"In the future... I don't know what I really want to be." --Hadi Ardian.
∆∆∆∆∆
12 tahun yang lalu. Hadi ingat dengan jelas dia selalu meledek Jelita yang kala itu tidak didaftarkan ke Taman Kanak-kanak. Maryati dan Cawi sibuk, tidak ada waktu mengurusi anak gadis mereka. Yang selalu diutamakan adalah si anak sulung, kakaknya Jelita.
Di umur 5 tahun Hadi si jenius itu sudah bisa membaca, hapal tabel perkalian sampai sepuluh, dan selalu aktif bertanya di kelas. Dia menjadi siswa berprestasi sejak kecil. Setidaknya dulu, ketika dia belum mengenal apa itu namanya bekerja dan mencari nafkah.
Oleh sebab Jelita, sahabat baiknya, tidak sekolah maka Hadi telaten mengajari gadis itu. Setiap bermain di perahu kecil yang biasa mereka tumpangi, Hadi membawa buku bacaan dan mengajari Jelita. Gadis itu memang cepat tanggap, Hadi tidak kesulitan mengajarinya. Sampai-sampai seluruh warga menjuluki Jelita si jenius karena sudah pintar tanpa disekolahkan. Padahal mereka tidak tahu saja bahwa Hadi yang begitu berjasa.
"Mulai sekarang, aku akan memanggilmu Pak Guru!" seru Jelita kecil.
"Ih, tidak mau!" protes Hadi. Dia membereskan buku-buku perkalian ke dalam tas. Hari itu mereka sepakat belajar matematika. Lebih tepatnya Hadi yang memutuskan. Menurutnya, Jelita sudah sangat mahir membaca, jadi dia ingin mengajari materi yang lain.
"Kenapa? Cocok tau, kamu pandai sekali menjelaskan pelajaran sampai aku jadi pintar."
"Tapi aku tidak mau jadi guru!"
"Oh ya? Terus, kamu mau jadi apa?"
"Kalau kamu? Kamu mau jadi apa, Jelita?" Bukannya menjawab pertanyaan Jelita, Hadi justru melemparinya pertanyaan serupa.
Jelita terlihat berpikir terlebih dahulu, lalu tersenyum lebar. "Bu Bidan, aku mau membantu ibu-ibu yang melahirkan anaknya!"
"Bagus! Cocok!"
Hari itu Hadi kecil tidak lagi menjawab pertanyaan Jelita. Hingga kini, Jelita belum bisa menebak yang sebenarnya apa impian Hadi.
Di masa-masa SMP, tepatnya kelas 7. Ketika mereka baru satu bulan menjadi anak baru. Kala itu mereka mendapat tugas dari guru Bahasa Inggris untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Mereka diminta menyebutkan nama, tempat tinggal, umur, asal sekolah, hobi, dan cita-cita.
Jelita sudah siap mendengarkan dengan seksama apa sebenarnya cita-cita Hadi di masa depan. Rencana halusnya itu ternyata harus terkikis lantaran mendengar jawaban tak terduga dari anak laki-laki 12 tahun itu.
"Hello, everyone. Let me introduce my self, my name is Hadi Ardian. You can call me Hadi. I live in Eretan Kulon with my lovely family. I have one little brother and one little sister. They're so cute and smart. Now, I am twelve years old. I am from SDN Eretan Kulon 3. My hobby is swimming. In the future... I don't know what I really want to be. So... Yeah, I haven't idea yet. Thank you, and see you!"
Semua teman sekelas memberikan tepuk tangan untuk Hadi sebab pronunciation laki-laki itu sangat bagus. Berbeda dengan satu gadis yang duduk di baris kedua, Jelita namanya, hanya melongo dan berdecak kesal.
Suatu ketika di hari yang cerah. Kala itu mereka sudah menduduki bangku kelas X SMA. Jam pulang sekolah Jelita dan Hadi sama-sama berjalan pelan beriringan menyusuri pantai. Jelita kembali mengulik mimpi Hadi di masa depan, walaupun tetap tanpa hasil.
"Kamu yakin tidak mau gabung OSIS?" tanya Jelita.
"Yakin, aku gak punya waktu."
"Sesekali tidak melaut kan tidak apa-apa, Di!"
"Tidak bisa, Ta. Bentar lagi Salsa keluar dari TK. Butuh biaya buat perpisahan dan masuk SD."
"Oh iya..."
Jelita semakin iri dengan pemikiran kedua orangtua Hadi. Meskipun mereka orang tak punya, kalau soal pendidikan, Pak Gugun itu selalu terdepan. Semua anak-anaknya disekolahkan sejak TK. Sedangkan Jelita, mau lanjut SMA saja harus mogok makan dua hari. Apalagi semenjak kakaknya meninggal, orangtuanya kini berpindah kasih sayang. Jelita tetap jadi nomor terakhir, nomor satunya adalah cucu mereka.
"Kamu sendiri kenapa ikut OSIS? Biar bisa ketemu Kak Yusuf terus ya? Ngaku?"
"Dih, apaan sih!" sentak Jelita. "Bukan cuma itu. Ada banyak alasan tau. Alasannya adalah, satu; biar aku pulang sore dan tidak usah bertemu Ayah sama Ibu, dua; masuk OSIS bisa jadi peluang untuk masuk kampus negeri, tiga; yah... biar ketemu Kak Yusuf, hehe..."
"Dasar modus!"
"Yeu... Biarin. By the way, kamu belum kepikiran habis lulus SMA mau ke mana?" Tiba-tiba Jelita membelokkan pertanyaan ke topik yang lain.
"Mau kerja di laut," jawab Hadi enteng.
Jelita langsung menghentikan langkah kakinya dan menatap Hadi penuh selidik. "Kamu tuh tidak punya cita-cita lain apa?"
"Punya."
"Apa?"
"Jadi nelayan yang kaya raya."
Jelita menjambak rambutnya, tidak peduli tatanan kuncir kuda poninya jadi berantakan. "Demi Tuhan, Hadi! Kamu tidak muak ya sama laut? Hah?"
"Tidak, laut memberiku banyak berkah tau!"
"Ya, ya, ya, makan tuh laut!"
"Diminum kali, Ta."
"Terserah!"
Hadi hanya tertawa memandangi punggung Jelita. Dia masih diam di tempat, memperhatikan bagaimana sahabatnya itu berjalan sambil mengentak kaki keras-keras, mirip anak lima tahun yang marah karena tidak dibelikan permen.
Persahabatan yang terjalin sejak mereka masih kecil, membuat Hadi dan Jelita selalu peduli satu sama lain. Mereka sudah seperti saudara, saling melindungi. Maka ketika mendapatkan musibah, Jelita selalu menangis jika tidak ada Hadi. Baginya Hadi sudah seperti malaikat penyelamat. Laki-laki itu mungkin titipan Tuhan untuk menggantikan kakaknya yang telah meninggal.
Kakaknya Jelita meninggal dunia karena tenggelam di laut. Ketika itu hari tidak bisa diprediksi. Siangnya panas mentereng, tetapi malam harinya tiba-tiba saja hujan badai menyerbu desa kecil itu. Kakaknya Jelita yang tengah berada di tengah-tengah laut terempas karena terpeleset dan kurangnya hati-hati. Kapal terombang-ambing membuat siapa saja mudah tersingkir dari sana. Laki-laki dua anak itu jatuh ke dalam laut, ditemukan setelah dua hari, mengambang di bebatuan.
Jelita dan kakaknya begitu dekat, saling peduli. Sebelum bergantung pada Hadi, Jelita telah lebih dulu bergantung pada kakaknya. Jelita bisa lanjut sekolah, jajan sepuasnya, itu adalah hasil dari kerja keras kakaknya. Maka dari itu, ia selalu melihat sosok kakaknya pada diri Hadi karena mereka sama-sama anak sulung yang menjaga baik-baik adik mereka.
"Bang, aku jadi peringkat dua!" Kala itu dengan buru-buru Jelita memasuki rumahnya untuk menunjukkan raportnya. Jelita masih kelas 7, sedangkan kakaknya sudah dua puluh tahun.
"Wah, adik Abang jago banget!"
"Tapi, aku gak bisa naik jadi peringkat satu, bosan selalu jadi nomor dua!" desah Jelita dengan bibir mengerucut.
"Heih... Tidak apa-apa, yang penting kamu selalu jadi nomor satu di hidup Abang. Nah, sekarang Jelita mau hadiah apa? Abang belikan apa saja."
"Janji apa saja? Janji?"
"Janji!"
Jelita melebarkan kedua bola mata dengan ekspresi wajah yang begitu terpesona. "Aku mau beli tas baru!"
"Iya, boleh. Nanti Abang belikan ya."
"Hore! Terima kasih, Abang!"
Jelita juga dekat sekali dengan kakak iparnya, Mbak Yuni. Dulu mereka memang dekat, ah, sekarang sih Yuni lebih banyak mendukung mertuanya. Mungkin dia sadar diri karena hidup bergantung di keluarga mertua. Jelita sih tidak peduli, mau dibela atau tidak, yang jelas dia tetap akan menyuarakan keinginannya.
Kini, tanpa kakaknya, tanpa Hadi, Jelita jelas-jelas merasa dunianya gelap gulita. Dia hanya bisa melihat kemungkinan-kemungkinan buruk untuk masa depannya. Saat ini Jelita pasrah kalau semuanya harus berakhir.
"Jelita!"
Jelita menoleh ke belakang. Teringat kilasan masa lalunya ketika Hadi dan Raka berlari menghampirinya yang tengah berdiri di bibir pantai. Ketika itu rambutnya yang panjang tidak dikuncir, berterbangan dengan lambat oleh angin laut yang kencang.
Hari itu adalah satu hari terbaik bagi Jelita karena dia bisa terbebas dari kedua orangtuanya. Saat itu Cawi dan Maryati sedang pergi ke Jakarta bersama rombongan keluarga Mbak Yuni sebab diajak mengantar keponakan Mbak Yuni yang akan berangkat kerja ke Jepang.
"Jelita!"
"Nenek sihir!"
Wajah Jelita terpancar penuh cahaya karena bias matahari sore yang masih menyorot tajam. "Sini, sini, guys!"
"Jelita, kamu sudah menunggu lama?" tanya Raka yang pertama kali sampai di depan gadis itu.
"Tidak, baru lima menit, kok."
Senyum cerah Jelita membuat Raka dan Hadi jadi ikutan tersenyum juga. Saat ini mata mereka seperti terhipnotis lantaran baru kali pertama melihat pemandangan wajah Jelita yang nampak berbahagia. Biasanya gadis itu hanya mengerucutkan bibir dengan wajah tertekuk, sarat dengan beban kehidupan.
"Bahagia banget sih?" akunya, Hadi.
Jelita meninju pelan perut Hadi. "Ini satu hari tanpa Ayah dan Ibu, juga hari bebas bermain dengan kalian berdua, hehe..."
"Jadi, kita mau main ke mana?" Raka bertanya seraya memasukkan kedua tangan ke saku hoodie.
"Jajan seblak, terus karokean di tempat Mbak Tina. Setuju?"
"Aku kerja, mau jualan--"
"Sssttt...!" potong Jelita sambil menyumpal mulut Hadi dengan tangannya. "Sehari ini aja, aku bayarin deh seblaknya, ya?"
"Aku aja yang bayar, aku yang traktir kalian berdua," kata Raka menengahi. Dia melebarkan mata pada Hadi, mengirim kode bahwa laki-laki itu harus menuruti kemauan Jelita.
"Ya sudah, sama esnya sekalian ya, haus nih," respons Hadi cuek.
"Yeay! Makasih banyak, Raka!"
"Sama-sama, yuk!"
Ketiga teman baik itu berjalan beriringan dengan Jelita yang diapit di tengah-tengah. Seperti rencana mereka, pertama-tama mereka pergi ke penjual seblak dan memesan tiga porsi komplit dengan es teh manis. Setelah memesan kurang lebih tiga puluh menit, mereka memutuskan makan di tempat karaoke Mbak Tina. Selama Jelita yang meminta, Mbak Tina pasti memberikan ruangan karaoke itu khusus tanpa dipungut bayaran. Apalagi menurut Mbak Tina, tempat karaokenya hanya ramai pada malam hari saja.
"Aduh, kenapa punyaku jadi pedas banget sih?" protes Hadi.
Raka mendekatkan air mineral kemasan kecil yang diberikan Mbak Tina ke mangkuk seblak Hadi. "Minum lagi tuh, air banyak kok."
"Gak, ini masalahnya tadi aku pesan yang sedang aja, kok jadi pedas banget?"
Jelita dan Raka terkikik bersamaan. Hadi yang langsung paham keadaan pun segera mengangkat kedua telapak tangannya untuk menjewer telinga kedua sahabatnya itu.
"Ih, sakit, Hadi!" teriak Jelita.
"Ini pasti ulah kamu kan, Lita?"
Jelita menjulurkan lidah. "Siapa suruh menaruh banyak sawi di seblak punyaku?"
"Sayur itu bagus buat tubuh, biar kamu BAB-nya lancar, bodoh!"
"Aku selalu lancar BAB tuh tanpa makan sawi. Lagian kan banyak sayur lain, gak makan sawi ya gak masalah, kan?"
"Tapi di tempat seblak tadi sayurnya cuma sawi, lho!"
"Ya aku sengaja tidak pakai sayur, malah kamu tambahin. Dasar tolol!"
"Heh, yang tolol itu kamu karena main ganti level kepedasan punya orang tanpa izin! Dasar nenek lampir!"
"Bodo amat, wlee!"
Raka menurunkan tangan Hadi dari telinganya, juga dari telinga Jelita. Dia menengahi pertengkaran dua sahabat itu dengan menoyor kepala mereka bersamaan.
"Makan saja, yuk, gak usah protes."
"Yang habisnya terakhir, nyanyi terus direkam dan dikirim ke grup kelas!" seru Hadi.
"Curang!"
"Haha... Aku sih setuju, karena pasti yang kalah itu Jelita. Dia seblaknya masih banyak tuh," kata Raka.
Jelita merengut kesal. Dua teman laki-lakinya sibuk menghabiskan seblak mereka tanpa memperdulikan kekesalan Jelita.
Satu hari terbaik dalam hidup Jelita itu dia ingat di saat-saat dirinya ingin menutup mata. Tuhan, jika memang sampai di sini saja perjuangan Jelita, maka demi Tuhan... dia ikhlas sekali.
Jelita benar-benar tidak sadarkan diri ketika pintu kamarnya dibuka dari luar. Hadi menyerobot masuk, berteriak histeris menemukan tubuh sahabatnya tergeletak di bawah tempat tidur.
"Jelita, bangun, Ta!"