itu, lho. Mereka mau dalam setahun rumah impiannya dibangun, supaya nanti setelah menikah, mereka bisa menempatinya langsung. Sweet sekali ya, hasil ngonten bersama mereka dirikan rumah mewah untuk ditinggali bersama juga."
Setelah bercerita panjang lebar begitu, dia menatap satu wajah di figura kecil itu. Sesosok gadis yang berada di tengah-tengah dua laki-laki yang salah satunya adalah dirinya. Di sana wajahnya begitu ceria, tersenyum cantik sekali membuat siapapun yang memperhatikan gambarnya di sana menarik sudut bibir mereka.
"Apa kabar, Hadi tujuh belas tahun, Jelita tujuh belas tahun, dan Raka delapan belas tahun?"
"Aku rindu kalian," lirihnya.
Drrt... Drrt...
Ponselnya dari atas meja kerja bergetar, menimbulkan suara getar yang beradu dengan meja. Si pemilik segera meraih benda pipih itu, menilik nama pemanggil pada layarnya.
Dia menggeser ikon hijau, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan. "Halo?" sapanya lembut.
"Semalam ke mana? Aku menunggu tiga jam di bar tempat janjian. Kenapa kamu tidak datang? Ish, dasar menyebalkan! Sekarang juga datang ke HJR's Cafe, temani aku sarapan!"
"Ta, aku bisa jelasin. Semalam itu aku--"
"Apa? Membaca puisi laut lagi sambil ketiduran?"
"Memang begitu," lirih si laki-laki.
"Gak mau tau! Alasan saja! Cepat siap-siap, aku tunggu. Kalau sampai dalam satu jam tidak datang, eh, tiga puluh menit. Kalau sampai dalam tiga puluh menit tidak datang ke sini, aku akan mengganti nama cafe ini."
"Jangan, Ta!"
"Ya sudah, buruan siap-siap! Aku tau sekali kamu baru bangun!"
Panggilan diputus sepihak tanpa sempat memberi penjelasan oleh suara gadis di seberang sana. Ah, dasar menyebalkan. Kenapa dari dulu gadis itu masih saja cerewet dan suka mengatur. Padahal sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu.
Apa laki-laki memang diciptakan untuk selalu kalah dari perempuan? Meskipun tidak ingin datang, kenapa dia merasa harus menemui gadis pemarah itu ya?
"Dasar, nenek sihir!" umpat laki-laki itu seraya memperhatikan lagi figura di meja kerjanya. Sekali lagi, untuk mengobati rasa rindunya yang kian menggunung.
∆∆∆∆∆
HJR's Cafe.
Pukul 9 pas. Tidak kurang dan tidak lebih. Sesuai janjinya pada penelepon tiga puluh menit yang lalu--Dia, gadis bersurai panjang itu rupanya sudah duduk di salah satu meja cafe seorang diri sambil menyedot es kopi.
"Nggak bisa ya sehari tanpa es?" Itu sapaan ikonik dari laki-laki tinggi tegap dengan pakaian rapi seperti biasanya.
Si gadis bersurai panjang yang sedang menikmati es kopinya mendongak, menyinyir kemudian ketika menyadari sosok yang mendekati mejanya.
Laki-laki itu menarik kursi di depannya, kemudian duduk dengan santai. Di hadapannya juga sudah terhidang satu potong kue tart, dan hot chocolate.
"Menu baru?" tebak laki-laki itu setelah melihat kue tart berpenampilan asing itu. Dia salah satu owner HJR's Cafe, jadi hapal sekali denga menu-menu di sana.
"Penjualannya lebih banyak dari red velvet cake with strawberry kiss."
"Namanya apa?"
Gadis itu berusaha menelan sandwich dengan gigitan besar dalam mulutnya untuk menjawab pertanyaan itu, sampai-sampai dia tidak sadar sekitar bibirnya ternoda oleh mayones.
"Belum dikasih nama, ada ide?"
Si laki-laki yang selalu peka pun segera menarik satu lembar tisu untuk membantu gadis itu mengelap bibirnya. "Kamu tuh cewek, makan yang anggun, dong!" omelnya.
"Iya, iya, maaf, dih. Buruan kasih ide nama!" seru si gadis.
"Melting chocolate hug tiramisu."
Gadis yang jadi lawan bicara berhenti mengunyah. Dia memaksa menelan kunyahan yang belum lembut itu lantaran terkejut mendengar ide nama dari laki-laki di hadapannya.
"Kamu lagi kangen siapa sih, Bapak Hadi?"
Hadi mendongak. Dia menatap wajah ayu di depannya dengan senyum merekah. "Coba tebak?"
"Ini kuis atau apa? Masa tebak-tebakkan." Hadi tergelak mendapat jawaban gadis di depannya. Bibirnya kembali belepotan, praktis mengundang tangan Hadi untuk mengelapnya dengan lembut. "Life is must go on. Hidup itu terus berlanjut, maju, tau kan alur maju? Orang-orang mah hidup untuk memikirkan masa depan. Ini kenapa kamu malah mikirnya yang di masa lalu? Bapak Hadi Ardian, seorang arsitek ternama se-Indonesia, yang digandrungi banyak gadis dan jadi sorotan publik karena penghasilannya sekali design bisa milyaran, ternyata tidak lebih dari seorang laki-laki ngenes yang tidak bisa move on, haha!"
Tidak menggubris ocehan gadis cerewet di depannya, Hadi memilih menggamit sendok kecil di samping piring kue tart baru yang ia namai dengan 'melting chocolate hug tiramisu' itu, mencoleknya sedikit dan dimasukkan ke dalam mulut. Rasanya benar-benar spektakuler, cokelatnya lumer di mulut, pas seperti namanya.
"Fiks namain dengan melting chocolate hug tiramisu."
"Iya, iya."
Hadi ketagihan menghabiskan kue tart baru itu. Gadis di depannya juga tidak lagi berbicara apapun, sibuk menghabiskan sandwich di tangannya.
Hening selama beberapa menit sampai sandwich si gadis tandas. Hadi kembali menarik tisu dan mengelap area bibir gadis itu yang belepotan. Dia mengomel, bilang gadis itu mirip bayi 2 tahun yang baru bisa makan sendiri.
"By the way, nyuruh aku datang buru-buru ke sini cuma buat ngasih tau menu baru? Nggak, kan?"
"No, no!" gelengnya. Pertama-tama gadis itu menandaskan isi es kopi miliknya hingga keluar sendawa, lalu menatap wajah Hadi. "Bapak polisi ngasih ini kemarin pagi, tadinya mau aku kasih semalam kalau kamu datang. Sorry juga aku baru sadar ternyata isinya undangan."
Hadi menerima undangan dari tangan gadis itu. Tertera nama sahabatnya di sana bersanding dengan nama perempuan yang akan menjadi calon teman hidupnya. "Raka... akhirnya ya."
"Sibuk banget ngurusin nikahan ya sampai nggak pernah datang ke cafe?" sindir si gadis. "Si Jelita Jelita itu cantik banget kah orangnya?"
Hadi melempar pelototan pada gadis di depannya. "Cantik banget, Ta."
"Pantas dia tidak tertarik dengan gombalan mautku."
"Haha."
"Oh ya, jangan panggil aku Ta, ah. Panggil aku Ibu Bidan, hehe."
Hadi termenung mendengar itu. Setiap gadis yang ia panggil Ta itu memintanya mengganti panggilan menjadi Ibu Bidan, maka dadanya kembali bergemuruh, sakit sekali.
"Gak mau, bagus tuh."
"Ih, ngeselin!"
"Biarin," ketus Hadi. Dia menilik arloji di pergelangan tangan kirinya. Sadar sudah satu jam lebih di sana, ia pun segera berdiri dari posisi duduknya. "Aku ada rapat penting di kantor, mau bareng?" tawarnya.
"Iya, mau, mau. Bentar ambil tas sama jas."
"Jangan lama-lama, Ta!"
"Iya, bawel!"
Hadi terkekeh gemas melihat gadis itu serampangan menghampiri meja bar dan berbincang sebentar dengan pekerja cafe bernama Clara. Si Clara melempar senyum pada Hadi, pertanda bahwa dia naksir berat pada laki-laki itu. Hadi sih balas senyum simpul saja, tidak dengan perasaan sukanya.
"Aku tunggu di mobil ya, Ta!"
"Okay!"