Loading...
Logo TinLit
Read Story - Matahari untuk Kita
MENU
About Us  

"Aku tidak berani harus kabur seorang diri." --Jelita.

∆∆∆∆∆

 

 

Jelita masih merasakan badannya kaku dan pegal-pegal. Bangun tidur pagi ini pun ia mendapati tenggorokannya sakit, menelan salivanya saja rasanya susah. Tetapi mau bagaimana lagi, dia bosan berbaring terus di tempat tidur.

Maryati--ibunya, walaupun dengan bersungut-sungut seperti tidak ikhlas, beliau tetap menyiapkan nasi dan lauk-pauk untuk Jelita. Terkadang sebenci apapun, Jelita selalu merasa bersyukur terlahir dari rahim Maryati.

"Aku mau sekolah ya, Bu."

Gerakan Maryati yang sedang memindahkan lauk-pauk ke tempat bekal untuk dibawa suaminya terpaksa terhenti. Dia menoleh pada sang putri, tersenyum sinis. "Terserah," responnya acuh.

"Setidaknya aku hanya perlu mengulang dua mapel saja."

"Ya sudah, nikmati sisa-sisa waktumu itu. Karena Ibu yakin banget, setelah SBMPTN nanti kamu tidak punya pilihan lain. Ingat janji Bu Fida, kan?"

Jelita mengembuskan napas dalam-dalam. Terserah saja, Jelita sudah punya rencana lain kalau sampai dirinya gagal tes masuk perguruan tinggi lewat SBMPTN nanti. Gadis itu tidak jawab apa-apa, dia memilih mengambil piring karena sudah lapar sejak bangun tidur jam 4 subuh tadi.

"Aku mau sarapan duluan, terus mandi dan pergi ke sekolah, Bu."

Meskipun sambil berdecak kesal, Maryati merogoh kantung celananya untuk mengeluarkan satu lembar uang lima ribuan dan meletakkannya di meja. "Ibu mau anterin bekal ke Ayah, terus langsung ke pelelangan. Kamu kalau berangkat jangan lupa selot pintu, ya."

"Iya, Bu. Makasih makanannya, Bu..." ujar Jelita dengan senyum manisnya.

Sesuai rencananya, hari ini Jelita masuk sekolah. Dia berangkat bersama Hadi seperti biasa. Kali ini sedikit dibumbui rasa semangat, sebab Jelita senang sekali Hadi mau ikut tes SBMPTN dengannya.

Sedangkan Hadi yang berjalan di sebelah gadis penuh luka lebam itu hanya sibuk memperhatikan. Jelita memang sangat tahan banting, pikir Hadi. Lihat saja bagaimana dia berjalan begitu semangat dengan kulit biru-birunya.

"Semua orang nggak bakal nyangka kalau kamu habis dipukuli, dikurung, dan tidak diberi makan dan minum dua puluh empat jam." Hadi berceloteh begitu mereka sudah sampai jalan raya.

Jelita tidak peduli. Dia merespons kalimat Hadi dengan menjulurkan lidahnya. Bodo amat dengan nyinyiran laki-laki itu. Jelita tidak mau membalas, Hadi pasti akan membalas dengan lebih kejam lagi kalau dia lakukan.

"Ada banyak jurusan lain yang lebih besar peluangnya kalau kamu mungkin berubah pikiran."

Jelita praktis berhenti, menunggu Hadi melanjutkan ucapannya.

"Misalnya; pendidikan."

"Aku gak kayak kamu yang jenius, Di. Aku orangnya susah menahan amarah, dan tidak becus menjelaskan materi. Aku tidak bisa jadi guru."

"Iya, sih, susah."

"Kalau kamu? Kamu belum jawab pertanyaanku, kamu ikut SBMPTN itu mau ambil jurusan apa? Di kampus mana?" cecar Jelita. Mumpung suasananya pas, dan topik pembicaraan mereka juga sama.

Hadi mengedikkan kedua bahunya. Jujur sih, dia tidak tahu mau ambil kampus dan jurusan apa. Lagipula, sebenarnya dia sengaja ikut SBMPTN karena pancingan dari Raka. Kemarin lusa di hari pertama UNBK, Raka memberinya rencana.

"Kamu mau buat Jelita makin semangat gak?"

"Caranya?"

"Kamu harus ikutan SBMPTN juga, Di."

"Hah? Masa? Gak, ah!"

"Jelita itu selama ini maksa-maksa kamu buat sekolah, nyari jati diri, nemuin mimpi, cari tujuan hidup, menurut kamu nggak ada artinya? Dengar, Di, kamu bisa saja coba-coba ikut tes. Selain bisa bikin Jelita semakin semangat, kamu juga bisa sekalian nemuin bakat dan minat kamu. Oke, kan?"

Pembicaraan itu membuat Hadi menemukan jawabannya saat ini. Jelita memang begitu antusias mendengar kabar bahwa dirinya akan ikut tes masuk perguruan tinggi dengannya. Dia jadi percaya kalau ucapan Raka ada benarnya.

"Satu kampus aja deh sama kamu."

Jelita melebarkan senyum. Dia semakin bersemangat setelah mendengar jawaban Hadi. Jelita jadi membayangkan mereka jadi mahasiswa nanti.

"Wah, pasti menyenangkan banget. Kita bisa merantau dan kuliah bareng. Seru bangeeeet!"

"I-iya."

"Di sana ada jurusan teknik, pendidikan, kedokteran, ekonomi, hukum. Kamu minat yang mana?" Begitu Hadi menggeleng, Jelita kemudian mengangguk-angguk. "Baik, kayaknya yang cocok buat kamu yang jenius itu jurusan teknik atau pendidikan."

"Oh ya?"

"Iya, gimana kalau setelah ujian hari ini kita konsultasi ke Bu Fai?"

Hadi mengangguk setuju. Dia sih setuju saja deh saran dari Jelita. Sudah terlanjur juga mengikuti saran Raka. "Boleh."

"Tenang, Bu Fai itu guru BK ter-best sedunia, hehe..."

Kedua sahabat baik itu segera melanjutkan langkah untuk sampai ke sekolah. Di depan gerbang, terlihatlah Raka yang melambaikan tangan. Laki-laki itu sengaja menunggu Hadi dan Jelita sebelum masuk ke ruang ujian.

"Aku bawa roti, kalian mau?"

"Aku mau!"

"Aku juga!"

 

∆∆∆∆∆

 

Jelita tidak pernah merasa setenang ini sebelumnya. Ayah dan Ibu tidak marah-marah ataupun memukulinya. Dia merasa begitu bebas. Akhir-akhir ini Jelita seperti hidup normal. Dia sekolah, pulangnya belajar, sorenya bekerja di tempat Mbak Tina, malamnya belajar buat tes SBMPTN bersama Hadi.

Walaupun Jelita merasa berfirasat buruk sebab tanpa alasan hidupnya yang biasanya kacau bisa setenang ini, tidak dipungkiri dia sangat senang. Jelita merasa bisa bernapas dengan benar.

Luka-luka ditubuhnya sudah mulai membaik. Gadis itu termasuk orang yang cepat pulih dari sakit. Tidak salah Hadi selalu menyebut Jelita itu tahan banting. Selain ambisinya yang besar, dia mampu menahan luka dan rasa sakit seorang diri.

"Ayah!" Jelita berlari membelah kerumunan orang-orang untuk sampai di dekat ayahnya.

"Kok kamu ke sini?" tanya Cawi.

"Aku disuruh Mbak Yuni buat nganterin kue. Buat Ayah katanya, nih."

Cawi menerima tempat makan yang di dalamnya berisi kue bikinan menantunya dari tangan Jelita. "Terima kasih, ya."

"Sama-sama, Ayah."

"Nih, buat kamu jajan." Cawi mengulurkan uang dua puluh ribu ke hadapan putrinya.

Hal itu kontan membuat Jelita menganga tak percaya. Hari baik akhir-akhir ini sungguh belum membuatnya terbiasa. Rasanya aneh saja tiba-tiba diperlakukan sebaik itu oleh ayahnya. Jelita sangat tidak terbiasa disayang seperti ini.

"Banyak banget, Ayah?"

"Ayah dapat bonus dari juragan. Ayo, diambil nih uangnya, buat jajan."

Menurut, Jelita menerima selembar uang dua puluh ribuan itu dari tangan Cawi. "Terima kasih, Yah."

"Sama-sama. Semangat belajarnya ya."

Apa-apan tadi? Semangat belajar?

Jelita tidak salah dengar, bukan?

Wah, ini semua benar-benar keajaiban. Jelita pasti akan menceritakannya pada Hadi dan Bu Fida.

Malamnya tanpa menunggu lama, ketika tengah belajar bersama Hadi, Jelita menceritakan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.

"Itu berarti, nasihat Bu Fida buat Bu Maryati manjur sekali." Begitu jawaban Hadi setelah Jelita selesai bercerita.

"Masa sih? Kalau segampang itu, kenapa baru sekarang? Bu Fida, kan, sudah lama sering ngomelin Ibu tentang pentingnya sekolah."

"Iya juga ya." Hadi jadi menimang pensil di tangannya. Dia menunda sejenak pekerjaannya menyelesaikan soal trigonometri. Jelita benar, sekarang semuanya terasa sangat aneh.

"Di," panggil Jelita setelah hening beberapa menit.

"Kenapa?"

"Tawaranku buat kabur dari desa gimana? Setuju gak?"

"Ish!" Hadi refleks memukulkan pensil di tangannya ke kepala Jelita.

"Aw!"

"Apa sih kabur-kabur? Gak ya! Lagian aku yakin sih bakal lolos SBMPTN."

"Ya itu mah kamu, aku juga percaya, Di. Nah aku? Aku, ya... Aku gak sepintar kamu, lho. Masalahnya... Aku tidak berani harus kabur seorang diri."

"Ya makanya gak usah kabur-kaburan!"

"Oh... Jadi kamu bakal ngebiarin aku dikawinin sama bapak-bapak?"

Hadi berhenti mendebat. Mulutnya sudah terbuka, namun dia tak tahu harus merespons apa. Laki-laki itu hanya diam sembari memperhatikan wajah Jelita yang penuh kekhawatiran.

"Jahat!" maki Jelita menyadarkan lamunan Hadi.

Gadis itu meraih pensil kembali dan fokus mengerjakan soal. Sementara itu, Hadi mulai sadar kembali, dia memperhatikan coretan Jelita dengan seksama.

"Salah itu, masa min dua ditambah sepuluh hasilnya dua belas?"

Jelita melemparkan pelototan tajam yang sanggup membelah Hadi menjadi dua bagian. "Ya itu typo!"

"Kalau ada min di salah satu angka, maka sistemnya seperti bayar--"

"Tau! Gak usah ngomong!"

"Oke, awas kalau nanya!" sentak Hadi tidak mau kalah.

Jelita mendesis kesal. Memang ya, Hadi itu memang tidak bisa sebentar saja membuatnya damai.

Sepuluh menit berlalu tanpa obrolan. Jelita dan Hadi sama-sama sibuk mengerjakan soal masing-masing. Hadi sudah mengerjakan sepuluh soal, sementara Jelita stuck di soal ke lima. Gadis itu ingin meminta bantuan, namun rasanya gengsi sekali.

Sudah dua menit Jelita memandangi wajah Hadi tanpa niat membuka suara. Saat menit ketiga, Hadi tersadar tengah diperhatikan. Dia pun mendongak, menemukan Jelita yang tiba-tiba tersenyum lebar.

"Apa?"

"Ini, lho, nomor lima nih, susah."

"Minta maaf dulu, terus bilang tolong," pinta Hadi.

Jelita berdecak. Dia menahan emosinya dengan menggenggam erat-erat kedua telapak tangan. "Maaf ya Hadi, bisa tolongin aku ngerjain nomor lima?"

"Nah, kan, enak... Mana, sini."

Suasana pantai yang sejuk malam itu membuat semangat belajar Hadi dan Jelita membara. Mereka sengaja belajar di perahu kecil tempat kecil mereka bermain dulu. Walaupun bukunya terbuka-buka oleh angin, bagi mereka itu bukanlah masalah besar.

Setiap malam mereka belajar di sana. Selain sejuk, tempat itu mengingatkan masa kecil mereka dulu. Jelita kecil diajari membaca oleh Hadi di sana, sekarang Jelita yang sudah tujuh belas tahun pun diajari soal matematika oleh Hadi di sana.

Hadi dan Jelita tidak bisa dipisahkan. Mereka seperti gula dan semut. Di mana ada Hadi, maka pasti ada Jelita. Para nelayan dan penjual ikan yang sering melihat mereka bermain di pantai selalu tertawa sebab selain akur, mereka juga selalu bertengkar.

"Di, kamu gak dimarahin bapakmu, kan, tidak melaut?" tanya Jelita.

Hadi menggeleng. "Bapak sama Ibu malah senang. Katanya bangga sekarang karena aku mau daftar SBMPTN."

"Besok kita daftar, pulang dari ujian susulan. Kamu tunggu aku di sini ya, kita ke warnet Mang Sanusi sama-sama."

"Oke."

"Tentuin mau masuk jurusan apa?"

"Iya, iya, bawel!"

Jelita menempeleng kepala Hadi saking gemasnya. Sudah H-1 pendaftaran SBMPTN dan Hadi masih saja tidak tahu mau memilih jurusan apa. Itu kalau bukan leha-leha, apa namanya?

Tetapi Jelita ada benarnya. Hadi baru sadar malam itu. Begitu pulang ke rumah setelah selesai belajar bersama Jelita, dia tidak bisa tidur. Walaupun tujuannya daftar SBMPTN hanya main-main alias tidak serius, tidak ada salahnya jika dia mencoba keberuntungan.

Sampai sekarang Hadi sangat tidak tahu dia akan memilih jurusan apa. Namun jujur, membayangkan dirinya akan jadi mahasiswa membuat dadanya bergemuruh hebat.

Hadi menatap ke atas. Terlihatlah langsung genteng rumahnya karena rumah Hadi tidak memiliki plafon. Laki-laki yang sebentar lagi akan berusia delapan belas tahun itu tersenyum membayangkan hari-hari sibuk dengan tugas kuliah dan bekerja.

"Dih, belum tidur, Bang?"

Hadi mengerjap cepat. Dia segera duduk, menghadap Azka yang sudah mengambil tempat di sebelahnya. Mereka di ruang tengah, Azka keluar membawa bantal dan hendak menemani kakaknya.

"Kamu juga kok belum tidur? Abang mah nggak usah ditemenin."

"Aku mau tidur bareng Abang sebelum Abang jadi mahasiswa dan jarang pulang. Nanti kita jarang ketemu, lho, Bang."

Hadi memutar tubuhnya, memangku bantal dipangkuannya seperti yang dilakukan Azka. "Kamu sesenang itu Abang mau kuliah?"

"Buanget!"

"Eh?"

Azka terkekeh. "Bukan cuma aku. Bapak, Ibu, Salsa juga, hehe. Bang, kita semua senang banget Abang bisa sampai di titik ini. Selama ini Abang hanya menjalani hari-hari Abang untuk bekerja dan menafkahi keluarga, padahal Abang butuh menentukan tujuan hidup Abang. Kata guru aku sih, umur-umur tujuh belas, apalagi kelas tiga SMA, setiap hari adalah hari-hari penuh dilema. Dilema menentukan mau kerja atau lanjut kuliah. Dan... Aku senang banget hari ini Abang menikmati hari-hari Abang untuk belajar dan menata masa depan. Maaf ya, Bang, karena selalu jadi tulang punggung keluarga membantu Bapak. Dan, terima kasih karena Abang sudah jadi kakak terbaik buat aku dan Salsa. Aku janji, kalau sudah besar nanti, aku juga akan mencontoh semangat dan kerja keras Abang."

Hadi menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis. Dia paling gengsi menunjukkan air mata di depan adiknya. Azka pintar sekali berkata-kata. Hadi pikir anak itu tidak pernah menganggapnya ada karena mereka jarang mengobrol.

"Contoh yang baiknya aja, kenapa kulitmu jadi ikut hitam juga?"

Azka tertawa. Dia mengangkat kepalan tangan kanannya untuk dipukul ke dada. "Anak Pramuka gitu, lho!"

Hadi mengusak rambut Azka gemas. "Kamu tuh ganteng, lho, putih. Kalau latihan jangan pas panas-panas ya, ntar gosong kayak Abang."

"Bang, Abang tuh manis. Lihat aja, Kak Lita aja sampai naksir berat tuh."

"Ngaco!" ujar Hadi tidak terima. Naksir dari mananya, pikir dia.

"Kemarin-kemarin pas Abang ke Sumatera itu, Kak Lita ke sini terus diam-diam merhatiin rumah. Itu dia lagi rindu berat, Bang."

"Azka, kita tidur aja yuk, besok kamu sekolah, kan?"

"Jawab dulu, Kak Lita naksir Abang, kan?"

Hadi tidak menjawabnya. Dia memilih merebahkan diri, dan pura-pura tidur dengan menutup kedua kelopak matanya. Tetapi sial sekali, dia malah jadi melihat wajah Jelita.

"Bang... Kalau Abang naksir gak?" bisik Azka.

"Tidur, Azka."

Azka menurut. Dia tidak lagi bertanya. Anak itu merebahkan diri di sebelah Hadi, lalu memeluk kakaknya dengan kaki melilit perut Hadi.

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Antara Luka dan Mimpi
760      438     66     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Dream Space
687      425     2     
Fantasy
Takdir, selalu menyatukan yang terpisah. Ataupun memisahkan yang dekat. Tak ada yang pernah tahu. Begitu juga takdir yang dialami oleh mereka. Mempersatukan kejadian demi kejadian menjadi sebuah rangakaian perjalanan hidup yang tidak akan dialami oleh yang membaca ataupun yang menuliskan. Welcome to DREAM SPACE. Cause You was born to be winner!
Before The Last Goodbye
273      242     3     
Fantasy
Jika di dunia ini ada orang yang berhasil membuat sebuah mesin waktu, mungkin Theresia Mava akan menjadi orang pertama yang sukarela mencoba mesin tersebut. Sudah duabelas tahun lamanya ia mencari keberadaan dari Arion Sebastian, sahabatnya yang tiba-tiba menghilang. Ia sudah bertanya pada semua yang mengenal laki-laki itu, tetapi tidak ada satu orang yang mengetahui keberadaannya. Lalu sua...
Time and Tears
302      234     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Di Bawah Langit Bumi
2644      1068     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Perahu Waktu
435      297     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
Tic Tac Toe
468      372     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Nothing Like Us
36317      4561     51     
Romance
Siapa yang akan mengira jika ada seorang gadis polos dengan lantangnya menyatakan perasaan cinta kepada sang Guru? Hal yang wajar, mungkin. Namun, bagi lelaki yang berstatus sebagai pengajar itu, semuanya sangat tidak wajar. Alih-alih mempertahankan perasaan terhadap guru tersebut, ada seseorang yang berniat merebut hatinya. Sampai pada akhirnya, terdapat dua orang sedang merencanakan s...
Pacarku Arwah Gentayangan
6006      1783     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Da Capo al Fine
339      279     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir