Tubuh Nilam terasa berguncang seiring sayup-sayup suara yang membelai gendang telinga. Kepalanya terasa berbenturan dengan benda keras sementara kulitnya merasakan dinginnya permukaan halus yang menempel di pipi. Matanya terasa berat untuk terbuka tetapi panggilan yang diterima telinga terus bergema. Perlahan, kelopak matanya kian terangkat dan kegelapan malam menyapa. Ia mengalihkan pandangan ke depan dan terlihat kursi-kursi di depannya sebagian sudah kosong. Berbeda dengan gang antar kursi yang sudah dipenuhi siswa berebut turun.
“Nilam, bangun! Sudah sampai!” bisik suara di sebelah Nilam sambil menepuk-nepuk bahunya.
Nilam terlonjak dan seketika terduduk tegak. Matanya semakin terbelalak saat mendapati Kak Rendra berada di sebelahnya, ikut tersentak. Punggung tangannya otomatis mengusap cairan yang meluncur di sudut bibir. Ia semakin terpana saat mendapati sebuah jaket tersampir menutupi bagian depan badannya.
Argh! Rasanya Nilam ingin berteriak sekeras-kerasnya. Bagaimana ia bisa ketiduran begini? Hal yang diingatnya terakhir adalah bus baru melewati jalan raya di kotanya dan … ia tak ingat apa-apa lagi. Ah, mungkin ini efek Antimo yang diminumnya saat di rumah tadi.
“A–anu. Makasih, Kak, udah bangunin saya!” pekik Nilam histeris.
Kak Rendra mengulum senyum, untuk pertama kalinya. “Ayo, turun!” ajaknya.
Mengangguk, kepala Nilam masih terasa berputar setelah ditarik paksa dari mimpi terdalam. Ia memakai jaket yang tadi menutupi badannya, kemudian membuntuti Kak Rendra turun dari pintu belakang. Rasanya ada yang aneh, semua orang tampak sibuk dengan barang bawaan. Kenapa ia begitu lengang? Ah, iya! Tasnya ketinggalan!
Nilam berbalik hendak mengambil tas, tetapi malah nyaris bertabrakan dengan Kak Tara. Dia membawa dua ransel besar, satu mirip miliknya. Di belakangnya, Kak Orion tampak kesulitan menenteng tiga tas besar miliknya.
“Ngapain lu, Dora?” tanya Kak Tara. “Udah nggak ada siapa-siapa di bus!”
“Anu, Kak. Tas saya ketinggalan,” ucap Nilam tak yakin yang dibawa Kak Tara adalah miliknya. Mana mungkin cowok resek seperti dia mau membantunya?
“Ini punya lu, kan? Udah, gue bawain aja! Ayo, cepat! Dingin, nih!” Kak Tara mendahuluinya berjalan menuju vila. Nilam ternganga dibuatnya.
“Ayo, Alnilam. Nggak apa-apa tasnya dibawain Tara, dia yang mau. Tadi mau saya bawa, tapi tangan saya udah penuh. Terus dia mau bantuin, ya udah biarin aja,” jelas Kak Orion tanpa diminta. “Tadi kamu pulas banget tidurnya, nggak ada yang tega mau bangunin.”
Wajah Nilam merona. Apa hanya dia satu-satunya orang yang tertidur sepanjang perjalanan? Apa ia menjadi tontonan? Atau jangan-jangan, ada fotonya yang memalukan? Uh, bagaimana ini?
“Semua peserta segera menuju aula!” Terdengar suara panitia menggunakan toa.
Nilam mengikuti Kak Orion menuju tempat yang ditunjukkan sambil mendengar celotehnya. Mereka tiba di sebuah vila besar yang terdiri dari tiga bangunan utama. Satu bangunan yang terletak paling depan, memiliki cahaya lampu paling benderang. Dua bangunan lain yang lebih besar terletak di kiri dan kanannya, tampak memanjang dengan banyak jendela yang berjajar rapi. Panitia mengarahkan mereka ke lantai bawah bangunan utama, sebuah ruangan besar tanpa kursi dan meja, kecuali meja panjang yang terletak di bagian paling depan dan sebuah podium. Spanduk panjang terbentang di bagian depan, bertuliskan nama kegiatan yang mereka lakukan: Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) angkatan 48 SMA Negeri 1.
Mata Nilam beredar mencari Naura. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa bukan sahabatnya yang membangunkan? Ia berpamitan pada Kak Orion yang meletakkan tas di sudut ruangan, berterima kasih pada Kak Tara yang membawakan tasnya, kemudian langsung kabur menghindari ejekan cowok itu dan menghampiri Naura yang sudah duduk berbaris bersama yang lain.
Nilam mencolek punggung Naura yang sudah mengenakan jaket. Seketika gadis itu menoleh dan matanya membola demi melihatnya. “Eh, Lam? Udah bangun?”
“Kok, kamu nggak bangunin aku, sih?” Nilam balik bertanya. Kekecewaan tak dapat disembunyikan dari nada suaranya.
“Ah, itu soalnya tadi lo, kan, disamping Kak Rendra. Gue nggak enak,” dalih Naura menggigit bibir. Ketiga teman barunya sontak ikut melirik sekilas padanya, kemudian kembali menghadap depan.
“Yang udah direbutin cowok-cowok, mah, beda,” cibir salah satu dari tiga gadis yang duduk di depan Naura. Gisel.
“Iyalah. Gayanya sok polos, nggak mau ikut OSIS. Padahal cuma pengen cari gebetan!” timpal Rachel.
“Direbutin dua cowok, Cuy! Cewek populer gila nggak, sih? Terus sekarang pake jaket cowok ketiga, coba,” sindir Zahra.
“Yah, lo kalah gercep, Zah. Ketikung, kan? Udah diantarin, sekarang dikasih jaket juga.”
Kedua gadis itu tertawa, sementara Zahra tampak merajuk. Nilam meyakinkan diri bahwa bukan dirinya yang menjadi target pembicaraan mereka. Namun, pikirannya terbantahkan kala melihat wajah Naura yang berubah salah tingkah.
“Mending lo balikin jaket Kak Rendra, deh,” bisik Naura dengan suara serak. Matanya tertuju pada badannya yang sudah terbalut jaket trucker berwarna cokelat.
Nilam mengikuti arah pandangnya dan seketika matanya membola. Astaga! Jaket Kak Rendra? Sejak kapan ia mengenakannya?
“Semua, mohon perhatian, ya! Acara akan dimulai! Tolong duduk yang rapi, jangan ada yang jalan-jalan lagi!”
Sekeliling Nilam sudah dipenuhi peserta lain yang duduk di kanan, kiri, serta belakangnya. Ia hanya mampu mengedarkan pandangan, mencari Kak Rendra yang duduk di sudut ruangan bersama temannya. Kak Orion ada di bagian paling belakang, sementara Kak Tara menyender di tumpukan tas. Ia terjebak dan tak bisa ke mana-mana lagi.
Acara pembukaan dimulai. Kak Daniel selaku ketua OSIS memberikan sambutan pertama, dilanjutkan dengan Pak Sufi, pembina OSIS, yang memberikan sambutan setelahnya. Kepala sekolah yang turut hadir membuka acara dengan meriah. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pembacaan tata tertib, susunan acara selama dua hari dua malam ke depan, kriteria penilaian, serta pembagian kelompok dan kamar.
Otak Nilam tak bisa fokus selama acara. Hatinya terasa pedih mendengar sindiran yang acap kali dilontarkan Gisel dan teman-temannya. Apalagi mereka sering berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya, membuatnya tidak nyaman. Naura hanya menimpali dengan tertawa kaku, tetapi tidak ikut melihat ke arahnya. Nilam berdoa dalam hati agar bisa sekelompok dengan Naura, tetapi ia kecele karena malah satu kelompok dengan Zahra dan Rachel. Beruntung ia tidak sekamar dengan salah satu dari mereka.
Makan malam berupa nasi kotak dibagikan. Rasanya Nilam tak nafsu untuk makan, tetapi udara dingin membuat perutnya terasa perih. Ia makan dalam sesak, menahan tangis yang sejak tadi ingin tumpah. Apalagi beberapa pasang mata juga sering melihat ke arahnya dengan tatapan tajam. Mungkin kejadian di bus tadi sudah menimbulkan berbagai macam persepsi di otak mereka.
Selesai makan, mereka diharuskan segera masuk ke kamar masing-masing. Asrama putri terletak di gedung sebelah kiri, sedangkan asrama pria di sebelah kanan. Sebuah taman dengan air mancur dan kolam ikan terletak di tengah, menambah keindahan suasana. Nilam menyeret tasnya menuju kamar yang sudah disebutkan panitia tadi, sambil sibuk mencari keberadaan Kak Rendra di tengah hiruk pikuk peserta yang lain. Ia sudah melepas jaket itu dan berniat mengembalikannya secepat mungkin.
Ketemu!
Kak Rendra tampak sedang berbicara dengan murid lain di bagian asrama yang terhubung dengan aula. Nilam memutar arah, kembali menghampirinya sebelum dia beranjak pergi. Ia menyodorkan jaket itu saat tiba di hadapannya, membuat cowok itu juga teman di sebelahnya terkesiap.
“Ini, jaket Kakak. Terima kasih banyak, ya, Kak,” ucap Nilam terengah-engah. “Mohon maaf sebelumnya, Kak. Tapi Kakak nggak perlu pinjamin saya jaket, saya bawa di tas.”
“Tadi udah sampe wilayah Puncak, udaranya mulai dingin. Saya nggak lihat kamu bawa jaket, jadi saya pakein jaket saya. Maaf kalau kamu nggak nyaman,” sahut Kak Rendra datar. Temannya mengusap-usap tengkuk, tampak kikuk. Apalagi Nilam yang terus menunduk. Ia jadi menyesal sudah mengatakan kalimat terakhirnya.
“Ah, bukan begitu, Kak.” Nilam menyilang-nyilangkan tangan. “Saya sangat berterima kasih, tapi … saya nggak enak sama yang lain,” ungkapnya menggigit bibir.
“Nggak enak?” Kak Rendra mengernyitkan dahi.
Nilam ingin menepuk dahinya yang tak bisa mengontrol kata-kata. Ia semakin salah tingkah karena semakin banyak orang yang lewat dan melihat ke arahnya dan Kak Rendra. Beruntung teman Kak Rendra tak meninggalkan mereka. “Ah, pokoknya gitu, Kak. Intinya terima kasih banyak!”
Menyeret tas dengan cepat, Nilam segera meninggalkan tempat Kak Rendra berdiri dengan mulut ternganga. Ia berdoa dalam hati semoga jangan sampai bertemu lagi dengannya. Ia segera masuk ke kamar dengan nomor yang tertera. Tampak tiga kakak kelas dan dua murid seangkatan yang sudah menempati ruangan. Mereka menempati kamar yang cukup sempit dengan ranjang tingkat yang bagian bawahnya sudah ditempati ketiga kakak kelas. Dua murid seangkatannya menempati bagian atas seperti dirinya. Namun tampaknya, mereka sudah saling mengenal dan akrab, sehingga saling mengobrol dan bercanda.
Nilam berupaya menyapa mereka. Beruntung, mereka cukup ramah padanya. Ia berkenalan dengan dua siswi seangkatannya yang ternyata juga satu kelompok. Sesekali mereka mengajak Nilam mengobrol, tetapi tetap saja ia tak bisa membaur dalam celah di antara mereka. Ah, andai saja ia lebih supel seperti Naura, tentu saja ia bisa punya banyak teman sepertinya.
Kini, ia benar-benar merasa sendirian. Menatap langit-langit yang sangat dekat dari jangkauan, ia memendam sesak. Selagi yang lain mengobrol, ia ingin cepat-cepat terlelap. Rasanya terlalu lelah berada di tengah banyak orang, seperti dugaannya. Satu-satunya sahabat yang ia punya, kini sudah terpisah entah di mana.
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10