Nilam berpegangan erat pada jalinan jaket yang diikat memanjang. Tubuhnya seketika melayang saat tarikan kuat berasal dari atas, terus membawanya keluar dari dasar jurang. Ia menggunakan satu kaki untuk menahan gesekan dengan dinding jurang yang terjal, walaupun tetap saja menimbulkan nyeri yang cukup mendera. Tak apa bagi Nilam. Bisa selamat dari dasar jurang saja sudah merupakan keajaiban untuknya.
Tiba di atas, genggaman kuat menarik tangannya hingga membawa tubuhnya berada di tepi jurang. Ia mengerang saat lututnya yang terluka membentur tanah. Rasa perihnya sungguh tak tertahankan.
“Nilam! Kamu luka?” teriak suara berat Kak Rendra yang kini berada di depan Nilam. Entah mengapa, melihatnya saja sudah membuat Nilam merasa aman.
“I–iya, Kak!” jawab Nilam terbata. Ia meringis sambil meluruskan kakinya. Tidak bisa. Ia tak tahan dengan nyerinya.
“Ya ampun!” pekik kakak kelas perempuan yang berada dalam kelompok yang sama dengan Kak Rendra. Kalau tidak salah, namanya Kak Tifa. Dia menghampiri Nilam, memeriksa lukanya. “Gimana kalian bisa ada di sana?”
“Itu ….”
“Ceritanya panjang, Kak!” tukas Thomas memotong kata-kata Nilam. Mereka saling bertukar pandang sejenak.
“Benar! Kita harus bawa mereka balik ke vila secepatnya! Khawatir lukanya semakin parah!” tegas Kak Rendra mengambil jaket dari temannya yang sedang melepas ikatan. Ia memakaikan jaket trucker cokelat itu ke tubuh Nilam. “Ayo!”
“Nilam bisa jalan?” tanya salah satu teman kelompok Kak Rendra, Kak Usman. “Kayaknya lukanya lumayan parah!”
“Kita tandu aja!” usul yang lain. “Tapi … gimana? Harus bikin dulu? Atau ambil di villa?”
“Thomas bisa jalan, kan?” tanya Kak Tifa yang dijawab dengan anggukan. “Kamu hebat, Nilam. Bisa kepikiran bikin penyangga tulang tangan pakai jaket.”
Nilam hanya bisa tersipu sambil meringis. Semua orang berbicara dengan ribut, membuatnya tak dapat menangkap perkataan mereka satu per satu. Terlebih, kakinya benar-benar terasa sakit. Kak Tifa membebatnya dengan syal yang ia gunakan.
Kak Rendra tiba-tiba berjongkok di depan Nilam. “Ayo, Nilam! Naik ke punggung saya!.”
Semua mata saling berpandangan. Terlebih Nilam yang seketika berteriak panik. “Eh, ja–jangan, Kak! Nggak usah!”
“Serius, Ren, lo mau gemblok sampai villa?” tanya Kak Usman.
“Iya. Kasihan mereka sudah lama kedinginan!” sahut Kak Rendra tegas.
Nilam memekik canggung. “A–aku jalan sendiri aja, Kak!”
“Udah, nggak apa-apa, Nilam. Biar cepat diobatin!” seru Kak Tifa menenangkan.
“Iya, nanti lukanya keburu infeksi juga,” timpal yang lain.
Tanpa menunggu persetujuan, teman-teman Kak Rendra membantu Nilam bangkit dan berjalan mendekati cowok itu. Tangan Nilam gemetar saat dipaksa melingkar di leher kakak kelasnya itu, terlebih tubuhnya yang harus berada sangat dekat. Jantungnya berdebar seolah ia akan kembali terlempar ke jurang. Lututnya kini tersangga dengan tangan kekar Kak Rendra, berada di sebelah pinggangnya. Sementara itu, tubuh kurus Nilam berada tepat di belakang punggung tegap cowok itu. Posisi yang sangat dekat ini membuat pipinya merona, apalagi teman sekelompok Kak Rendra terlihat saling menyembunyikan senyum.
“Kita lewat mana?” tanya Kak Tifa. “Apa balik lagi? Tapi jauh. Udah gitu ada po ….”
“Kita maju aja, ke pos tiga!” tukasl Kak Rendra. “Dari sana, ada jalan pintas ke villa.”
“Hah? Kok, lo tau, Ren?” pekik Kak Usman.
“Iya, waktu itu ikut survei. Lagi pula, di sana ada panitia yang bisa hubungin panitia lain dan kirim bantuan,” sahutnya datar. “Ayo, kita jalan!”
Mereka berjalan beriringan melewati tepi jurang. Sepanjang jalan, jantung Nilam berdegup keras. Udara yang dingin seketika berubah menjadi hangat. Tubuhnya pun tak bisa berhenti gemetar. Indera penciumannya menangkap aroma yang selama ini terasa jauh dari kehidupannya. Tangannya yang memegang bahu kekar Kak Rendra, tak berhenti mengeluarkan keringat. Ini pertama kalinya ia berada begitu dekat dengan lawan jenis seusianya. Entah mengapa, ada rasa asing yang seperti meledak di hatinya. Bahkan, nyeri di lututnya sedikit tersamar oleh luapan ketegangan yang menyenangkan.
Suara obrolan anggota kelompok Kak Rendra terdengar di belakangnya, penuh kehangatan. Walaupun terdiri dari tiga peserta kelas XI dan dua siswa kelas X, mereka tetap terasa akrab. Berbeda dengan kelompoknya yang sangat dingin, hanya dua peserta yang mendominasi.
“Kelompok kalian gimana, sih? Ada dua anggotanya yang jatuh ke jurang malah ditinggalin?” gerutu Kak Tifa terdengar di telinga Nilam.
“Iya. Parah, sih. Nggak setia kawan banget!” timbrung Kak Usman. Mereka langsung menyuarakan spekulasi masing-masing.
Nilam tak mendengar jawaban dari Thomas. Ia sendiri juga dalam posisi yang tidak bisa menyahut. Bukan karena ia berada paling depan bersama dengan Kak Rendra, tetapi ia juga bingung harus menjawab apa. Ia masih mempertimbangkan, apakah harus mengadukan perbuatan Rachel yang sudah mendorong Thomas dan dirinya. Namun, ia tak punya bukti yang cukup. Kediaman Thomas membuatnya berpikir, apakah cowok itu mau menyembunyikan fakta ini untuk membela teman-teman dari cewek yang disukainya? Jika dia menyangkal saat Nilam mengatakan fakta, bisa-bisa ia semakin menjadi target kebencian lagi.
Mereka tiba di pos tiga yang kosong. Hanya ada meja dan kursi serta beberapa kertas yang berserakan, serta sebuah senter yang masih menyala. Tak ada panitia yang berjaga, juga anggota kelompok Nilam. Semua saling bertanya, tetapi tentu saja tak ada jawaban. Tak ada pula alat komunikasi yang bisa menghubungkan mereka dengan panitia.
“Kita lewat jalan pintas aja ke vila!” perintah Kak Rendra. “Tapi, kalian harus siap-siap karena medannya akan lebih sulit,” tambahnya memperingatkan.
Semua saling berpandangan. Seorang siswi kelas X terbata saat bertanya, “A–anu, Kak. Terus seleksi kita gimana? Kita, kan, belum ke pos tiga sama pos empat?”
“Menolong teman itu lebih penting,” tegas Kak Rendra. “Kalaupun kita lolos seleksi, tapi membiarkan teman kita menderita, itu sama aja dengan menari di atas penderitaan orang lain. Seandainya kita nggak lolos karena ini, percayalah, kita sudah menjadi pahlawan yang rela mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk menyelamatkan orang lain. Itu akan menjadi catatan kebaikan yang nggak akan pernah hilang dari hidup kita.”
Kak Tifa bertepuk tangan, disusul Kak Usman dan semua yang ada. Thomas tersenyum cerah sambil berteriak girang. Siswi yang tadi bertanya menunduk sambil mengangguk-angguk. Pidato Kak Rendra terdengar sangat patriotis, membuatnya sungguh layak menjadi salah satu kandidat ketua OSIS.
Perjalanan kembali ke vila dimulai. Benar kata Kak Rendra, jalan yang dilalui tidak mudah. Mereka harus menuruni bebatuan yang berada di jalan setapak, dikelilingi pepohonan yang lebih lebat dari sebelumnya. Belum juga rasa penat hilang, mereka harus menyeberangi sungai kecil dengan bebatuan licin. Nilam melihat semua saling berpegangan satu sama lain, menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir. Berbeda dengan Kak Rendra yang begitu tenang meskipun ada dirinya yang menjadi beban.
“Kak, aku turun aja. Biar aku coba jalan sendiri. Aku udah bikin Kakak repot, nyusahin Kakak dan teman-teman lain,” bisik Nilam saat mereka sudah terlebih dahulu tiba di tepi. “Aku nggak enak cuma jadi beban Kakak, beban semuanya. Mungkin seharusnya, tadi aku ditinggal aja di pos tiga.”
Getaran di punggung Kak Rendra terasa saat dia berkata, “Tenang aja, Nilam. Saya sudah biasa bawa beban yang lebih berat dari kamu,” ucapnya datar. “Dan lagi, kamu sama sekali nggak ngerepotin saya.”
Hawa panas memenuhi pipi Nilam. Seperti ada letupan pita warna warni di hatinya, membuatnya tak bisa menahan senyum. Terlebih, ia merasakan seolah ada aliran listrik lembut yang menjalari setiap jengkal tubuhnya. Walau sesungguhnya ia penasaran, beban apa yang biasa dibawa Kak Rendra, yang jauh lebih berat dari empat puluh lima kilogram?
Setelah semua tiba dengan selamat di tepian sungai, mereka melanjutkan perjalanan melewati hutan. Kegelapan semakin terasa pekat, berpadu dengan suara burung hantu dan hewan lain di kejauhan. Beruntung jarak hutan tak terlalu jauh, sampai akhirnya mereka melihat cahaya samar dari sawah yang membentang luas. Namun, kelegaan mereka seketika kembali berubah menjadi ketegangan saat harus melewati pematang sawah yang sempit dan licin. Bahkan, beberapa kali, di antara mereka ada yang tergelincir dan terperosok ke lumpur.
Mereka mencuci kaki di aliran irigasi yang terletak di ujung sungai. Setelah itu, perjalanan dilakukan dengan menempuh padang ilalang yang bergoyang tertiup angin malam. Tak lama, kebun teh terlihat dan mereka melintasinya dengan penuh kegembiraan. Pasalnya, di kejauhan, terlihat permukiman dan yang pasti, villa mereka yang terlihat besar dibanding deretan bangunan lainnya.
“Ini, sih, lebih seru daripada pos ke pos tahun lalu! Iya, nggak, Tif?” komentar Kak Usman saat mereka tiba di jalan raya.
“Iya. Sayang nggak bawa HP. Nggak bisa foto-foto kita!” sambung Kak Tifa.
“Ah, lo, mah, sosmed mulu!” sindir Kak Usman yang langsung dibalas Kak Tifa dengan cibiran.
“Ye … gue, kan, selebgram!” pekiknya bangga. “Biarin aja, nanti kalo ada foto lo, gue kasih stiker biar mukanya nggak kelihatan!”
Semua tertawa. Kak Tifa dan Kak Usman meneruskan perdebatan tentang foto. Tanpa sadar, mereka tiba di villa.
Kepanikan menyambut mereka. Dengan cepat, panitia menggotong Nilam dan membawanya ke ruangan khusus mereka. Begitu juga Thomas yang ikut diobati. Sebelum masuk ke ruangan, Nilam meminta kakak panitia berhenti sejenak, kemudian mengucapkan terima kasih pada semua yang membantunya, terutama Kak Rendra. Hati Nilam berdesir melihat senyum samar di wajah kaku cowok itu.
Jantung Nilam seolah berhenti berdetak saat tiba di dalam ruangan. Tampak empat orang yang sudah melakukan tindakan keji padanya. Rachel, Zahra, Gisel, dan satu lagi … Naura!
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10