“Alfian? Ketua BEM itu??” Jelas Lusi mengingat Alfian. “Kok bisa ketemu?”
Lantas aku cerita soal ajakan jalan Sasi yang absurd beberapa minggu yang lalu. Berakhir dengan bertemu Rifa dan Alfian.
“Kebetulan yang indah… “ Hanya itu komentar Lusi. Selalu hidupku yang dikomentari. Aku tak pernah mengomentari hidupnya. Karena semua nyaris sempurna.
Adalah Lusi Andari, pewaris grup Widoro yang tak mau berkantor. Lebih suka membuka usaha sendiri. Jadilah ia membuka kafe setahun setelah lulus kuliah. Bersama beberapa kerabatnya, membuka kafe bernuansa modern di dekat penatnya perkantoran ibukota. Soal jodoh, mudah saja, ia dijodohkan dengan saudara jauhnya, mereka menikah tahun lalu.
Lusi yang tergolong easy going, menerima saja keputusan orang tuanya. Tanpa beban. Hingga yang kulihat. Pandangan matanya berbeda antara dulu dan sekarang. Dulu biasa saja, sekarang sudah menghangat. Ia tak pernah cerita soal kehidupan rumah tangganya. Karena aku tak mau mencampuri, kecuali ia memang bercerita.
“Eh dulu kan Alfian itu teman SMA nya Ryan.” By the way, Ryan itu suami Lusi. Bekerja di grup Widoro, sebagai manajer pemasaran.
“Serius? Ternyata Alfian kenal Kak Redho juga Praja.”
Lusi geleng kepala. “Memang muternya engga jauh ya, Kanaya.”
“Hai.” Sosok menjulang muncul dibelakangku. Alfian. Dengan kemeja biru lengan panjang dan celana khaki, masih pakai sepatu. Rambutnya sudah berantakan. Walau begitu, tetap tampan kok.
“Al, duduk. Ini Lusi.” Aku mengenalkan mereka. Mereka berjabat tangan.
“Aku engga nyangka, kamu mengingatku, Alfian, ” cetus Lusi. Senyumnya tertahan.
Alfian menggaruk rambut depannya. “Kebetulan aku ingat teman Kanaya.”
Lusi melirikku. “Masih saja soal Kanaya, Al? duduklah, mau minum apa?” Tak lama, Lusi menghilang ke dapur setelah mendapat pesanan Alfian.
Alfian duduk di depanku. Membuka kancing tangannya, kemudian menggulung kemejanya sebatas siku. Wow. Kenapa dia melakukannya didepanku?
“Sudah lama disini?” tanyanya, sembari melihat sekeliling. Yah memang lumayan ramai. Mungkin karena ini jumat malam.
“Em, belum ada sejam sih.” Aku melihat jam di tanganku. Masih jam 20.02. Aku ingat finger print di kantor jam 19.13.
“Sudah makan?” tanyanya. Memperhatikan apa yang ada didepanku. Hanya gelas setengah isi mocchacino dan piring kentang gorengku yang sudah kosong.
Aku menggeleng. “Belum, hanya ngemil.”
“Bawa mobil?” tanyanya lagi.
Kepalaku goyang kanan kiri lagi. “Tadi pagi kebetulan Kak Redho yang antar.”
“Mau makan sehabis dari sini? Ada kedai seafood enak dekat sini,” usulnya dengan senyum memperlihatkan lesung pipinya.
“Boleh aja, Al. Rifa kenapa ke Bandung?” Aku berusaha tak fokus pada lesung pipinya.
“Ada kakak Mama di Bandung. Habis operasi usus buntu beberapa hari yang lalu. Tadi pagi Mama mengajakku juga. Tapi aku tak bisa, ada meeting tadi siang. Jadinya mereka berangkat naik travel. Besok aku jemput.” Penjelasan yang runtut. Khas Alfian. “Besok ada acara apa, Naya?”
“Acara? Engga ada sih,” jelasku.
“Mau ikut ke Bandung?” Mungkin ia melihat ekspresiku yang kaget, hingga melanjutkan. “Kalau mau aja, Naya. Aku tak memaksamu. Aku sering ngantuk kalau jalan sendiri.” Kali ini ia menggaruk rambut lagi. Tandanya nervous. Kok aku hafal sekali logatnya Alfian ya?
Pantas ia mencariku.
“Memang engga ada yang diajakin ke Bandung?” tanyaku sok polos. Sekedar mengorek informasi.
“Siapa?” Alfian malah memandangiku bingung.
“Mungkin salah satu tante-tante yang disebut Rifa.”
Alfian menggeleng. Ia menghela nafas pelan. “Kamu boleh tak percaya, tapi aku jarang pergi berdua dengan perempuan. Jelasnya, aku tak pernah berusaha mendekat pada perempuan mana pun.”
Apa ia masih mencintai istrinya? Jelaslah… tapi ini sudah hampir empat tahun..
“Mama sampai pernah menjodohkanku sama anak temannya.” Katanya, dengan tawa getir. Tak mungkin seorang Alfian butuh perjodohan. “Tapi ya tak kemana-mana, karena aku sudah tak ingin duluan.”
“Al, kenapa?” tanyaku. Kini ia menatapku intens.
“Bagaimana kalau aku katakan, aku belum menemukan seseorang yang tepat?” katanya hampir berbisik. Membuatku menelan ludah tanpa kusadari.
“Ya, itu bisa dijadikan alasan juga sih.” Aku mengalihkan pandanganku.
“Sejujurnya, aku kaget, kamu tak bersama Bima lagi.” Mungkin ia memendam lama pertanyaan itu.
“Itu sudah lama, Al. Ya anggap saja kami tak jodoh.”
Pelayan laki-laki kurus mendekat pada kami, membuat Alfian mengurungkan niatnya bicara. “Terima kasih.” Ia hanya membalas dengan senyum kecil dan anggukan. Sepertinya trainee. Masih memakai atasan putih dan ada tagname di dadanya. Bagas.
Alfian menyeruput kopi susu panasnya. Kemudian mengangguk angguk, seperti menilai rasanya.
“Gimana rasanya?” tanyaku.
“Lumayan, mau coba?” really? Dia menyodorkan gelasnya padaku. Minum segelas dengannya itu jadi nampak berbahaya.
Aku menghela nafas. “Aku cuma nanya rasanya, Al.”
Alfian malah tersenyum lebar. “Aku tahu, kamu engga bisa diginiin ya, Naya.”
“Maksudnya?”
“Ya bawaannya serius terus. Maaf, aku becanda tadi.” Matanya menari jenaka. Seperti menemukan suatu kesenangan baru.
“Engga gitu juga kali, Al.”
“Jadi? Mau ikut besok?” Ia kembali menatapku dalam. “Rifa pasti senang sekali bertemu kamu.”
Tiba-tiba perutku melilit tanpa diminta. Mataku menyipit. “Rifa atau kamu?”
Alfian tertawa lepas. “Me too. Aku tak bisa bohong, aku sangat senang bertemu denganmu lagi. ”
Al, kamu terlalu jujur…
>.<