Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding the Star
MENU
About Us  

Nilam melompat turun dari ojek daring yang ditumpanginya. Setelah membayar, ia segera berlari menuju bus yang sudah terparkir di depan sekolah. Matanya menyisir nomor yang tertera di kertas yang ditempel pada kaca bus, mencari angka dua. Ternyata bus yang dicari berada paling belakang dan sudah hampir penuh terisi.

Dengan napas tersengal, ia menaiki tangga bagian depan yang ternyata sangat tinggi. Terpaksa ia mengangkat rok dan mengabaikan getaran ponsel di saku bajunya, sementara matanya kembali beredar mencari sosok sahabatnya. Tampak Naura berada di bangku tengah, sedang menempelkan ponsel di telinga. Begitu melihat Nilam, gadis berkulit eksotis itu langsung melambaikan tangan dan memanggil keras.

Menghampiri sahabatnya, Nilam bertukar pandang dengan Gisel yang menampilkan senyum sekilas sebelum akhirnya membuang muka ke arah jendela. Dia duduk di sebelah Naura di kursi dua-dua, tempat yang seharusnya ditempati oleh dirinya. Belum sempat bertanya, Naura sudah memberondongnya dengan senapan kata-kata.

"Mana jaket gue? Ada, kan? Oh, iya, baterai senternya juga bawa, kan? Sama catokan rambut nggak lupa, kan?"

Nilam menyerahkan tas kain hitam berisi barang-barang yang disebutkan Naura tadi. "Ini. Kata Tante Hani, ada camilan juga di dalamnya."

"Ah, thank you, Lam. Lo emang ter-the best!" puji Naura yang hanya direspon Nilam dengan senyum singkat. "Oh, iya, Lam. Gue duduk sama Gisel, ya. Soalnya tadi Thomas maksa-maksa mau duduk sama dia. Lo duduk di belakang gue, udah gue take-in. Tas lo juga udah gue bawain. Mana berat banget lagi!" cerocosnya panjang lebar. 

Entah mengapa hati Nilam terasa sesak. Padahal sedari pagi, Naura sudah berjanji akan duduk dengannya di bus. Bahkan kalau diingat lagi, saat awal mengajak masuk OSIS, dia sudah berjanji untuk tetap bersama. Namun, belum juga diterima, dia sudah memilih teman baru dibandingkan dirinya. 

Ah, mungkin ini perasaannya saja. Justru bagus, bukan, kalau Naura punya teman baru. “All your friends are my friends. All my friends are your friend.” Begitu kata lagu "The More We Get Together". Mungkin ia hanya perlu mengakrabkan diri lagi.

"Oke," sahutnya lirih. Ia beralih ke kursi di belakang Naura yang sudah 'diduduki' ransel besarnya serta sebungkus makanan ringan—mungkin milik Naura yang digunakan untuk menandai bahwa tempat itu sudah ditempati. Selesai memasukkan senter miliknya yang tadi ketinggalan dan baru diambil, ia menutup resleting. Tangannya kemudian mengangkat tas yang seolah berisi batu itu, kemudian berjinjit demi menjangkau tempat tas yang ada di atas. Jangankan sampai, ranselnya bahkan tak menyentuh ujung besi tempat tas itu. 

Seketika beban ransel itu menghilang, seolah ia sudah berpindah ke luar angkasa dan benda itu kehilangan gravitasi. Nilam menengadah dan mendapati tangannya sudah kosong, sementara ranselnya sudah bertengger nyaman di tempatnya berada. Di atasnya, tampak wajah Kak Rendra yang datar seperti biasa. Ia terlonjak saat kakak kelas itu menunduk dan berkata pelan, "Kalau nggak sampe itu minta tolong."

"Ah, i–iya! M–makasih, Kak," pekiknya salah tingkah. Ia buru-buru masuk ke sela tempat duduk, kemudian berbalik dan menunduk hormat. Tak disangka, ponsel yang berada di kantongnya malah terjatuh. Ia meraba-raba kolong kursi dengan kikuk. Setelah menemukan, ia kembali melihat ke depan. Tampak Kak Rendra mengulas senyum, kemudian menjawab sapaan temannya yang berada di kursi belakang.

Nilam membanting tubuhnya di atas kursi yang berada di dekat jendela demi menenangkan jantungnya yang terasa akan melompat keluar. Beruntung, Gisel dan teman-temannya tak menyadari kejadian itu karena sedang sibuk memainkan ponsel. Ia tak mau mereka membahas perihal Kak Rendra seperti tempo hari. 

Rasa haus menyerang kerongkongan Nilam, tetapi ia melupakan satu hal penting: air minumnya ada di ransel. Ia tak mungkin menjangkau tas itu lagi, meminta tolong orang lain juga rasanya sungkan. Meratapi kecerobohannya, ia hanya membuang pandangan ke luar jendela, menatap pagar sekolah, pedagang kaki lima, serta rindangnya pohon akasia. Apa ia turun dulu saja dan beli air sebentar? 

"Permisi. Apa di sini kosong?"

Tersentak, Nilam segera menoleh dan tampak senyum secerah bintang di langit malam nan kelam. "Kak Orion?" tanyanya mengernyitkan dahi. "Kok, Kak Orion ikut? Emang Kakak ikut OSIS? Kok, nggak bilang-bilang?" 

"Yang pertama: iya, saya Orion. Yang kedua: iya, saya ikut. Yang ketiga: saya nggak ikut OSIS, tapi ketua ekskul—termasuk klub astronomi—wajib ikut LDKS. Yang keempat: soalnya kamu nggak pernah tanya," jawabnya runtut sambil menunjuk ke empat jari tangan kirinya. 

"Oh, gitu," desah Nilam dengan mulut ternganga. Jelas saja ia bertanya, sejak terakhir menraktir makan dan bertukar nomor ponsel, mereka sering bertukar pesan. Namun, tak sekali pun cowok itu membahas tentang LDKS. Walaupun harus diakui, memang Nilam sendiri juga jarang membicarakan hal yang tak disukainya itu. 

"Sekarang, giliran saya yang tanya, ya. Apakah kursi ini kosong, Your Higness? Apakah saya diperbolehkan duduk di sini?" Kak Orion membungkukkan badan seperti prajurit yang sedang memberi penghormatan.

"Ah, iya, Kak!" sambut Nilam dengan sukacita. Ia segera mengambil bungkusan makanan ringan yang tergeletak di kursi itu dan meletakkan di pangkuan. Senyumnya mengembang demi melihat tingkah laku Kak Orion. Ternyata bukan hanya di pesan singkat dia selalu bercanda, di dunia nyata juga.

"Terima kasih, Tuan Putri," sahutnya formal dengan senyum tertahan.

Nilam tak kuasa menahan tawa. Mungkin di tengah kecerobohannya hari ini, ada satu hal baik yang datang. Ia bisa duduk bersama Kak Orion. Rasanya tak sabar untuk mendengarkan celotehnya yang selalu berbeda tentang planet, galaksi, dan bintang-bintang. 

Belum juga beberapa detik terlewat, Kak Orion sudah membahas tentang ledakan bintang yang akan terjadi besok lusa. Sambil berbicara, ia meletakkan ransel di atas, juga dua tas lain yang tak kalah besar. Saat duduk di sebelah Nilam, matanya tambak berbinar-binar.

"Nanti kita lihat Supernova sama-sama, ya," ajaknya antusias. "Saya udah bawa teropong."

Nilam terbelalak. "Jadi tas Kakak yang gede itu isinya teropong?"

"Iya. Itu teropong Celestron keluaran terbaru. Lensanya 90 mm dan focal lenght-nya 600 mm …." 

Kak Orion melanjutkan dengan penjelasan spesifikasi teropong yang dibawanya. Nilam tetap mendengarkan walaupun tak mengerti keseluruhan penjelasannya. Apalagi ia juga tak menyangka kalau cowok itu sangat berniati melihat bintang. Benar-benar ketua klub astronomi sejati! Rasanya tak sabar membayangkan betapa menyenangkannya melihat fenomena alam secara langsung, apalagi menggunakan teropong yang selama ini hanya dilihat di buku fisika.

“Wah! Ada Dora? Bener, kan, Dora? Heh, Dora! Tanggung jawab lu udah ngerobek baju gue!”

Suara nyaring yang terdengar sebagai ancaman mendarat di daun telinga Nilam. Dia menoleh ke arah gang perbatasan antara dua kursi dan benar saja, cowok tinggi berambut keriting sedang bertolak pinggang sambil berteriak-teriak. Sontak suaranya membuat keriuhan di seluruh kursi penumpang. Ingin rasanya Nilam membekap bibir tipis merah muda itu untuk menghentikan ocehannya. Sudah susah payah dihindari di sekolah, kenapa malah ketemu di sini, sih?

“Sana pergi!” usir Kak Orion semakin menambah panas suasana. “Lagian yang ngelempar kucing itu saya, bukan Alnilam! Jangan ganggu dia!” 

“Ye … siapa yang ganggu dia! Minggir lu, Rion Onion! Ini tempat gue!” tantang Kak Tara menarik kerah baju Kak Orion.

“Kamu yang pergi! Saya udah duduk duluan di sini!” balas Kak Orion. “Kata Alnilam kursi ini kosong!”

“Eh, gue udah nge-take duluan! Tadi pakai bungkus Taro … itu!” Kak Tara menunjuk ke arah pangkuan Nilam.

Jantung Nilam terasa seolah berhenti berdetak. Gawat! Ia kira makanan ringan ini milik Naura. Ia sudah salah mengira kalau kursi ini kosong. Sekarang, kedua kakak kelas itu sedang memperebutkan tempat dan itu karena kesalahannya. 

Keributan tak dapat terelakkan. Suasana semakin riuh, membuat kepala Nilam terasa akan meledak. Semua yang ada di kursi lain ikut mengerubungi, membuat udara semakin pengap. Di depannya, Gisel berdiri sambil bersedekap dan melotot padanya. Sementara itu, Naura menatapnya penuh tanda tanya.

“Hei! Kenapa kalian ribut ribut begitu?” teriak Pak Andre, guru olahraga. “Jangan berantem! Mau LDKS malah berantem begini!” 

Semua kembali ke kursi masing-masing sambil berbisik-bisik. Tinggal tersisa Kak Tara dan Kak Orion yang saling melempar tatapan tajam. 

“Kenapa, sih, kalian ini?” Pak Andre mendorong bahu Kak Tara. “Sana kamu duduk di belakang!”

“Nggak mau, Pak! Ini bangku saya. Saya udah nge-take tadi. Dia yang ngerebut tempat saya!” tolak Kak Tara.

“Dia take tempat pakai ciki, Pak. Siapa yang kira tempat ini udah ada yang punya?” debat Kak Orion.

Pak Andre geleng-geleng kepala. “Haduh, kalian ini ketua ekskul tapi, kok, kayak anak kecil rebutan kursi? Itu di belakang masih ada kosong satu!”

Kak Tara dan Kak Orion masih bertahan pada pendirian masing-masing, tak ada yang mau mengalah. Merasa bersalah, Nilam mengangkat tangan dan berdiri, memberanikan diri untuk berbicara. Semua mata kini tertuju padanya.

“A–anu, Pak. I–ini salah saya. Tadi saya kira kursi sebelah saya kosong, jadi saya bolehin Kak Orion duduk. Nggak taunya punya Kak Tara,” jelas Nilam dengan suara serak. Ia menggigit bibir sambil meremas-remas jari. “Ehm, anu. Kalau begini, biar saya aja yang pindah ke belakang, Pak.”

“Jangan!” teriak Kak Tara dan Kak Orion kompak, untuk pertama kalinya. Mereka saling bertukar pandangan tajam.

“Hmm … ya sudah. Kamu pindah saja ke belakang! Biar dua anak yang berantem ini duduk barengan!” perintah Pak Andre garang.

“Yah, Pak. Masa saya duduk sama Freaking Onion, sih, Pak!” protes Kak Tara memelas.

“Saya juga nggak mau duduk sama dia,”tegas Kak Orion.

“Sudah! Saya nggak mau tau! Itu hukuman saya buat kalian!” tegas Pak Andre beralih pada Nilam. “Ayo, kamu pindah tempat duduk!”

Nilam mengangguk lesu. Ia menggumamkan kata ‘maaf’ lirih, yang ditujukan untuk Kak Orion dan juga Kak Tara. Tatapan mereka mengiringi perpindahannya ke kursi belakang, begitu juga semua mata yang ada di bus. Rasanya Nilam ingin melompat turun dan tak jadi ikut pergi karena begitu malunya menjadi pusat perhatian dalam sebuah pertengkaran. Ia berjalan menunduk, tak berani memandang sekitar.

Satu-satunya kursi kosong yang tersisa berada di bagian paling belakang bus. Di kanan kirinya, duduk siswa laki-laki yang sudah memenuhi kursi. Lagi-lagi Nilam harus menahan napas. Masa dia harus duduk di tengah-tengah anak cowok?

“Thomas, Abi, tolong geser ke tengah!” perintah laki-laki yang duduk di pinggir dengan tegas. Dua cowok yang dimaksud mengikuti instruksinya. Nilam terbelalak demi melihat siapa yang bersuara, apalagi mendengar namanya ikut disebut juga. “Nilam, kamu duduk di sini!”

Nilam mengangguk pelan. Seperti mengambang, ia berjalan menuju kursi terbelakang yang berada di dekat jendela. Hatinya semakin bertambah tegang saat menoleh dan mendapati siapa yang duduk di sebelahnya dan menyelamatkan situasinya. 

Kak Rendra.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • edfasal

    Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 10
  • edfasal

    Aku hadir Kak, semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 6
Similar Tags
Slap Me!
1539      705     2     
Fantasy
Kejadian dua belas tahun yang lalu benar-benar merenggut semuanya dari Clara. Ia kehilangan keluarga, kasih sayang, bahkan ia kehilangan ke-normalan hidupnya. Ya, semenjak kejadian itu ia jadi bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia bisa melihat hantu. Orang-orang mengganggapnya cewek gila. Padahal Clara hanya berbeda! Satu-satunya cara agar hantu-hantu itu menghila...
A Little Thing You Never Know
249      157     1     
Inspirational
Aryn yang merasa hidupnya monoton dan gagal meraih mimpinya, tiba-tiba kembali ke masa lalu dengan tubuh manusia seorang malaikat maut yang bernama Sion. Di sana, dia kembali bertemu dengan dirinya yang berumur tiga belas tahun yang gagal mencapai impiannya karena keterbatasan finansial, tidak mau dirinya di masa depan kembali menghadapi itu, maka Aryn mencoba mengubah masa depannya dengan memban...
The Best Gift
33      31     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Monokrom
71      61     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
You*re My Star
342      217     0     
Short Story
Mengagumi pesona lelaki cantik di sebuah rumah sakit, Brian, membuat hari Zora menjadi penuh dengan kejengkelan dan debaran. Tanpa sadar satu hari yang terasa panjang menjadi singkat, sejenak Zora melupakan ketertekanan dan kesepiannya selama ini. Zora adalah langit Brian. Dan Brian adalah bintang Zora. Kisah singkat yang terjadi dalam satu hari menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
To The Girl I Love Next
401      281     0     
Romance
Cinta pertamamu mungkin luar biasa dan tidak akan terlupakan, tetapi orang selanjutnya yang membuatmu jatuh cinta jauh lebih hebat dan perlu kamu beri tepuk tangan. Karena ia bisa membuatmu percaya lagi pada yang namanya cinta, dan menghapus semua luka yang kamu pikir tidak akan pulih selamanya.
AKSARA
6070      2117     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Pasal 17: Tentang Kita
114      36     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
No Life, No Love
573      462     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Selepas patah
198      162     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...