"Setiap makhluk yang terlahir ke dunia itu bebas menentukan akan menjadi apa dia di dunia ini." --Ibu Fida.
∆∆∆∆∆
Sukses itu yang seperti apa ya?
Apakah jika kita punya banyak harta, itu berarti sukses? Atau, yang diterima masuk sekolah polisi seperti Raka? Atau para gadis muda yang berhasil mendapatkan suami juragan kapal?
Hadi tidak tahu. Entahlah, menurutnya sukses itu susah didefinisikan. Terkadang kita sendiri selalu merasa kurang walaupun telah diberikan berkat dari Yang Maha Esa. Ukuran sukses manusia dengan Tuhan jelas berbeda. Tidak ada takaran yang pas, setiap orang punya standar sukses masing-masing. Sejak dulu sampai sekarang, sukses menurut Hadi hanya satu; membuat kedua adiknya sekolah tinggi.
Dia tidak peduli bagaimana masa depannya. Tidak tahu tujuan hidup dan jati dirinya sendiri. Selama kedua adiknya bisa jajan, sekolah, bahagia, maka semua itu sudah cukup. Baginya itu semua adalah kesuksesan.
Berbeda dengan Jelita. Anak terakhir dari pasangan Cawi dan Maryati itu punya standar kesuksesan yang baginya sulit diraih. Jelita tidak pintar-pintar banget, tidak beruntung, dan tidak punya dukungan orangtua. Dia harus berdiri dengan kakinya sendiri bahkan ketika semua itu mustahil. Dia harus bisa kuliah, keluar dari rumah, bekerja; itu baru sukses.
Sejak kecil Jelita selalu dibandingkan dengan almarhum kakaknya. Lahir sebagai perempuan membuat dia merasa tidak dipedulikan oleh keluarganya. Menurut kedua orangtuanya, punya anak perempuan adalah ladang untuk mencari laki-laki kaya. Contohnya, seperti Karman. Makanya Maryati dan Cawi langsung setuju begitu duda kaya tersebut melamar Jelita.
Hidup selalu berjalan tidak adil bagi para gadis di desa Jelita. Mereka yang menerima pinangan orang-orang kaya tanpa cinta, menurut Jelita karena kurangnya pilihan. Sekolah tidak mampu, hidup serba kekurangan, disepelekan oleh keluarga; sebab-sebab itulah mengapa para gadis di sana punya pemikiran bahwa menikah dengan orang kaya adalah solusi untuk hidup lebih baik. Tetapi tidak dengan Jelita, dia punya pilihan lain, bukan?
Sekolah. Jelita punya pilihan itu kenapa dia harus menolak mentah-mentah lamaran Karman. Tetapi nasibnya hidup sebagai gadis di desa itu telah membelenggu, setelah Karman membatalkan lamaran justru Maryati telah menyiapkan lamaran lain.
Jelita dipukuli, tidak boleh keluar kamar, tidak diberi makan. Bahkan di hari ini, ketika semua teman-temannya berangkat sekolah untuk mengikuti ujian, Jelita tidak hadir. Dia tidak bisa melawan karena tubuhnya penuh luka.
Sekolah hanya didatangi oleh kelas dua belas saja. Suasanya tidak seramai hari-hari kemarin. Malah bertambah suram menurut pandangan Bu Fida, sebab ia tidak melihat Jelita. Langit seperti memberikan suasana duka, seolah mataharinya adalah Jelita itu sendiri.
"Raka, kamu melihat Jelita?" Bu Fida berlarian memasuki ruang kedua ujian. Dia mencari Raka untuk bertanya, barangkali anak itu tahu kabar Jelita.
"Belum, Bu. Dia ada di ruang satu, saya tadi langsung ke sini."
"Ibu tau, tapi dia tidak ada di sana."
Raka melihat jelas raut wajah Bu Fida yang penuh kecemasan. Dia yang awalnya tenang-tenang saja seketika ikut merasa cemas. Pasalnya Jelita tidak pernah terlambat, apalagi ini hari ujian.
"Sebentar Bu, saya tanya teman sedesanya, ya."
"Siapa?"
"Anak kelas sepuluh, petugas OSIS."
"Iya, tolong ya, Raka."
Raka mengangguk, ia segera berjalan menuju gerbang. Pagi-pagi sebelum masuk ruang ujian, Raka melihat jelas gadis yang sama-sama dari desanya Jelita. Anak OSIS, dia berangkat untuk membantu di sekolah.
Masih ada lima menit lagi sebelum bel masuk dan ujian berlangsung. Raka masih punya waktu untuk bertanya mengenai Jelita. Dia pun berlari dan melompat untuk mengejutkan adik kelas di hadapannya.
"Hai, maaf ganggu."
"Oh, i-iya, tidak apa-apa, Kak. Ada apa ya, Kak?" tanya gadis itu.
"Kamu kenal Jelita, kan?"
"Iya, Kak. Kenapa?"
"Dia tidak pernah setelat ini. Kamu ada mendengar sesuatu tentang dia di desa?"
Jelas sekali gadis yang ditanyai Raka itu seolah mendapatkan berita buruk. Raut wajahnya langsung berubah begitu Raka menanyai kabar Jelita.
"Aku tau dari orang-orang, tidak secara langsung melihat keadaannya. Katanya Kak Jelita dipukuli orangtuanya. Dia dikurung di kamarnya, tidak boleh keluar."
"Hah? Kok bisa? Kenapa?"
"Berita palsu soal dia yang sudah tidak perawan itu menyebar di desa. Orangtuanya marah besar, merasa dibodohi, jadilah mereka melakukan hal itu pada anaknya."
"Oh iya, baik, terima kasih infonya ya."
"Sama-sama, Kak."
Raka berlari lagi untuk sampai di tempat Bu Fida menunggu. Wali kelasnya itu masih setia berdiri di depan ruang ujian. Dengan harap-harap cemas di setiap detiknya, Bu Fida berharap cukup Hadi saja yang batal ikut ujian, jangan Jelita juga.
Raka tidak sempat mengatur napas, dia langsung membuka suara begitu sampai di hadapan Bu Fida. "Jelita dikurung, dipukuli orangtuanya, tidak bisa datang ke sekolah, Bu."
"Apa?"
Raka mengangguk. Dia kemudian menceritakan apa yang disampaikan adik kelasnya di depan gerbang tadi. Bu Fida langsung syok, ia memegangi rak sepatu di sebelahnya takut-takut limbung detik itu juga.
"Kamu masuk ya, Ibu akan ke rumah Jelita."
"Bu, tapi setau saya orangtua Jelita itu keras kepala. Ibu yakin mau ke sana?"
"Ini namanya kekerasan, penyiksaan, Raka. Jelita pasti melawan, dia anak yang keras kepala juga. Kalau hari ini dia tidak bisa keluar rumah, itu berarti Jelita tidak baik-baik saja."
Raka terdiam. Benar sekali. Apa yang dikatakan Bu Fida sangatlah benar. Raka mengenal Jelita bersamaan dengan ia mengenal Hadi. Kedua temannya itu memiliki sifat keras kepala. Kalau Jelita tidak melawan, itu bukan karena dia tidak mau, tetapi tidak bisa.
"Ibu hati-hati, ya."
"Iya."
"Bu Fida!" Teriakan nyaring yang tiba-tiba itu menyurutkan niat Bu Fida untuk melangkah. Pandangannya terangkat mengikuti sumber suara, begitupun yang dilakukan Raka.
Bu Fida dan Raka sama-sama terkejut dengan apa yang mereka lihat. Dari jarak dua meter sosok tinggi tegap dengan kulit tan mengkilap tengah berlari menuju arah mereka. Pakaian kotornya menjadi pemandangan tidak biasa di mata Bu Fida dan Raka.
"Hadi?" lirih Bu Fida. Perempuan itu cukup terkejut, namun juga senang.
"Bu, saya baru sampai, langsung ke sini. Masih belum telat, kan, untuk ikut ujian?"
"Iya, namamu juga Ibu daftarkan sebagai peserta ujian." Itu di detik-detik terakhir ketika Bu Fida akan memasuki ruangan tata usaha. Dia menyerahkan lembar nama-nama anak di kelasnya dengan lengkap, tanpa terkecuali. Saat itu beliau sadar bahwa suara yang didengarnya di telepon tidak jelas dan terhalang sinyal itu adalah telepon dari Hadi.
"Terima kasih, Bu Fida."
"Sama-sama. Oh iya, kamu tidak bawa seragam?"
Hadi menggeleng cepat. "Saya belum ke rumah, langsung ke sini karena telat."
"Kok bisa? Gimana ceritanya?" tanya Raka.
"Nanti saja aku cerita kan ya, Ka."
Raka mengangguk. Cerita bisa dilakukan nanti-nanti, karena yang lebih urgent adalah pakaian yang dikenakan Hadi.
"Ikut Ibu, kamu bisa meminjam seragam anak OSIS yang bertugas."
Raka ditinggalkan sendirian. Hadi dan Bu Fida menjauh tepat dengan bunyi bel masuk. Napas Raka keluar penuh perasaan sesak. Begitu berat rasanya menyaksikan kehidupan teman-temannya.
∆∆∆∆∆
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu pelan itu dilakukan Jelita dengan sisa-sisa tenaganya. Pukulannya juga lemah sekali, tenaganya habis untuk melawan kemarin. Kini yang tersisa hanya tangisan saja.
"Ibu... Ayah... buka pintu, aku mau sekolah."
Berulang terus Jelita merapalkan kalimat itu. Seolah mantra ajaib yang diharapkan dapat mengubah keputusan orangtuanya. Padahal tanpa Jelita ketahui, kedua orangtuanya tidak ada di rumah. Jelita sendirian di dalam kamarnya, terkunci dari luar.
"Assalamualaikum..."
Suara itu...
Jelita terperanjat, namun tetap tak bisa bergerak banyak. Untuk berteriak saja dia tidak mampu. Tenggorokannya kering karena sejak kemarin dia belum minum air. Jelita hanya mampu membalas ucapan salam itu tanpa suara.
"Assalamualaikum, Bu Maryati!"
Itu jelas sekali suaranya Ibu Fida. Wali kelasnya itu pasti menyusulnya sampai ke rumah karena Jelita tidak hadir di sekolah. Ya Tuhan, izinkan Jelita menemui perempuan baik dan berjasa dalam hidupnya itu. Ia ingin mengadu dan meminta tolong untuk dibukakan pintu.
"Assalamualaikum, Bu Maryati! Pak Cawi!"
Bu Fida melongokkan kepalanya ke seluruh sudut rumah. Suasananya sepi sekali, apakah tidak ada orang di rumah itu, pikirnya.
Saat sibuk menebak orang rumah keluarga Pak Cawi, Bu Fida melihat seorang ibu-ibu berjalan yang melewatinya. Ia segera menghampiri untuk bertanya sesuatu.
"Maaf, Ibu, saya mau tanya boleh?"
"Oh, iya, silakan."
"Ibu tau tidak ke mana Pak Cawi sekeluarga, Bu? Saya dari tadi ngasih salam tapi tidak ada yang nyahut," ujar Bu Fida seraya menunjuk rumah Pak Cawi.
"Oh, biasa itu mah. Kalau jam-jam segini Cawi sama Maryati kan kerja. Cawi sih tidak ada, sudah melaut sejak semalam, kalau istrinya pasti di pelelangan ikan."
"Baik, terima kasih informasinya, Ibu."
"Sama-sama."
Bu Fida menundukkan kepala ketika ibu-ibu itu berlalu dari hadapannya. Perempuan itu bersyukur akhirnya tidak kebingungan lagi. Tetapi kalau memang kedua orangtua Jelita tidak di rumah, apa mungkin Jelita ada di kamarnya seorang diri?
Bu Fida kembali mendekati rumah Pak Cawi untuk memastikan. Dia mengetuk lagi pintu rumah itu dengan teratur. "Jelita? Apa kamu di dalam, Nak?" serunya.
"Jelita bisa dengar Ibu?"
"Jelita, Ibu di sini mau nyusul Jelita. Kamu tidak lupa kalau hari ini ujian pertama, kan?"
Air mata Jelita mengalir deras. Ia merangkak dari tempat tidur, berusaha bangkit dan menuju jendela yang terhubung langsung ke luar. Kala itu tangannya sudah terulur hendak meraih jendela, namun naas karena tubuhnya limbung lagi ke tempat tidur.
"Ibu akan bicara dengan orangtuamu. Masih ada SBMPTN, kan? Kamu jangan menyerah dulu ya, Ibu akan berusaha bantu sampai akhir."
Bu Fida balik kanan, berlalu meninggalkan Jelita yang saat itu membuka suara. Sekuat tenaga ia mengeluarkan suara minta tolong, namun terlambat.
"Toloong... Ibu, to-tolong..."
Derap langkah kaki menjauh adalah respons untuk kata tolong yang dilontarkan Jelita. Ia pasrah dan tidak berdaya lagi. Biarkan tubuhnya istirahat dari lelahnya dunia.
Sementara itu, Bu Fida berjalan agak cepat menuju tempat pelelangan ikan demi mendatangi Maryati. Dia sudah pernah bertemu orangtua dari Jelita, jadi tidaklah sulit menemukan wanita paruh baya itu.
Maryati tengah menjajahkan jualannya. Berbagai hasil laut segar tersusun di hadapannya. Ada beberapa pelanggan yang tengah menawar dagangan beliau. Bu Fida menunggu dengan sabar sampai pembeli-pembeli itu pergi dari sana.
"Assalamualaikum, Bu Maryati..." sapa Bu Fida lembut.
Maryati mendongakkan pandangan. Kedua bola matanya memutar, pertanda jengah menemukan guru dari putrinya itu.
"Waalaikumsalam," jawab Maryati ketus.
"Ibu, maaf, tadi saya ke rumah Ibu tapi rumahnya kosong. Saya tanya ke ibu-ibu yang lewat, terus beliau ngasih tau kalau Ibu ada di sini, jadi saya ke sini. Saya mau ngomong sesuatu--"
"Halah, pasti mau ceramahin saya soal Jelita, kan? Basi!" potong Maryati tak tahan menunggu maksud dari Bu Fida.
"Maaf, Bu. Saya sekalian mau nengok murid saya, kata temannya Jelita sakit, Bu? Hari ini kan hari pertama UNBK, jadi saya menyusul ke sini takut dia kenapa-kenapa. Kalau soal ujian, nanti bisa menyusul di waktu yang akan dijadwalkan."
"Jelita gak perlu ikut ujian. Dia tidak perlu sekolah, gak penting. Dalam waktu dekat Jelita akan menikah dengan orang kaya. Sudah, Bu Fida pulang saja sana!"
Maryati mengusir Bu Fida lewat lambaian tangannya.
Namun, Bu Fida tidak akan pergi dari sana sebelum dia meyakinkan ibunda dari Jelita. Bu Fida sudah berjanji pada anak itu bahwa dia akan membantunya mencapai impian untuk bisa kuliah.
"Bu, saya mohon. Tolong tahan dulu niat Ibu."
"Kenapa Ibu yang ngatur? Jelita itu anak saya, saya ibunya, dan bebas menentukan masa depan anak saya seperti apa!"
"Tidak Bu," tolak Bu Fida. Dia harus menahan rasa gugupnya. Bu Fida mencoba percaya diri agar Jelita bisa terbebas dari cara pandangan ibu kandungnya sendiri. "Jelita punya hak sendiri menentukan masa depannya. Walaupun Ibu adalah ibu kandungnya, tetapi setiap makhluk yang terlahir ke dunia itu bebas menentukan akan menjadi apa dia di dunia ini."
"Enak saja! Saya yang mengandungnya sembilan bulan. Saya yang membesarkan dia, menyusuinya, memberi makan. Sudah jelas saya yang berhak atas kehidupan Jelita!"
"Bu, bukan begitu... Jelita itu mau sekolah tinggi juga biar ayah dan ibunya bangga. Jelita mau sukses untuk mengangkat derajat Bu Maryati dan Pak Cawi."
"Gimana mau sekolah, uang saja tidak punya. Jelita itu tidak akan bisa kuliah, dia itu bodoh!"
"Bisa, Bu."
"Cih," Maryati berdecih. Dia tidak suka guru anaknya itu, suka sekali berbicara omong kosong. "Bu, kalau Jelita anak orang kaya, dia tidak pintar juga bisa kuliah. Jelita itu anak orang miskin, orang gak punya, bodoh lagi! Buang-buang waktu dan tenaga ngurus sekolah dan pendaftaran kuliah. Dia sudah pasti tidak akan diterima!"
Bu Fida mengepalkan buku tangannya di sisi tubuh. "Baik, bagaimana kalau perjanjian sampai SBMPTN saja. Undur niat Ibu menikahkan Jelita sampai pengumuman SBMPTN. Bagaimana, Ibu?"
"Kenapa Ibu yang ngatur?"
Bu Fida tiba-tiba menekuk lutut. Di permukaan yang basah dan bau amis, guru muda itu berlutut di hadapan ibu kandung Jelita. Matanya berkaca-kaca, teringat kenangan masa lalunya.
"Saya mohon. Tolonglah Jelita Bu, saya mohon..."