Kepala Nilam terasa sangat berat. Seingatnya dia baru saja terlelap. Dia yang memang sudah memakai jaket bergegas turun dari ranjangnya dengan limbung. Suara teriakan dan gedoran terdengar di telinga, seiring lampu senter yang menyorot. Lampu utama tidak dinyalakan, membuat seisi kamar saling bertabrakan. Bukan hanya karena terkejut, tetapi mata dan otak mereka masih belum tersinkronisasi setelah bangkit dari peraduan.
Memakai sepatu, Nilam mengikuti barisan para peserta yang mengular menuju lapangan. Sebagian dari mereka berbisik-bisik, tetapi bentakan dari panitia membuat mereka kembali diam. Di lapangan, anak-anak cowok juga bernasib sama. Mata masih setengah terbuka, berdiri sempoyongan, serta wajah penuh kebingungan. Bahkan, ada yang sampai tidak mengenakan alas kaki dan disuruh kembali ke kamar dalam hitungan.
“Kita akan melakukan jurit malam! Kumpul sesuai kelompok yang kemarin sudah dibagikan!” perintah ketua panitia.
Seperti semut, semua saling berkerubung dan berputar-putar mencari orang yang dimaksud. Teriakan terdengar di sana sini. Nilam tak perlu bersusah payah mencari di mana kelompoknya, ada Rachel yang bertubuh paling tinggi. Namun, justru ia yang berdebar setengah mati karena sekelompok dengan orang yang paling utama menyindirnya sedari kemarin.
Tanpa ada yang menyapa, ia bergabung dengan kelompoknya. Zahra meliriknya dengan sudut mata, kemudian beralih mengobrol dengan kawan sekelompok yang lain: Thomas dan Kak Ryu. Rachel lebih parah, pura-pura tak melihatnya. Bahkan saat ia menyapa, hanya Kak Ryu yang membalasnya. Kalau ia tak salah ingat, Thomas kemarin yang dibilang Naura suka dengan Gisel.
Menunggu, kelompok Nilam mendapat giliran ke delapan untuk melaksanakan misi. Mereka diperintahkan menuju titik utama sambil mengantarkan pesan diberikan dari tiap pos yang akan mereka lalui. Pos-pos tersebut tersebar di sekitar sana, ditandai dengan penunjuk arah yang ada di sepanjang jalan. Selain itu, setiap kelompok juga diwajibkan membuat yel-yel untuk dinyanyikan saat tiba di setiap pos nanti.
Dinginnya malam semakin terasa menggigit di saat-saat penantian. Kabut yang turun juga semakin pekat. Rumput di lapangan basah oleh embun yang terasa seperti es. Namun yang tak dapat dilupakan adalah pemandangan langit yang begitu memesona. Bintang yang bertaburan terlihat lebih terang dibandingkan sebelumnya.
“Kelompok delapan! Giliran kalian!” panggil Kak Nida. Nilam dan anggota kelompok yang lain menghampirinya. “Tetap bersama, jangan terpencar! Saling kerja sama! Paham?”
“Ya, Kak,” jawab mereka berbarengan.
“Oke, silakan lewat sini! Semoga berhasil!” pesan Kak Nida dengan wajah serius.
Perjalanan dilalui dengan suara Rachel dan Zahra yang mendominasi di depan, sedangkan Thomas berada di belakang mereka. Kak Ryu memimpin jalan setelah dipaksa kedua gadis itu, sedangkan bisa ditebak Nilam berada di mana. Yap, tentu saja paling belakang. Meskipun merinding karena mereka mulai masuk ke jalan yang dikelilingi pepohonan tinggi, ia lebih takut jika harus berada dekat dengan Rachel dan Zahra. Sebatas mereka mencibirnya sepanjang jalan, masih bisa ia tahan. Asalkan jangan berkonfrontasi secara langsung, ia pasti tak sanggup menghadapinya.
Sebuah cahaya terlihat sekitar sepuluh meter di depan. Mereka bergegas menghampirinya. Ternyata itu adalah pos satu yang dijaga oleh Pak Randi dan Kak Khairil—wakil ketua OSIS saat ini. Mereka memerintahkan kelompok Nilam untuk menyanyikan yel-yel yang tadi sudah dibuat, tentu saja oleh Rachel dan Zahra. Ia dan Kak Ryu bergerak kikuk, sementara tiga yang lain terlihat luwes dan bersemangat.
Pos satu ternyata tak terlalu berat. Mereka hanya disuruh menyanyikan mars sekolah, lagu Indonesia Raya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari materi yang sudah diberikan siang tadi. Beruntung Nilam memerhatikan dengan saksama penjelasan para pemateri sehingga saat yang lain tak bisa menjawab, ia memberanikan diri mengambil alih suara. Pak Randi memuji mereka, satu-satunya kelompok yang tidak mendapatkan hukuman. Alih-alih berterima kasih, Rachel dan Zahra malah menatapnya tajam meskipun berkatnya, kelompok mereka berhasil menjawab semua pertanyaan. Thomas pun ikut-ikutan, entah apa masalahnya.
Mereka kembali berjalan menuju pos dua. Kali ini, mereka harus melewati perkebunan teh yang membentang. Jalanan yang sempit membuat mereka harus berjalan satu-satu. Kali ini, Kak Ryu berada paling belakang.
“Kamu benar ditembak sama Tara?” tanya Kak Ryu tiba-tiba.
Nilam tersentak dan seketika menghentikan langkah hingga cowok itu menabraknya. Ia berbalik ke belakang, terperangah bingung mau menjawab apa. “Ya?” Ia balik bertanya, pura-pura tak mendengar pertanyaan cowok itu.
“Ayo, sambil jalan!” ujarnya. Nilam mengangguk, kembali meniti rumput yang tumbuh di sela pohon teh. Jantungnya berdebar keras, menduga arah pembicaraan cowok itu. “Aneh. Tara nggak pernah, loh, nembak cewek. Dari SMP, dia yang selalu dikejar-kejar cewek-cewek.”
Suara Kak Ryu yang berasal dari belakang Nilam semakin menambah ketegangannya. Apa dia mengendus kebohongan Kak Tara tadi? Nilam benar-benar tak sanggup berkata-kata.
“Itu …,” gumamnya lirih. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kakak teman Kak Tara dari SMP?”
“Iya. Dulu dia nggak begitu. Dia dulu ketua OSIS. Tapi pas SMA, semenjak main sama geng Jeremy, dia jadi nggak bener,” tutur Kak Ryu.
“Oh …,” desah Nilam. Sungguh, informasi ini baru masuk ke telinganya.
“Kak Ryu! Pos dua udah di depan!” teriak Rachel yang berada lima meter di depan mereka. Insiden tabrakan tadi memperlambat langkahnya.
“Ya!” sahut Kak Ryu. “Ayo, cepat!” ajaknya pada Nilam.
Kak Ryu sebagai ketua kelompok berjalan di depan, sementara Rachel dan Zahra memperlambat langkah hingga berdekatan dengan Nilam.
“Kak Ryu mau digebet juga?” sindir Rachel sinis.
Nilam terbelalak. Spontan ia menukas, “Nggak, kok! Kenapa kalian mikir gitu?”
“Yah, lo pikir aja kenapa orang bisa mikir gitu,” cela Zahra sambil menaikkan sebelah bibir.
Mereka kini mempercepat langkah meninggalkan Nilam yang sedang merasakan perih di hatinya. Tahan! Ini bukan waktunya menangis, Nilam! Ia menarik napas panjang, berusaha sekuat tenaga agar tidak kentara menyimpan sesak di dada. Ia tak ingin ada masalah lagi.
Pos dua dijaga oleh Kak Daniel dan Kak Kayla. Setelah menyanyikan yel-yel, Kak Daniel menyuruh mereka melakukan baris berbaris. Ketua OSIS itu juga mengajukan pertanyaan tentang kepemimpinan yang dijawab dengan fasih oleh Kak Ryu. Sepanjang tes, Kak Daniel sama sekali tidak melihat ke arah Nilam, membuatnya khawatir kalau kakak kelas itu kecewa padanya. Berbeda dengan Kak Kayla yang masih ingat peristiwa konser solo tempo hari, hingga menyuruh Nilam menyanyikan lebih banyak lagu daerah lagi. Walau tak melihat, Nilam merasakan tatapan tajam Rachel dan Zahra lebih menusuk lagi.
Terakhir, Kak Daniel mengangkat sebuah kotak dengan lubang berkain di atasnya. Mereka diharuskan memasukkan tangan dan menebak apa isi dari kotak itu. Kak Ryu dan Thomas menebak dengan betul: gembok, tang, buah jeruk, peniti, dan pensil. Tiba di kotak kedua yang berukuran lebih besar, Rachel dan Zahra yang lebih dulu memasukkan tangan menjerit-jerit dan bergidik. Tiba giliran Nilam, ia merasakan tekstur kenyal panjang yang bergerak-gerak, membuat tangannya geli.
“Belut?” tebaknya familiar dengan ikan lele karena sering membantu Mama memasak. Teksturnya mirip, hanya berbeda panjang dan lurusnya.
“Iya, betul!” pekik Kak Kayla girang. “Hebat kamu, Talitha!”
Sekilas dari balik cahaya remang-remang, Nilam melihat senyum Kak Daniel terulas. Mereka terbebas lagi dari hukuman dan bisa lanjut ke pos berikutnya. Setelah mendapat pesan yang harus dikirimkan, mereka meninggalkan pos dua. Kak Kayla menyemangati mereka, terutama Nilam, sedangkan Kak Daniel hanya melemparkan tatapan yang diartikan Nilam, ‘Aku mengawasimu!’
Jalan menuju pos tiga semakin sulit. Mereka harus menanjak jalanan yang cukup licin karena rumput yang berpadu dengan embun. Dataran semakin tinggi, sebelah kanan mereka pepohonan tinggi yang menambah gelap suasana. Di sebelah kiri, jurang setinggi kurang lebih tiga meter dengan dasar perdu yang tumbuh entah seberapa tinggi.
Seketika Rachel dan Zahra yang berjalan paling depan menjerit, kemudian berbalik dan berteriak-teriak ketakutan. Kak Ryu mengarahkan senter dan jantung Nilam seketika berhenti berdetak. Penglihatannya dikonfirmasi dengan teriakan Zahra yang membahana di tengah kesunyian hutan.
“Pocong!”
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10