Para panitia membaringkan Nilam di sebuah ranjang. Di tengah keributan panitia, ia melirik melalui celah kepala kakak-kakak yang sibuk membantunya. Tampak Zahra berbaring setengah duduk di ranjang, ketiga temannya—termasuk Naura—berada di sisinya. Seorang wanita berkemeja biru dengan stetoskop yang terpasang di telinga tampak sedang memeriksanya. Madam Lies sebagai salah satu guru yang ikut berada di antara kedua ranjang, tampak sedang berbicara dengan Kak Nida.
Wajah Rachel terlihat memucat saat melihat Nilam, berbeda dengan Gisel yang menatapnya dingin. Naura tampak terbelalak ketika beradu pandang dengan Nilam, mulutnya setengah terbuka, Saat menyadari tatapan tajam Gisel, dia kembali mengatupkan mulut.
“Semua yang tidak sakit, tolong keluar dulu, ya! Biar ruangannya nggak penuh!” perintah Kak Nida.
Naura, Gisel, dan Rachel mengikuti perintah tersebut. Sekilas mereka melemparkan pandangan pada Nilam, kemudian berlalu menuju pintu. Tatapan Naura terasa lama melekat padanya, sebelum kemudian dia menunduk dan keluar. Ia tak lagi memerhatikan mereka karena kakak panitia membantunya membuka celana agar lukanya bisa terlihat dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Jaket Kak Rendra masih terpasang di badannya.
“Ini nggak apa-apa. Suara napasnya normal. Sepertinya sedang tidak terjadi serangan. Dia baik-baik saja,” jelas dokter wanita yang memeriksa Zahra kepada Madam Lies.
“Oh, begitu? Mungkin dia panik saja tadi, ya, Dok?” tanya guru bahasa Inggris itu.
“Hm, mungkin. Walau sepertinya dari tadi dia baik-baik saja,” terang dokter menggaruk-garuk dagu.
Wajah Zahra tampak memerah. “Kalau begitu, saya boleh balik ke kamar, kan?” tanya Zahra dengan ekor mata melirik Nilam.
“Ya. Kamu nggak sesak lagi, kan?”
“Nggak, kok. Sekarang sudah sembuh!” sambar Zahra.
Setelah Madam Lies mengizinkan, Zahra langsung berlari keluar ruangan. Guru berkacamata itu beralih pada Nilam. “Sekarang tolong periksa ini, ya, Dok. Katanya dia kepeleset waktu mau tolong temannya yang jatuh ke jurang.”
Nilam terbelalak. Kepeleset? Jelas-jelas tadi ada yang mendorongnya!
Dokter memakai sarung tangan karet dan memeriksa luka Nilam. Dia membasahi kasa dengan cairan dari botol plastik berlabel oranye, kemudian membersihkan darah yang keluar dari lutut Nilam. “Lukanya agak dalam. Saya perlu bersihkan dan kasih antiseptik supaya tidak infeksi,” jelas dokter. “Nanti diperiksakan lagi ke fasilitas kesehatan, ya.”
Menahan perih, Nilam tak sanggup berkata-kata selain mengeluarkan jeritan kesakitan. Sebenarnya ia mempertimbangkan untuk mengonfirmasi kronologis terjadinya kecelakaan tadi. Namun, sepertinya situasi sedang rumit.
Selesai memeriksa dan membalut semua luka yang ada di tubuh Nilam, dokter dan Madam Lies pergi meninggalkan ruangan untuk mengobati Thomas yang berada di kamar panitia laki-laki. Begitu pula semua kakak kelas yang menjadi panitia. Mereka membantu Nilam memakai celana baru, kemudian menyuruhnya tidur di ruangan yang baru ia tahu sebagai kamar panitia perempuan. Tubuhnya yang teramat lelah—padahal digendong Kak Rendra sepanjang jalan—sekaligus perih di sekujur tubuh membuatnya tak kuasa menahan kantuk. Padahal, pikirannya sedang berkecamuk menghubungkan kejadian demi kejadian yang menimpanya, serta pertimbangan apakah harus mengatakan siapa yang mendorongnya. Otaknya juga terasa berat saat mengajukan beragam pertanyaan: Siapa yang mengatakan kalau ia terpeleset? Mengapa mengatakan itu? Kenapa kelompoknya tidak kembali menolongnya? Dan … pertanyaaan lain yang menguap saat perlahan ia mulai terlelap.
***
Suara ribut membangunkan Nilam yang sedang terlelap. Membuka mata, otaknya langsung menyadari keberadaan dirinya di ruangan asing. Sontak ia terduduk dan di sekitarnya kakak panitia sedang sibuk berlalu lalang. Dua wajah yang tak asing di matanya, Kak Kayla dan Kak Nida, sedang membongkar kotak di sudut ruangan.
“Gimana, sih, Kay? Masa piguranya doang?” pekik Kak Nida dengan alis mengerut. Padahal biasanya, wajahnya selalu lembut seperti kapas.
“Gue udah print semua, Nid. Udah gue taro sini! Buat pembicara yang kemarin juga ada, kan? Kenapa yang buat hari ini nggak ada?” Kak Kayla menggaruk-garuk kepala.
“Duh, terus kita kasih penghargaannya apa, dong, buat pembicara? Sertifikatnya nggak ada,” gerutu Kak Nida muram. “Mana nggak ada printer lagi!”
“Sorry, Nid. gue ngerasa udah print semua, kok. Apa nggak ke-print, ya? Gue coba cari warnet deket sini, deh. Mungkin ada yang buka,” desah Kak Kayla tampak merasa bersalah.
“Sekitar sini nggak ada, deh, kayaknya. Kalaupun ada pasti jauh,” sergah Kak Nida.
Kedua kakak kelas itu tampak terdiam dan berpikir. Nilam menerka arah pembicaraan mereka. Sepertinya, Kak Kayla lupa mencetak sertifikat yang diberikan untuk pembicara di akhir acara. Sekarang mereka sepertinya kebingungan karena biasanya setiap pembicara diberikan penghargaan.
Sebuah ide seketika mengisi otak Nilam. Mungkin dia bisa membantu kedua kakak kelas itu. Apalagi mereka sudah sangat baik padanya, menolongnya yang kesakitan kemarin. Ia harus membalas kebaikan mereka.
Menggerakkan kaki yang masih terasa sakit, ia mencoba turun dari ranjang. Tubuhnya seperti remuk redam setelah jatuh kemarin, tetapi pereda nyeri yang diminum sebelum tidur bekerja cukup baik hingga ia masih sanggup berdiri. Tertatih, ia menghampiri kedua kakak kelas itu.
“Anu, Kak Nida sama Kak Kayla. Apa ada yang bisa kubantu?” tanyanya memberanikan diri. Ini pertama kalinya dia menyapa kakak kelas dengan kesadaran sendiri.
Kedua kakak kelas itu terbelalak. “Nilam! Kenapa bangun sendiri? Tiduran dulu aja! Kaki kamu masih sakit, kan?” pekik Kak Kayla histeris.
“Iya, Nilam! Kamu nggak usah ikut acara dulu hari ini. Istirahat aja!” sambung Kak Nida.
Hati Nilam tersentuh mendapati ada orang yang mengkhawatirkannya. “Aku udah baikan, Kak. Ehm, masih agak perih, sih. Tapi nggak separah semalam,” jelasnya tersenyum. Jantungnya berdegup saat mengutarakan maksud dan tujuannya. “Maaf sebelumnya, aku nggak bermaksud nguping. Tapi … aku dengar Kakak lagi ada masalah tentang sertifikat untuk pembicara, ya?”
Kak Nida dan Kak Kayla saling bertatapan. Hati Nilam mencelos, bagaimana kalau mereka tidak suka ia ikut campur? Uh, apa sebaiknya tadi dia diam saja?
“Iya. Sertifikatnya nggak ke-print,” ujar Kak Kayla lirih.
“Anu, Kak. Kalau saya boleh usul, gimana kalau kita buatin karikatur pembicara? Saya bisa buatin gambarnya. Kadang saya suka lihat di tivi, ada yang kasih karikatur untuk kenang-kenangan,” usul Nilam hati-hati. Ia gemetar menanti jawaban mereka.
Kedua kakak kelas itu kembali saling berpandangan. Dahi mereka mengerut dengan alis saling bertaut. Mereka seolah berkomunikasi tanpa suara melalui mata.
“Kayaknya bisa juga. Malah bagus, jadi unik, kan?” gumam Kak Nida.
“Iya! Serius kamu bisa, Nilam?” tanya Kak Kayla.
“Ya … mungkin gambar saya nggak terlalu bagus, Kak. Tapi kalau kakak mau lihat contoh gambar saya ada di … buku gambar!” Nilam tersentak. “Ya ampun, buku gambar saya ketinggalan di taman!”
“Nggak ada waktu,” sergah Kak Nida. “Nilam. Kamu buatin dulu aja satu, untuk motivator yang sekarang lagi isi acara. Paling nggak, buat dia ada dulu. Nanti buat bintang tamu alumni, kita pikirin lagi. Kalau responnya bagus, kamu tolong gambarin lagi, ya.”
Kak Kayla bangkit dan memeluk Nilam erat. “Ah, Nilam! Kamu dewa penyelamatku! Makasih, ya!” pekiknya.
“Sama-sama, Kak. Aku coba buat dulu. Mudah-mudahan hasilnya bagus,” ucap Nilam riang. Hatinya berbunga-bunga mendapat perlakuan penuh rasa sayang dari kakak kelasnya itu.
Nilam kembali ke ranjang—setelah diantar ke toilet—dengan setumpuk kertas kosong, sebuah pensil, penghapus, serta meja lipat yang terpasang di atas pahanya. Ada pula ponsel milik Kak Kayla yang menampilkan foto motivator untuk dibuat karikatur. Menghela napas panjang, ia berdoa dalam hati semoga hasilnya bagus. Ia tak ingin mengecewakan Kak Kayla dan Kak Nida.
Guratan demi guratan ia torehkan di atas kertas. Ia begitu fokus membuat gambar sampai melupakan semua hal buruk yang menimpa. Hanya satu yang mengganjal pikiran. Buku gambarnya pasti kini sudah basah tak berbentuk terkena embun di taman. Ia harus mencarinya setelah membuat karikatur ini.
Entah berapa lama waktu berlalu sampai ia menyelesaikan gambar. Tak lupa ia menambahkan quote yang diucapkan motivator itu ke sebelah gambar. Kalau dilihat lagi, gambarnya memang tak sempurna. Ia hanya bisa berharap, mereka menyukainya.
“Udah jadi?” tanya Kak Nida yang entah sejak kapan berdiri di sebelah ranjang sambil membawa sepiring makanan. “Ya ampun! Ini bagus banget, Nilam!” pekiknya mengamati kertas yang ada di depan Nilam.
Pipi Nilam merona. “Ah, be–benar, Kak?” tanyanya gugup tak percaya.
“Iya! Waktu kamu bilang tadi, saya agak sangsi. Saya nggak ngira bakal sebagus ini!” Mata Kak Nida berbinar-binar. “Tinggal ditambahin tulisan ‘LDKS Angkatan 48 SMA Negeri 1’, ini udah perfect!”
Nilam buru-buru menuliskan kata-kata yang diucapkan Kak Nida di bagian bawah gambar. Setelah selesai, ia menyerahkan karikatur buatannya pada kakak kelas itu. “Ini, Kak.”
“Oke, aku masukin pigura dulu,” ucapnya. Kak Nida meletakkan piring makanan di atas meja, menggantikan kertas gambar yang kemudian diambilnya. “Ini, kamu makan dulu, ya. Aku sampai lupa kamu belum makan. Untung Daniel ngingetin.”
“Kak Daniel?” gumam Nilam pelan.
“Iya, dia nunggu gambar ini juga. Aku pergi dulu, ya!” pamit Kak Nida berjalan ke sudut ruangan mengambil pigura, kemudian berjalan cepat keluar ruangan sambil melambaikan tangan. “Makanannya dihabiskan, ya! Minumnya ada di meja sebelah!”
Nilam mengangguk dan tersenyum. Entah mengapa hatinya seperti dipenuhi kehangatan yang dipancarkan sebuah bintang. Mungkin benar kata Kak Tara, selama ini ia selalu menutup diri. Kalau saja ia lebih berani, semua hal baik akan terjadi padanya. Sepertinya, ikut seleksi OSIS ini, tak sepenuhnya buruk juga.
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10