"Kami membesarkan kamu, ngebiayain kamu sekolah dari SD sampai SMA, memberimu makan dan jajan, bukan buat ditagih di kemudian hari. Semua itu adalah kewajiban orangtua. Kami hanya ingin kamu bahagia." --Ibu Maryati.
∆∆∆∆∆
Ujian selama 4 hari sudah terlewati dengan penuh perjuangan. Siswa-siswi kelas 12 SMA Bina Abadi keluar dari ruangan ujian dengan wajah-wajah cerah. Semua beban dan lelah yang masih mereka pikul sampai pagi menjelang siang kentara sekali sirna seketika.
Beberapa murid langsung bersorak kencang dengan mengempas kartu ujian mereka. Anak-anak perempuan banyak yang heboh membuat trend di sosial media. Sisanya adalah yang merayakan dengan lebih hening, seperti Hadi dan Jelita.
Hanya Raka yang heboh sejak tadi mengajak dua sahabatnya berfoto bersama. Namun, Jelita dan Hadi tidak mengiyakan, mereka menolak.
"Ayolah... Foto yuk, buat kenang-kenangan, ih!" bujuk Raka.
"Wajahku jelek, Ka. Nanti yang ada kamera HP kamu kebakar, lho," kata Hadi dengan ekspresi takut. Ini anak beneran takut HP Hadi kenapa-kenapa daripada rasa insecure-nya.
Jelita juga menggeleng. "Gak usah, Ka. Nanti saja kita fotonya pas acara pawidyaan, ya?"
"Memori HP aku masih banyak ya, foto sekali gak bikin HP aku kepenuhan."
"Bukan itu, maksud kami fotonya kenapa tidak nanti saja biar hasilnya lebih bagus. Kalau sekarang, lihat saja muka kita kayak zombie!" jelas Hadi.
Raka tidak mempedulikan protes dari Hadi dan Jelita. Dia melangkahkan kaki satu langkah hingga dirinya lebih terdepan, kemudian secepat kilat mengangkat ponsel. Raka tersenyum sambil bergaya dengan mengangkat ibu jari.
Cekrek!
Foto terlampir di ponsel Raka. Dia berhasil berfoto dengan Jelita dan Hadi. Tidak peduli bagaimana rupa dua sahabatnya itu, yang penting dia punya kenang-kenangan dalam ponselnya.
"Ih, Raka! Muka aku, ya Allah!" rengek Jelita. Dia berusaha meraih ponsel Raka, namun sudah lebih dulu disimpan laki-laki itu ke dalam saku seragam.
"Cantik, Ta. Aku yakin kamu cantik."
"Haha... Mana ada, paling mukanya lagi begini nih." Hadi mencontohkan ekspresi wajah terkejut Jelita di HP Raka. Dia melihatnya sepersekian detik tadi. Bukannya fokus melihat ekspresi wajahnya sendiri, dia malah memperhatikan wajah Jelita. Gadis itu melotot dengan mulutnya yang sedikit terbuka, persis ekspresi terkejut.
"Tuh, kan...." Jelita mendorong badan Hadi, lalu menatap Raka kembali. "Hapus dong, Raka..."
"Gak akan aku post di sosmed kok, Ta. Aku cuma bakal simpan di HP doang. Beneran cuma buat kenang-kenangan aja."
"Awas ya?" tuding Jelita.
"Iya, beneran. Janji, deh."
Jelita mengayunkan tas di punggungnya sambil menatap sepatu. "Aku gak mau foto-foto karena masih harus ikut ujian susulan. Kayak gak pantas aja merayakannya hari ini."
"Yaelah..." Hadi merapat pada Jelita. Dia melingkarkan lengannya di leher gadis itu. "Apa bedanya, cuma ujian susulan. Lagipula ya, semua siswa pasti diluluskan, gak ada tuh yang bakal tinggal kelas. Jangan khawatir, ah."
"Hadi benar, Ta. Kamu juga kan cuma ikut susulan buat dua mapel saja. Tenang, pasti mudah kok."
Jelita mengangkat kembali wajahnya untuk menatap Raka dan Hadi. "Terima kasih dukungannya ya, teman-teman."
"Sama-sama."
"Kalau begitu, ayo foto lagi. Kali ini aku pasti akan berpose." Jelita mengerjap lucu di depan Raka.
Laki-laki pemilik ponsel itu segera menurutinya. Dia mengeluarkan benda pipih itu dari saku seragam, membuka kamera dan mengarahkannya ke depan. Hadi dan Jelita segera merapat pada Raka agar masuk ke layar ponsel.
"Satu... Dua... Tiga... say hi!" seru Raka.
Mereka kompak mengangkat dua jari ke depan, berpose ala telinga kelinci. "Hi...," koor ketiganya kompak.
Selesai mengambil foto bersama, Raka dan Hadi berpamitan pada Jelita untuk pulang duluan. Jelita tidak perlu ditunggui, dia akan ujian susulan sendirian. Sebenarnya tidak sendirian, ada tiga anak yang juga tidak bisa ikut di beberapa mata pelajaran lantaran sakit.
Hadi pulang ke rumah, dia akan berjualan dulu sebentar membantu Ibu di tempat jual ikan. Dia sudah berganti pakaian, telaten melayani pembeli yang datang.
"Hadi, katanya kamu mau kuliah?" Ibu-ibu penjual cumi di samping bakul jualan ibunya Hadi bertanya setelah para pembeli pergi.
Hadi mengangguk sopan lengkap dengan senyum hangatnya. "Iya, Bu."
"Kuliah itu mahal, memangnya orangtua kamu punya uang?"
Ibunya Hadi hanya tersenyum saja. "Rezeki sudah ada yang ngatur kok, Mbak Susi."
"Nanti aku akan kuliah sambil kerja, Bu Susi. Itu juga kalau keterima tes SBMPTN," jawab Hadi.
"Kalau tidak diterima?"
"Kerja saja."
Ibunya Hadi menatap putranya seraya mengurut punggung tegap itu. "Kamu pasti bisa, putraku. Do'a Ibu dan Bapak menyertaimu selalu.
"Terima kasih, Bu."
Mbak Susi geleng-geleng kepala. "Ya, semoga sukses deh, Hadi."
"Yang ikhlas dong kalau do'ain, Bu Susi. Kalau ada malaikat lewat, kan, lumayan tuh diaminin."
"Iya, ikhlas..."
Hadi dan ibunya tertawa bersamaan. Memang paling benar kalau menghadapi orang-orang super kepo seperti Bu Susi ini adalah membalasnya dengan setengah sarkas juga. Jangan mau diinjak-injak oleh orang lain. Mereka tidak tahu kehidupan kita, hanya sibuk berkomentar.
Hadi hanya membantu ibunya selama tiga jam. Dia segera pergi ke pantai, tempatnya janjian bersama Jelita untuk menunggu gadis itu pulang sekolah.
Sesampainya di sana, ternyata Jelita yang sudah lebih dulu tiba. Hadi memasukkan kedua telapak tangan ke celana abu-abu yang masih ia kenakan, atasannya sih sudah berganti jadi kaos hitam. Sementara Jelita, dia masih lengkap memakai seragam sekolah dan menggendong tas. Dapat disimpulkan oleh Hadi bahwa Jelita belum pulang ke rumah.
"Kok lama?"
"Kamu kok cepat ngerjainnya?" tanya balik Hadi.
Jelita mengangguk. "Iya, ternyata soalnya gampang."
"Sombong."
"Ih, beneran, haha..."
"Ya udah yuk ah langsung aja ke warnetnya Mang Sanusi."
Tanpa menunggu lama lagi, mereka segera menuju ke warung internet milik Mang Sanusi. Untungnya tempat itu sepi. Ya, karena di zaman sekarang sudah banyak orang yang punya komputer atau laptop sendiri di rumah. Hanya Hadi dan Jelita yang masih belum punya. Jangankan komputer atau laptop, HP saja mereka tidak punya.
"Komputer yang di pojok ya, Di, cuma itu yang nyala!" teriak Mang Sanusi dari dalam rumah.
"Oke, Mang!"
Hadi mengajak Jelita ke komputer paling pojok sesuai instruksi Mang Sanusi. Mereka menarik kursi plastik untuk diduduki. Setelah itu mulai menyalakan komputer, dan berselancar di pencarian.
Tadi pagi Bu Fida sudah mengajari mereka bagaimana cara mendaftar SBMPTN, Hadi dan Jelita juga memahaminya dengan sangat baik. Pertama-tama,
Tadi pagi Bu Fida sudah mengajari mereka bagaimana cara mendaftar SBMPTN, Hadi dan Jelita juga memahaminya dengan sangat baik. Pertama-tama, mereka mengurus pendaftaran untuk Jelita. Sudah jelas gadis itu akan mengambil Program Studi Kebidanan sebagai pilihan pertama di Universitas Padjadjaran. Setelahnya barulah si Hadi, laki-laki itu seperti biasa stuck di pilihan program studi.
Jelita sudah mencetak kartu pendaftaran, sedangkan Hadi masih terdiam. Laki-laki itu bahkan melamun terus, terdiam lama hingga Jelita berdecak kesal.
"Sini, biar aku yang pilihin."
"Heh!" Hadi menepis tangan Jelita yang sudah terulur hendak menyentuh keyboard.
"Buruan, Di! Udah keburu maghrib!"
"Sabar, bingung tau!"
Jelita memukuli punggu Hadi karena kesal. Terserah saja, dia lebih baik mengamankan kartu pendaftarannya ke dalam tas. Saat itu, Hadi segera memilih jurusan. Cepat sekali, membuat Jelita sebal.
"Heh, kok udahan?"
"Ya, tinggal cetak."
"Pilih apa tadi?"
Suara mesin print terdengar. Jawaban yang dicari Jelita tidak didapat langsung dari mulut Hadi, melainkan ia baca dari kertas yang keluar. Kartu pendaftaran Hadi diambil oleh Jelita, gadis itu tersenyum senang Hadi sudah menemukan keinginannya.
"Semoga berhasil, Di," ujar Jelita terharu.
Hadi mengangguk. "Semoga kita berhasil."
∆∆∆∆∆
Sekolah sudah bebas bagi siswa kelas 12. Mereka tidak wajib datang ke sekolah, beberapa yang datang hanya untuk mengurus hal-hal penting. Hari-hari tenang itu digunakan Hadi dan Jelita untuk bekerja. Mereka butuh uang untuk membayar acara pawidyaan di sekolah, serta menyiapkan segala macam keperluan.
Setiap malam masih digunakan untuk belajar bersama, namun bila Hadi tidak melaut. Kalau anak laki-laki itu berangkat malam, maka Jelita belajar sendirian di rumah.
Berbicara soal rumahnya, Jelita merasa firasatnya buruk lagi kala menemukan sekotak perhiasan di kamar ibunya ketika dia sedang menyapu rumah. Ibu tidaklah suka mengoleksi perhiasan, juga tidak mungkin punya harta sebanyak itu kalau mereka serba kekurangan.
"Ibu," panggil Jelita pada suatu malam yang sunyi. Maryati sedang memasang koyo di lengan atas sebelah kirinya. Ia mengeluh sakit lantaran salah satu cucunya minta digendong terus karena sedang rewel.
"Kenapa?"
Jelita mengambil duduk di samping perempuan yang melahirkannya ke dunia itu. Walaupun perasaannya sedang tidak baik, dia harus tetap bersikap sopan pada ibunya. "Aku gak sengaja lihat perhiasan di kamar Ibu. Itu bukan punya Ibu, kan?"
"Oh, itu." Maryati mengangguk-angguk, kemudian tersenyum lebar. Dia menoleh pada putrinya dan mengusap rambut panjang Jelita yang malam ini digerai. "Itu mas kawin buat kamu. Kamu lihat sebanyak apa, kan? Itu baru sedikit, katanya nanti akan ditambah lagi."
Jelita terkejut luar biasa. Dadanya bergemuruh hebat. "Ibu!" sentaknya.
"Iya, Ibu tau kok kalau belum saatnya. Tenang saja, Ibu ingat perjanjian itu. Lagian apa salahnya mempersiapkan semuanya, toh pengumuman tesnya sebentar lagi, kan?" Maryati bangga sekali dengan dirinya sendiri. Dia bahkan sudah mengumumkan pada seluruh ibu-ibu yang dekat dengannya kalau calon mantunya adalah orang yang sangat kaya.
"Ibu kenapa sih mau banget aku nikah?"
"Jelita, kamu itu perempuan desa. Kamu miskin dan bodoh. Ibu sudah cukup menyekolahkan kamu sampai SMA, juga buat perjanjian sama gurumu yang cerewet itu. Sekarang sudah saatnya Ibu yang berjuang membahagiakan kamu dengan cara mencarikan calon suami kaya yang bisa bahagiain hidup kamu."
Jelita menarik rambutnya ke belakang. Kenapa sih pemikiran ibunya sampai seperti itu?
Kedengarannya memang mulia. Ibunya sama seperti ibu kandung orang lain yang ingin sekali anaknya bahagia, tetapi caranya salah. "Bagi Ibu mungkin bahagianya aku dengan menikah dan dapat suami kaya, tapi bagiku gak begitu, Bu. Aku akan bahagia kalau bisa mengangkat derajat Ibu dan Ayah. Aku bahagia kalau kalian bisa merasakan hasil dari kerja kerasku nanti."
"Tidak usah. Ibu tidak minta, Ayah juga tidak minta. Kami memberikan apapun buat kamu selama ini tidak untuk mendapatkan balas budi. Kami membesarkan kamu, ngebiayain kamu sekolah dari SD sampai SMA, memberimu makan dan jajan, bukan buat ditagih di kemudian hari. Semua itu adalah kewajiban orangtua. Kami hanya ingin kamu bahagia. Itu saja, Jelita!"
"Aku tidak bahagia kalau disuruh menikahi orang yang tidak aku suka, apalagi orang tua!" tekan Jelita. Nada suaranya sudah naik satu oktaf. Berbicara dengan ibunya memang tidak bisa pelan-pelan dan sabar, selalu dibumbui penuh rasa emosi.
"Kamu bilang tidak bahagia itu sekarang. Nanti kalau kamu sudah merasakannya sendiri, kamu akan tau kalau apa yang Ibu bilang adalah benar."
"Aku tidak mau!" Jelita berdiri dari duduknya.
Maryati menyusul berdiri. Dia murka lagi, tangannya terangkat untuk menoyor kening Jelita. "Dasar anak bodoh, tidak tau diuntung!"
"Terserah, aku akan memastikan aku bisa kuliah."
"Dan, kalau tidak lolos, kamu harus siap untuk dinikahi. Paham?!" sentak Maryati.
Jelita mengepalkan kedua buku tangannya. Dia menatap kepergian ibunya begitu saja. Tidak lagi membalas kalimat menyakitkan itu, ia memilih pergi ke kamarnya.
Jelita duduk di tepi kasur dengan menutup wajahnya. Air matanya mengalir dari kedua matanya begitu saja. Perih sekali hatinya mendapat perlakuan semena-mena itu. Ternyata selama ini hari-hari tenang yang dia takutkan benar kejadian. Ibunya bukan berubah pikiran membiarkan dia memilih tujuan hidupnya sendiri, tetapi diam-diam menyiapkan semuanya.
"Aku lebih baik kabur, daripada menuruti kemauan Ibu."
Jelita mengusap kedua pipinya yang basah. Dia bangkit dari tempat tidur, menyiapkan tas. Besok dia harus tes SBMPTN bersama Hadi pagi-pagi sekali. Dia kesampingkan dulu emosinya, mulai menenangkan perasaan dan kembali belajar.
"Ya Allah, aku mohon... tolong izinkan aku berhasil. Ini adalah kesempatan terakhirku ya Allah..." lirih Jelita sambil menengadahkan kedua telapak tangan di atas buku soal yang sudah dia buka.
Jika kali ini gagal, maka Jelita tidak punya pilihan lain selain nekat. Dia mungkin gagal, tetapi dia tidak mau kalah dari tradisi di desanya.