12 Desember 2015
“Ma, apa Aksa boleh minta obat? Kepala Aksa pusing banget.”
Langkah wanita yang disebut ‘Mama’ itu berhenti, lalu menoleh pada anak laki-laki berusia tujuh tahun yang berwajah pucat dan berlinang air mata.
“Saya sibuk,” ucapnya, lalu melanjutkan langkah menuju keluar rumah. Anak laki-laki itu memandang mamanya yang berjalan menjauh dengan sorot sendu. Apakah mamanya sesibuk itu sampai tak sempat memberikan obat. Ia ingin seperti anak-anak lainnya yang banyak memiliki waktu dengan orang tuanya. Bahkan ia tak ingat kapan terakhir kali berbicara lama dengan mamanya.
Dengan perlahan ia melangkahkan kaki ke dapur. Sesampainya di sana, terlihat wanita paruh baya yang sedang membersihkan dapur.
Perlahan ia menghampiri wanita itu. “Bi Marni, Aksa boleh minta tolong?”
Seketika wanita tersebut menoleh dan terkejut yang melihat anak majikannya yang pucat. “Astagfirullah, Den Aksa kenapa?” Buru-buru ia meletakkan sapunya dan menghampiri tuan mudanya yang terlihat lemas.
“Haduh, Den Aksa badannya panas banget, ayo Bibi antar ke rumah sakit.” Aksa menggeleng.
“Aksa nggak mau ke rumah sakit Bi, nanti Papa marah. Aksa minta tolong ambilin obat aja ya, Bi.” Bi Marni memandang sendu tuan mudanya. Selalu saja seperti ini. Senenarnya ia heran, kenapa ada orang tua yang marah ketika anaknya sakit. Namun apalah daya, ia hanya seorang pembantu yang tidak memiliki hak mencampuri urusan keluarga mereka. Alhasil, ia hanya bisa membantu merawat dan menyayangi anak dari tuannya itu.
Sesampainya di kamar, Bi Marni memberikan obat penurun panas serta mengompres tuan mudanya dengan air hangat.
“Terima kasih Bi, maaf Aksa merepotkan Bibi.” Mata anak kecil itu berkaca-kaca membuat Bi Marni tidak tega.
“Nggak kok, Bibi nggak merasa direpotkan. Yang penting Den Aksa istirahat ya biar cepat sembuh.”
Aksa mengangguk, lalu memejamkan matanya. Baru sejenak ia memejamkan mata, suara pintu yang dibuka keras membuatnya kembali terjaga dan langsung mendudukkan badannya. Dapat ia lihat Papanya menatapnya dengan raut datar.
“Papa dapat laporan, kamu pulang lebih awal. Kenapa itu bisa terjadi?”
“Aksa pusing Pa, badan Aksa panas. Terus kata Bu Guru suruh pulang aja.” Tangannya memilin ujung selimutnya dengan takut. Kepalanya menunduk, tak berani menatap sorot tajam pria di hadapannnya.
Pria di depannya menghela napas. “Sudah saya bilang, jaga kesehatanmu. Bagaimana kamu bisa mendapat peringkat dan mengikuti lomba kalau kamu sakit-sakitan. Besok lagi Papa nggak mau mendengar kamu nggak ikut kelas dan ketinggalan materi, ngerti?”
Aksa menganggukan kepalanya cepat, “Iya Pa, Aksa janji besok nggak izin-izin lagi.”
Setelahnya pria itu meninggalkan kamar anaknya tanpa sepatah kata apapun. Sementara sang anak menatap pintu dengan kesedihan.
“Papa nggak khawatir aku sakit. Tapi Papa cuma khawatir aku nggak bisa dapat peringkat dan buat Papa malu.”
Lagi-dan lagi hanya keheningan yang menyertainya.Dalam diam ia berharap suatu saat ia bisa mendapat bahagianya.