"Yang tertinggal, akan tetap tertinggal. Dan, yang berpikiran maju, akan terus maju." --Raja.
∆∆∆∆∆
Matahari lagi terik-teriknya bersinar. Siang bolong, panas, gerah, harusnya Jelita diam di kamar dan tidur untuk menghabiskan hari liburnya seperti biasa. Tapi kali ini dia malah memilih keluar, lantaran mengemban rindu pada orang yang tak bisa dia temui.
Memandang lautan yang luas, Jelita ingin sekali teriak. Dia sangat berharap bisa memanggil nama Hadi, lalu sahabatnya itu muncul tiba-tiba. Baru juga dua hari ditinggalkan Hadi, rasanya sehampa itu Jelita.
Dulu waktu kecil, mereka suka sekali bermain di bibir pantai. Usia 7 tahun, ketika Jelita masih belum takut dengan sinar matahari. Dia berlarian mengejar Hadi untuk didorong, hingga laki-laki itu terjerembap. Jelita kecil tertawa lebar melihat penderitaan Hadi.
"Jelita nakal!"
"Biarin, wlee!"
Hadi mengejar balik, dia berhasil mendorong Jelita hingga gadis itu terjebur ke laut. Tidak seperti Hadi, Jelita langsung menangis dan berlari menghampiri ayahnya yang saat itu ada di salah satu kapal besar.
"Hadi nakal, Ayah! Tadi aku dijorokin sampai jatuh!" adu Jelita.
"Tapi Jelita duluan yang mulai, Pak!" Hadi berteriak, membela dirinya. "Aku hanya membalas perlakuan Jelita, kok!"
"Heh, dasar anak nakal!" Cawi langsung saja menarik telinga kiri Hadi tanpa ampun. "Jelita itu perempuan, jangan perlakukan dia seperti kamu perlakukan teman-temanmu!"
"Iya, maaf, Pak... Aku kan hanya membalas perbuatan Jelita saja!"
"Cepat minta maaf!"
Kala itu Hadi menyerah, dia mengulurkan lengan kanan ke hadapan Jelita untuk minta bersalaman. "Maafin aku ya, Jelita. Aku janji tidak akan nakal lagi," katanya.
Jelita memang menyambut uluran tangan Hadi, tetapi detik berikutnya gadis itu malah tersenyum jahat. Senyum yang membuat Hadi mau tidak mau berdecih.
"Semoga kamu bisa menemukan apa yang selama ini kamu cari, Di." Jelita melirih. Dia membiarkan fokusnya terayun bersamaan dengan deburan halus ombak yang saat ini airnya jernih kehijauan.
"Ta!" Seseorang memanggil, itu Mbak Tina. Jelita menoleh, menunggu perempuan itu memberitahukan niatnya. "Sini, makan rujak!"
Demi mendengar nama rujak, Jelita segera berlarian menuju Mbak Tina. Mereka berjalan agak cepat untuk menghampiri tempat Mbak Tina. Ya, tempat karaoke yang jadi alasan ayahnya Jelita percaya bahwa Jelita dan Hadi sudah melakukan adegan dewasa. Tempat itu dekat dengan pantai, sering dikunjungi para lelaki hidung belang. Dan, biasanya banyak pekerja Mbak Tina yang kalau malam hari menjadi penghibur di sana.
"Mbak dapat banyak jambu air dan mangga muda dari Om Krisna, jadi Mbak langsung bikin rujak."
"Wah, kebetulan banget, Mbak. Aku lagi butuh yang pedas-pedas."
Mbak Tina mengusap lembut kepala Jelita. Dia telaten sekali memperhatikan gadis itu yang sangat antusias menikmati rujak bikinannya.
"Kamu sudah tau kabar Hadi?" tanya Mbak Tina.
Perlahan-lahan kepala Jelita mengangguk. "Tapi aku cuma tau kalau dia pergi ke Sumatera buat kerja di kebun sawit, Mbak."
"Hadi itu, dia pasti akan sangat menyesal tidak lanjut sekolah padahal tinggal ikut ujian saja."
"Ya, dia hanya perlu lulus SMA. Aku cuma mau dia lulus SMA bersamaku, selebihnya terserah, yang penting dia bisa dapat ijazah. Apa aku berlebihan, Mbak?"
Mbak Tina menggeleng. Dia sangat tahu bahwa niat Jelita itu sangat mulia. Gadis itu ingin sekali sahabatnya tidak meninggalkan sekolah dan menemukan mimpinya.
"Mbak tau sekali perasaan kamu, Ta. Mbak juga sangat setuju. Setidaknya Hadi tidak perlu tertinggal kalau dia lanjutkan sekolahnya yang tinggal menghitung minggu saja. Dia harusnya bisa prioritaskan pendidikannya dulu. Toh, setelahnya dia masih bisa bekerja."
"Ya, itu dia maksudku, Mbak."
Selain Bu Fida, Mbak Tina adalah orang yang sangat mengerti maksud dan tujuan Jelita untuk menunjukkan pentingnya pendidikan kepada Hadi. Bukan kaleng-kaleng, Jelita itu tau sekali Hadi sangat berpotensi.
"Kalau dia orang bodoh, baru aku tidak peduli. Mau dia sekolah kek, malas kek, terserah. Tapi Mbak, Hadi itu pintar, lho. Dia... Jenius."
Suatu hari di dalam kelas yang sepi, Jelita melirik meja Hadi. Di sana anak laki-laki itu sedang tertidur pulas sekali. Mulutnya menganga lebar, untung saja tidak ada lalat yang masuk. Di saat yang lain sibuk belajar untuk ulangan Matematika, Hadi justru asik terlelap. Mau dibangunkan pun Jelita rasanya tidak tega. Hadi bekerja semalaman di kapal untuk mencari nafkah. Mau datang ke sekolah saja rasanya sudah sangat bersyukur.
"Ta, Hadi tidur tuh. Kamu gak mau bangunin? Bentar lagi bel pergantian pelajaran," bisik Kharisma--teman sebangku Jelita di kelas sebelas.
"Biarin aja deh, aku gak tega. Dia kan semalaman melaut, Ma."
"Oh iya, ya sudah deh."
Lima menit berselang, jam pergantian pelajaranpun tiba. Bel berbunyi nyaring, dua menit kemudian Pak Fikri datang. Beliau memberi salam, mengabsen, lalu membagikan soal.
Jelita melirik ke belakang, terkejut menemukan Hadi sudah menegakkan badannya. Walaupun masih sambil menguap dan menahan rasa kantuk, Hadi menerima soal dan berusaha fokus membacanya.
"Akhirnya, aku yakin kali ini nilai Matematika punyaku lebih besar dari punya Hadi," ujar Jelita percaya diri.
Kharisma menepuk bahu Jelita untuk menyemangati gadis itu. "Semangat, Ta!"
Namun, Tuhan dan keberuntungan selalu berpihak pada Hadi. Jelita yang belajar siang dan malam dengan bersungguh-sungguh tetap tidak bisa menyaingi nilai anak laki-laki yang hobi melaut itu. Kharisma bahkan sampai takjub dan terpesona dengan Hadi ketika Pak Fikri mengumumkan nilai tertinggi di kelas mereka diperoleh Hadi dengan nilai seratus.
"Kucel banget sih, Ta? Muka kamu perlu disetrika tuh."
"Ngejek ya? Dih, sombong banget mentang-mentang dapat nilai seratus!" cibir Jelita.
Hadi tergelak dibuatnya. "Oh, jadi kamu bete dari tadi karena iri sama nilaiku ya?"
"Ya, aku iri sekali. Gimana bisa kamu yang sejak tadi tidur malah dapat nilai seratus?"
"Aku paham soalnya."
"Kamu diam-diam belajar di laut?"
"Aku melaut itu kerja, Ta, cari ikan. Masa belajar, ntar apa kata yang lain?"
"Terus? Kok, kamu pintar banget sih?"
Hadi mendorong bahu Jelita hingga gadis itu terpisah jarak dengannya sejauh tiga langkah. Laki-laki berperawakan tinggi itu memang tidak usah diragukan lagi kalau soal tenaga, bekerja siang dan malam membuat ototnya semakin kuat.
"Ih, resek!"
"Kalau Matematika itu yang penting kamu paham cara pengerjaannya, jangan asal menghafalkan rumus."
"Ya kalau rumusnya gak hapal, kan, percuma juga."
"Siapa bilang aku gak hapal? Jelas aku hapal dong."
"Sombong!"
Hadi membalikkan badan, lalu berjalan mundur. Dia tersenyum mengejek Jelita yang masih memasang wajah kesal karena kurang beruntung di ulangan harian Matematika kali ini.
"Sudah ah, ayo buruan balik. Aku mau ikut dagang cumi di tempat Pak Haji Ghofur."
Kenangan-kenangan itu kenapa kembali terputar ketika orangnya justru jauh dari jangkauan mata, ya? Apakah ini yang namanya kerinduan? Rasanya seperti ingin menangis dan mengamuk dalam waktu bersamaan.
"Menurut Mbak, Hadi cuma gak tau dia harus ngapain setelah sekolah. Menurut dia ijazah tidak terlalu penting. Selama dia bisa bekerja, dapat uang, sudah deh, dia tidak akan repot ngurusin kelulusan sekolah lagi."
Lamunan Jelita buyar. Mbak Tina memberikan masukan, dan itu sangat sesuai dengan pendapat Jelita. Hadi memang sedang mencari jati dirinya, dia tersesat dan tidak tahu harus ke arah mana dia melangkahkan kakinya.
Lalu, Jelita di sini. Dia terpisah jarak yang jauh dengan Hadi. Tidak tahu bagaimana caranya bertatap muka lagi dengan Hadi, merecokinya untuk sekolah, mencari jati dirinya, hingga bisa menemukan mimpi.
∆∆∆∆∆
Sekolah terasa semakin kosong tanpa kehadiran Hadi. Bukan saja oleh Bu Fida, anak laki-laki itu dicari semua guru yang mengajar di kelas dua belas. Semuanya meminta pada Jelita agar membawa Hadi ke sekolah. Sampai rasanya muak sekali, Jelita bahkan tidak bisa menjawab apa-apa selain mengangguk.
"Kamu harusnya pulang, Di. Lihat, banyak yang percaya kamu berhak untuk bermimpi." Jelita mengusap bangku Hadi yang sudah kosong selama dua belas hari. Hari ini Jelita piket, dia menyapu kelas, lalu berhenti sejenak di samping meja Hadi.
Walaupun hanya tidur, tidur, dan tidur. Hadi si jenius itu tetap dirindukan oleh guru-guru. Dia tidur bukan karena malas, kata Bu Fida. Ya, Hadi memang tidak malas. Dia tertidur di kelas karena waktu luangnya memang hanya ketika di kelas saja.
"Jelita!"
Jelita meletakkan sapunya ke pojok kelas. Dia selesai menyapu lantai, lalu dikejutkan dengan kedatangan Raka dan suara bassnya.
"Kenapa, Ka?"
"Aku keterima, Ta! Aku lolos seleksi akademik!"
Mata Jelita membola seketika. "Wah, selamat, Ka! Kamu hebat sekali!"
Jelita begitu senang mendapat kabar dari Raka, sampai-sampai dia tidak sadar sudah ikut jingkrak-jingkrak bersama laki-laki itu.
"Tapi masih ada tes fisik dan wawancara. Eh, harusnya aku tidak sesenang ini dulu ya, hehe..." ujar Raka konyol sembari menggaruki tengkuknya yang tidak gatal.
Jelita terkekeh dibuatnya. Dia mengeluarkan permen dari saku seragam. Gadis itu ingat membeli dua permen, dan belum dimakan satupun. Ini saat yang tepat untuk menikmati yang manis-manis, sekaligus perayaan kecil untuk Raka. Jelita memberikan salah satu permen kepada Raka dan disambut baik laki-laki itu.
"Kita butuh hal manis untuk kabar baikmu, Ka."
"Thanks, Ta. Tapi... Aku gak lebay kan, ya?"
"Lebay apanya? Kamu hebat lho, berhasil sampai tahap akademik. Semangat, Ka! Aku yakin kamu pasti lolos juga di tes fisik dan wawancara nanti."
"Semangat, hehe..."
Andaikan Hadi punya semangat seperti Raka, batin Jelita. Bukan apa-apa, bukan maksudnya membandingkan dua laki-laki berbeda latar belakang itu. Jelita tahu kok kalau Raka dan Hadi berbeda seratus delapan puluh derajat dari segi didikan orangtua, finansial, bahkan cara berpikirnya. Jelita hanya berandai-andai saja, juga sedikit menaruh harapan kalau suatu hari nanti Hadi akan berekspresi seperti Raka juga.
"Hadi, apa kabar, Ta?"
Jelita menggeleng pelan. "Gak tau, Ka. Lagi dikejar ular kali."
"Ish, gak boleh gitu, Ta. Omongan tuh doa tau, gimana kalau Hadi beneran dikejar ular?"
Jelita mengedikkan bahu, lalu mengacungkan ibu jari kanannya ke wajah Raka. "Bagus tuh, syukur-syukur ularnya ngejar sambil ngasih tau dia kalau dua hari lagi Pak Kepsek menetapkan nama-nama peserta UNBK."
"Haha... Ya kalau bagian itu aku setuju."
Kali ini ada yang beda. Jelita tidak pulang dengan Hadi, tapi dengan Raka. Mereka berjalan menuju gerbang, lalu berpisah karena beda arah.
∆∆∆∆∆
Sementara itu, di tempat Hadi saat ini, laki-laki itu mendapatkan malapetaka. Seolah doa Jelita langsung terkabul, atau memang gadis itu bisa melihat masa depan, Hadi benar-benar sedang berhadapan dengan seekor ular besar.
"Husst!" usir Hadi. Dia memegang ranting panjang, menyuruh ular itu menjauh.
Hadi baru saja selesai bekerja, dia hendak pulang, namun tiba-tiba dihadang oleh ular yang entah datang dari mana. Dengan gesit Hadi meraih ranting dan mencoba untuk menyingkirkan ular itu dari hadapannya.
Butuh sepuluh menit hingga ular itu benar-benar pergi dari hadapan Hadi. Setelah dirasa aman, Hadi baru bisa mengembuskan napasnya dengan teratur.
"Huuft, hampir saja."
"Kamu dikejar hantu, Di?" Seseorang mendekat, tertawa melihat wajah pucat Hadi.
"Ular, tadi ada ular, Bang."
"Tidak kamu bunuh, kan?"
"Tidak."
"Bagus."
"Oh iya, aku mau minta tolong, Di."
"Apa, Bang?"
"Titip surat ini untuk Andini, ya. Besok aku mau ke Jakarta, katakan kalau aku harus belajar Bahasa Jepang di sana."
"Bang Raja mau kerja di Jepang ya?"
Yang dipanggil Raja mengangguk. "Iya, aku mau kerja di sana, cari banyak uang, bangun rumah, dan menikahi Andini."
"Kerja di luar negeri gajinya lebih besar ya, Bang?"
"Lumayan, lebih dari di negara kita, hehe..." Bang Raja berhenti berjalan sejenak karena menemukan jamur sawit. Dia merunduk untuk memetik jamur itu, lalu dimasukkan ke dalam plastik. "Ya, buat aku yang cuma lulusan SMA lumayan kerja di luar negeri, gajinya bisa ngalahin orang-orang yang lulus sarjana."
"Kalau lulusan SMP bisa kerja di luar negeri juga gak, Bang?"
Raja melayangkan tatapannya pada Hadi. Keningnya berkerut dalam, seolah dia baru saja mendengar fakta bahwa Indonesia akan hujan salju. "Kamu belum lulus sekolah?"
"Iya Bang, aku masih SMA. Sudah kelas dua belas sih."
"Heh!" Raja menggeplak kasar bahu Hadi. "Aku pikir kamu sudah lulus sekolah dan cuma beda berapa tahun denganku. Wah, rupanya wajah kusam itu tercipta dari kerja kerasmu ya. Dasar bocah, kenapa tidak sekolah?"
"Butuh uang, Bang."
"Orangtua masih ada?" tanya Raja.
Hadi mengangguk sambil tersenyum. "Alhamdulillah masih lengkap, Bang. Aku anak pertama, adikku dua; yang satu masih SMP, satunya kecil masih SD."
"Bukannya minggu depan sudah ujian ya kalau kelas dua belas? Maaf, bukannya sok tau, tapi adiknya Andini kelas dua belas juga, aku ingat katanya minggu depan adiknya ujian."
Ujian, ya?
Hadi sendiri lupa bahwa ujian tinggal beberapa hari lagi. Saking tidak pedulinya dia dengan sekolah, ujian saja tidak tahu kapan tepatnya.
"Aku kayaknya tidak akan lanjut sekolah, Bang."
"Heh, kenapa?"
"Aku sudah bisa cari uang tanpa ijazah. Biarkan adik-adikku saja yang sekolah, dan aku yang mencari nafkah membantu orangtua."
"Hadi," panggil Raja pelan. Dia menatap iba remaja laki-laki di hadapannya itu. "Sekolah itu penting. Ijazah, jauh lebih penting. Dengan ijazah kamu bisa lanjut sekolah tinggi, kalau mau. Dengan ijazah kamu bisa kerja di luar negeri sepertiku nanti. Dengan ijazah kamu bisa bekerja tanpa memakai otot. Coba aku tanya ya, kamu dilarang sekolah oleh orangtuamu?"
"Tidak, Bang. Orangtua justru mau aku sekolah dan punya mimpi."
"Itu dia, Hadi!" Raja menjentikkan jari di depan wajah Hadi. Praktis membuat Hadi berkedip sejenak karena terkejut. "Kamu harus melanjutkan sekolahmu yang cuma tinggal beberapa hari doang. Dapatkan ijazah, buat bangga orangtuamu. Urusan pekerjaan, uang, pikirkan nanti-nanti setelah lulus."
"Tapi--"
"Coba pikirkan ini," potong Raja. Hadi kembali bungkam dan siap mendengarkan perkataan Raja. "Kamu akan menyesal kalau tidak ikut ujian. Seandainya suatu hari nanti kamu tiba-tiba sadar butuh ijazah, kamu akan kesusahan sendiri. Kamu mengorbankan beberapa hari untuk mengulang tiga tahun? Mau? Kamu tidak lulus, butuh ijazah dan ambil paket C? Apa itu tidak pakai uang?"
"Bang--"
"Tahun ke tahun kehidupan berubah, Di. Mesin-mesin akan menggantikan manusia. Yang tertinggal, akan tetap tertinggal. Dan, yang berpikiran maju, akan terus maju. Kamu mau pilih yang mana? Semuanya ada di tangan kamu."
Raja berhenti menasihati. Dia melangkah lebih dulu karena menemukan jamur sawit lagi. Banyak sekali jamur yang tumbuh di sana, Raja begitu senang. "Ah, Andini pasti suka sekali kalau aku bawa banyak jamur sawit."
Hadi masih mematung di tempat, dia diam seribu bahasa. Semua perkataan Raja menyatuh dengan suara-suara nyaring milik Jelita.
"Di, nanti selain surat aku mau titip jamur juga ya. Kasihkan ke Andini, oke?"
"Aku mau pulang, Bang," lirih Hadi.
"Hah?"
"Aku mau pulang. Aku akan sekolah. Aku akan dapatkan ijazah itu."
Raja tersenyum. "Ya, pulanglah. Naik bus malam ini, sampai di sana hari senin. Apa masih keburu kamu ikut ujian?"
"Bisa! Aku pasti bisa!"
Raja mendekati Hadi lagi, lalu menepuk punggung tegap dan keras anak laki-laki itu. "Nah, gitu dong! Semangat!"
"Ini suratnya, Bang. Kasih sendiri ke Mbak Andini, ya. Aku pamit sekarang. Dan, Abang hati-hati, di sini banyak ular!"